Tokyo, Jepang, Musim Semi
Sorot lampu mewarnai penjuru balroom hotel mewah pusat kota Tokyo. Star guest modeling dari berbagai generasi menjadi reuni akbar bagi sejumlah transcenter busana serta awak media. Hal itu telah terasa ketika memasuki pintu masuk disuguhi dengan red carpet. Menambah sisi glamor bagai acara penganugrahan yang disiarkan oleh televisi. Ruang ganti tidak kalah heboh dibanjiri oleh pakaian yang tergantung rapi memenuhi setiap tiang besi penyangga. Itu berarti menandakan para desainer untuk siap bertempur di medan perang. Menampilkan hasil rancangan mereka pada seluruh publik di panggung.
Sabrina Wahid salah satunya. Dia bahkan menjadi tamu terpenting dalam pagelaran ini. Pasalnya, MURI telah mencatatkan namanya sebagai desainer muda yang menghasilkan rancangan sebanyak seratus desain berbagai jenis pakaian anak hingga dewasa dalam versi 3D dengan waktu 30 hari. Itulah sebabnya dia diundang pada acara megah saat ini. Tentu saja hasil dari sebagian desainnya sekarang dikenakan oleh modeling yang berada di panggung. Fashion show telah berlangsung selama lima jam. Sabrina masih berjibaku meladeni sesi tanya jawab yang diajukan media. Dia sempat menolak, karena seabrek pakaian juga mesti diurusnya. Namun ternyata mereka mengerti dan hanya menghabiskan lima belas menit.
Wanita itu mengernyitkan dahi. Ditatapnya arloji sudah menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Helaan berat lolos dari bibir berlipstik merah mudanya.
"Anda bisa kembali ke kamar hotel, Mrs. Wahid," Pria berwajah khas Jepang menyapa ramah pada Sabrina. "Putri Anda pasti tidur sendirian di kamar. Kami yang akan mengurus sisanya. Anda juga butuh istirahat dan terima kasih atas partisipasi Anda yang luar biasa dalam acara ini."
Sabrina tersenyum simpul. Mungkin saja helaannya tadi didengar oleh pria itu. "Justru saya yang berterima kasih karena Anda sampai turun tangan sendiri di acara ini dan masih di sini sekarang."
"Aku senang melakukannya," jawabnya masih menampilkan senyum ramah. "Dan jangan lupa besok masih ada acara spesial untuk makan malam bersama para staf. Ajaklah putri Anda. Akan ada pesta yang bisa dinikmati oleh anak-anak."
Sabrina mengangguk dan sekali lagi mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan pria berjas biru tua itu untuk kembali ke kamar hotel. Begitu lift berdenting, dia segera memacu kakinya agar cepat sampai di nomor kamar tempatnya menginap. Pintu terbuka sesaat setelah dia menempelkan key card. Lampu sekitar ruangan redup. Hanya dipancarkan dari lampu dekat tempat tidur. Tatapannya langsung terarah pada bocah perempuan yang terlelap di balik selimut putih. Dia melangkah, lalu duduk di samping bocah itu sembari mengecup kening. "Maafkan Mama karena membuatmu tidur sendirian, Sayang."
"Seharusnya Mama bersih-bersih dulu baru deketin Yayas," ucap Yasmine sembari membuka mata.
"Sayang, kamu terbangun?" tanya Sabrina terkejut.
"Tentu aja kebangun, Mama buka pintunya terlalu aktif, sih!" jawab Yasmine kesal disela tawa.
Sabrina tergelak. Dia gemas, menyentil hidung putrinya. "Sekarang Yayas tidur lagi, besok ada pesta makan malam dan acara menarik yang bisa kamu nikmati di sana."
•••
Pesta yang disukai anak-anak? Mungkinkah sirkus? Bianglala? Komidi putar? Rumah hantu? Bukan itu semua dari sederet permainan di taman hiburan. Satu-satunya yang menarik perhatian Yasmine hanyalah mesin capit. Dia berusaha keras untuk mendapatkan boneka Doraemon, serial anime incarannya. Dia telah menghabiskan seluruh uang jajan yang diberikan sang ibu. Iris mata hitamnya tidak pernah lepas mengamati kotak kaca itu meski anak lain memainkannya. Dia juga mengomeli setiap anak yang gagal mencapit boneka. Dia bahkan tidak sadar bahwa sedari tadi sepasang mata tengah menatapnya dengan penuh minat sembari menenteng kamera polaroid.
"Seharusnya arahkan capitnya ke kiri, bukan ke kanan," ujar Yasmine lagi-lagi mencoba memberi nasehat pada bocah perempuan berkuncir dua. "Kenapa kamu buru-buru menjatuhkan capitnya? Itu sudah pasti gagal!"
Mendengar ucapan Yasmine barusan tampaknya membuat bocah perempuan itu tidak senang dan ingin mendorongnya. Namun sebelum terjadi, pria yang berada di belakang mereka segera berdiri di tengah keduanya.
"Bolehkah Paman memainkannya? Boneka mana yang kalian inginkan?" tanya pria itu menatap kedua bocah perempuan di sampingnya secara bergantian.
Tanpa menunggu jawaban, pria itu mengeluarkan selembar uang dari dompet, lalu memasukkannya ke tempat uang di mesin capit. Tangan capit bergerak ke sisi kanan, berhenti sejenak di antara boneka Pikachu dan boneka gurita. "Apa yang akan kamu berikan jika aku berhasil menangkap boneka yang kamu inginkan?" tanya pria tersebut menatap Yasmine lewat senyum manisnya.
Yasmine mulai mengamati si pria berjaket kulit dengan pandangan menyelidik. Sesekali matanya menyoroti sepatu boot cokelat yang berlumpur di setiap sisi. Bagpack hitam yang cukup besar untuk memasukkan seorang anak. Hal itu justru membuatnya tersenyum prihatin dengan keadaan pria tersebut tampak lusuh dan terlihat percaya diri memandang ke arahnya.
"Aku akan meminta mamaku membuatkan setelan jas untukmu. Tentu saja jika Paman berhasil melakukannya," jawab Yasmine usai menyudahi pengamatannya.