Romantic Destination (I Still Love You) Part 2

Alita
Chapter #8

The Reason

Grace duduk di ranjang. Meletakkan punggung telapak tangannya menyentuh kening Yasmine. Sudah tidak terasa hangat lagi. Sesaat dia termenung. Seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Lamunannya pun terputus mendengar suara saudarinya.

"Kenapa kau di sini, Grace?"

"Oh, syukurlah kau sudah bangun," ucap Grace lega, lalu dengan gesit mengangsurkan gelas berisi air hangat. "Minumlah."

"Bagaimana kau bisa masuk? Sepertinya tadi malam aku sudah mengunci pintu." Yasmine bertanya usai Grace meletakkan kembali gelas ke nakas.

Wanita itu hanya menghela napas. "Kita akan bicarakan ini nanti, setelah kau benar-benar sehat. Aku akan membawa makan malam. Istirahatlah kembali."

Yasmine tampak bingung. Dia melihat ponselnya, lalu mengamati Grace keluar meninggalkannya sendiri di kamar. "Ini sudah malam lagi? Dan sampai sebanyak ini panggilan dari Dira?" gumamnya.

Sementara Grace menuruni tangga dengan wajah sendu. Dira segera menyadari ekspesi yang ditampilkan oleh iparnya tersebut.

"Apa demamnya sudah reda? Aku baru selesai membuat bubur untuknya," ujar Dira. "Aku akan membawanya. Kau siapkan saja makan malam."

Grace mengangguk. Kali ini dia menyetujui usul Dira. Tidak ingin melontarkan protes seperti biasanya. dan mulai menyiapkan perlengkapan makan di dapur.

"Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Dira melihat Yasmine menarik laci meja rias. "Ayo, makanlah bubur ini. Aku yakin sekarang kau pasti lapar."

"Kau tidak perlu mengantarkannya ke sini," jawab Yasmine menghampiri bubur yang dibawa Dira. Sejenak dia gelisah, lalu berkata, "Apa Grace marah padaku? Dia keluar begitu saja setelah aku bangun dan berapa lama aku tidur?"

"Cukup untuk membuatmu kembali menikmati makan malam ini," balas Dira.

"Sudah selama itu, ya? Dan pintu itu kalian juga yang membukanya," tanya Yasmine seolah pada dirinya sendiri.

Dira mengangguk. "Grace hanya cemas melihatmu demam sepanjang malam. Dia mengkhawatirkanmu. Itu sebabnya dia bereaksi demikian."

"Apa itu artinya dia juga yang mengambil obatku?"

Sekali lagi Dira mengiyakan. "Sekarang makanlah. Perutmu belum terisi setelah berjam-jam tidur. Apa perlu aku yang menyuapimu?"

Yasmine tertawa. "Oh, jangan. Aku tidak ingin melihat ekspresi cemburu suamimu. Kau tidak berpikir aku telah kehilangan selera pada laki-laki, 'kan?"

Dira ikut tertawa. "Baiklah. Aku senang mendengarnya. Lanjutkan makanmu. Aku harus ke meja makan sebelum Brian benar-benar cemburu."

"Dira," panggil Yasmine melihat wanita itu mendekati pintu, "terima kasih."

"Tidak perlu begitu," jawab Dira tersenyum hangat. "Aku senang kau ada di sini. Katakan padaku kalau kau butuh sesuatu."

Usai ditinggalkan Dira sendirian di kamar, Yasmine menunduk malu. Dia menatap bubur jagung yang ada di meja. Pasti dia sudah membuat kehebohan di rumah ini. Dia juga tidak tahu inisiatifnya meminum obat tidur akan berujung begini. Alam bawah sadarnya ternyata punya pikiran untuk menghentikan lelahnya. Tapi barangkali dia terlalu pengecut menjadikannya alasan. Terutama setelah melihat Grace, dia jadi tahu bahwa dirinya tidak boleh lagi menuruti ego. Hanya saja mengingat kalimat Hiro sebelum melepaskannya pergi terlalu berat dirasakan.

Berbahagialah di sana, Nak. Aku akan selalu mendukungmu di sini. Selama kau bahagia, aku pun akan begitu.

Alhasil kemarin malam dia tidak bisa tidur. Kantuknya tidak kunjung datang. Mungkin terlalu banyak minum kopi atau hanya sekadar mencari alasan mengenang rumahnya di Tokyo. Dia pun beberes barang-barang yang belum dirapikan ke lemari. Masih ada sebagian di koper. Tangannya mengeluarkan satu persatu benda. Diperhatikannya bingkai foto yang dia bawa selain potret kimono. Wajah Sabrina tersenyum membawa kue tart di hari ulang tahunnya. Foto tersebut diabadikan sehari sebelum ibunya meninggal.

Menatap wajah itu kembali membuat dirinya begitu merindukan sang ibu. Dia tidak tahu, apakah saat ini ibunya akan senang karena dia telah berada di satu atap dengan saudarinya atau sedih melihatnya meninggalkan Jepang? Dia pun menangis. Terisak di tengah malam. Tiga puluh menit menuntaskan sisa tangis, dia masuk ke kamar mandi. Menyalakan air panas. Menghangatkan tubuh di bathup. Keluar dari tempat itu, dia mulai gelisah. Hidungnya terasa tersumbat. Barangkali efek berdiri di tengah guyuran hujan barulah terasa. Dia mencari obat flu di koper. Merogoh setiap celah kantung di sana. Nihil. Dia lupa memasukkan. Hanya menemukan botol plastik putih berisi sejumlah tablet dengan warna yang sama pula memiliki kandungan melatonin (hormon pemicu kantuk). Dia berdiri, lalu memegang kenop pintu. Menggelengkan kepala. Aku tidak ingin membangunkan Grace. Ini sudah tengah malam. Pikirnya membatalkan niat.

Lihat selengkapnya