Kecepatan pelayaran komersial dengan pesawat terbilang sangat nyaman bagi penumpang business class dan first class. Berada di barisan depan dekat kokpit tentulah memiliki kesan istimewa. Yasmine termasuk penumpang yang tertarik terhadap fasilitas tersebut. Segala bentuk bernilai artistik maupun estetik selalu saja membuatnya ingin mengetahui bagaimana benda itu bisa tercipta.
“Mahakarya,” begitulah pikirnya. Alasan mengenai tipe kelas di kabin, melainkan sedikit banyak dipengaruhi oleh profesinya di dunia modeling. Membutuhkan sifat privasi. Sayangnya, sepanjang mengudara, kenyamanan tidak lagi dirasakan wanita itu. Dia lebih memikirkan bagaimana mencari alasan bagus saat bertemu Grace.
8 jam 58 menit. Yasmine menghitung waktu begitu pesawat landing. Dia bergerak cepat tidak sabar tubuhnya berpindah ke dalam taksi. Alih-alih masuk ke taksi, tanpa peringatan seorang pria menabraknya dengan keras hingga membuat dia jatuh terduduk di trotoar. Bahkan ponsel yang dipegangnya ikut terlempar di jalan. Suasana menjadi gaduh. Si pria berkepala plontos di dekatnya meringis, lalu terdengar umpatan keluar dari bibir pria itu. Lembaran uang tampak menyembul dari dompet. Yasmine pun cepat tanggap dengan teriakan orang di sekitar bahwa pria tersebut adalah pencopet.
Saat si pencopet itu hendak berdiri, Yasmine segera menarik pakaiannya. Namun berhasil ditepis dan membuat dirinya meringis kesakitan karena mengenai pergelangan tangannya yang diperban. Hal tersebut menjadikan Yasmine kesal. Dia pun kembali menghentikan langkah pria itu. Diraihnya kerah baju si pria, lalu dengan gerakan mulus menekuk kaki kanannya. Dia juga melakukannya pada kaki kiri pencopet tersebut hingga hilang keseimbangan untuk berdiri.
Orang di sekitar tempat itu berseru takjub. Mereka terpukau melihat aksi Yasmine menghentikan si pencopet. Polisi bergegas mengamankan pria itu. Ketika polisi ingin memintanya membuat keterangan, pemilik dompet tersebut lebih dulu memberikan penjelasan.
"Biarkan wanita ini pergi. Dia hanya membantuku dari pencopet," ucap wanita setengah baya itu pada polisi.
Yasmine merasa bersyukur. Setelah saling mengucapkan terima kasih, dia pun segera meninggalkan tempat itu dan masuk ke taksi. Dia memberi instruksi pada sopir ke lokasi tujuannya.
"What was doing earlier was great! How did you do that earlier?" Sopir taksi bertanya pada Yasmine lewat kaca spionnya.
Yasmine menoleh ke arah spion. Dia tersenyum, lalu berkata, "It's part of a little exercise."
Si sopir mengerutkan kening tidak mengerti. Tapi dia juga tidak ingin menanyakan lebih lanjut, namun justru menyodorkan selembar plester pada Yasmine.
"Use this to cover the wound on your hand."
Kening Yasmine kali ini yang berkerut bingung. Dia mengamati telapak tangan kanan dan menemukan goresan kecil di sana akibat terjatuh tadi. Dia menerima plester itu, lalu menempelkan pada lukanya. Sejenak helaan napas keluar dari bibir berlipstik merah mudanya. Layar ponsel miliknya retak. Hadiah dari Tamada Hiro setelah dia menyelesaikan pelatihan modeling. Aksi yang dilakukan Yasmine itu sebenarnya juga diperoleh berkat Paman Hiro. Kemampuan tersebut dianjurkan Hiro untuk melindungi diri dalam profesinya sebagai model dan umumnya seperti kejadian tadi. Dia merasa senang karena hari ini bisa melakukannya dengan baik.
“Ma’am, we arrived!” ucap sopir taksi agak keras.
Kesenangannya ternyata hanya sesaat sebelum sopir taksi membuyarkan lamunannya. Dia sungguh tidak menyadari kalau si sopir sudah memanggilnya untuk yang ketiga kalinya. Seakan linglung dengan keadaan, Yasmine hanya mengamati pagar besi bercat hitam di samping, lalu menoleh ke pergelangan tangan kiri. Long coat hitam yang dikenakannya menutupi perban putih di sana. Sekali lagi dia melihatnya secara bergantian. Sepanjang jalan dia sudah menetapkan pilihan. Namun sekarang kebimbangan menelusup hati.
Tampaknya sopir taksi mengerti. Dia pun bertanya, “Could there be another place you want to visit? I'll take you."
Yasmine melihat sebentar rumah elite bergaya khas Eropa itu. Dia berkata pada sopir taksi untuk mengantar ke hotel terdekat. Dia menghela napas. Tersenyum tipis mengingat tekad yang sudah dipersiapkan saat menginjakkan kaki di negara daun maple ini. Pertanyaan-pertanyaan yang sempat larut dalam sel kepalanya, timbul kembali. Dia pun goyah. Dia tidak bisa menunjukkan situasi pelik ini pada Grace. Setidaknya tidak untuk sekarang atau barangkali sekadar mencari alasan.
Terbukti dirimu sedang melarikan diri, Yasmine! Alam bawah sadarnya menyahut. Mengejek dengan riang. Ternyata sikapnya sekarang tidak seberani saat dia menghentikan si pencopet.
•••
Memasuki pintu masuk rumah sakit, Yasmine disuguhi lalu lalang pengunjung. Beberapa diantaranya duduk menonton tayangan televisi. Mengantri di loket apotek, menunggu obat yang diresepkan. Satu-dua petugas kebersihan sibuk memainkan alat tempur mereka. Para staf medis pun tidak kalah siaga berseliweran demi menyalurkan kemampuan terbaik memberi perawatan untuk pasien. Tentu saja semua pemandangan tersebut tidak sepenuhnya diamati jika Raef, bocah laki-laki berusia empat tahun itu berjalan ke sana-kemari.
Tepat kedatangan mereka di depan ruang bersalin, secara bersamaan dengan keluarnya seorang dokter wanita diikuti sang perawat, selesai memeriksa pasien di ruangan itu. Tanpa diperintah, Raef menyerbu masuk hingga menabrak si perawat. Untunglah peralatan yang dibawa oleh perawat tersebut tidak turut jatuh. Justru wanita bermata kelabu mengenakan gamis long blazer yang berada di dalam menatap bocah itu sembari memasang tatapan, lagi-lagi tidak mendengarkan apa yang Mami katakan. Yasmine tersenyum mengamati adegan itu.
Wanita itu meminta maaf pada si perawat. Setelah kedua tenaga medis itu pergi, dia masih ingin mengomentari sikap putranya. “Sudah berapa kali Mami bilang untuk berhati-hati berlarian di tempat ramai. Apalagi ini di rumah sakit."
Ekspresi wajahnya berubah. Sejenak dia menyadari sesuatu, ”Tapi tunggu, dengan siapa kamu ke sini, Sayang? Ah, pasti Papi, ya. Apa Papi mas−“
Bola mata wanita bernama Grace itu membesar. Memutus kalimatnya begitu saja saat arah pandangnya bertemu dengan mata kelabu yang serupa miliknya dan terlahir secara bersama dalam rahim ibu mereka.
“Yasmine!” Suara Grace setengah berteriak. Dia mengucek mata seolah ingin membenarkan penglihatannya. “Astaga, astaga, sekarang aku tidak sedang bermimpi, bukan? Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Yasmine tidak menanggapi ocehan Grace. Dia justru berjalan menuju baby box di sudut ruangan. “Seharusnya kau lebih memperhatikan intonasi suaramu itu, Grace! Syukurlah dia tidak terbangun oleh lengkingan bibinya yang bawel.”
Grace mendengus sebal. Sekarang dia yakin kalau wanita di depannya ini benar saudari kembarnya.
“Kalau kalian ingin ribut, setidaknya tolong pikirkan ketentraman bagi ibu dan bayi di ruangan ini,” terdengar suara wanita serak menimpali obrolan kakak-adik itu.