Kepulan uap dari cokelat hangat di cangkir porselin membuat bibir Yasmine mengulum senyum. Dia tidak pernah bosan oleh aroma khas tersebut melesak ke indra penciumannya. Menenangkan. Jika ada penikmat kopi, maka dia menjadi penikmat cokelat. Dia penyuka makanan manis. Baik itu berupa dessert maupun minuman. Meski seorang model, dia tidak berusaha menghindar. Tentu saja dia perlu membatasi kalori serta asupan yang bisa ditoleransi tubuhnya. Cara yang sering diterapkannya agar tidak berlebihan dengan mengingat kalimat, makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang.
Lamat-lamat disesapnya minuman itu sembari mengedarkan pandangan ke ponselnya yang bergetar di meja.
"Mau sebanyak apa kau akan memenuhi rumah ini dengan hadiah dan kartu ucapan yang kau kirim, Yas? Apa kau masih menyimpan rasa marahmu itu padaku?"
"Sampai rasa marahku terpuaskan. Jadi bersabarlah untuk menjadi tempat pelampiasanku," ucapnya pada si penelepon dengan senyum.
"Kali ini aku bersedia menerima hadiah yang lebih besar sebagai akhir menutup amarahmu, bagaimana?"
"Benarkah? Aku harap Paman tidak akan menyesal dan menarik kata-kata itu kembali." Yasmine berkata serius.
"Oh, astaga... bagaimana sifat pemarahmu itu masih saja sama di usiamu yang sekarang, Nak? Apa Grace dan juga Dira mengeluhkan hal yang sama sepertiku? Aku harap mereka bisa mengatasi sifatmu itu!"
Gurauan Hiro membuat Yasmine tertawa. "Nantikanlah hadiah besar dariku dan sampaikan salamku pada Bibi Mizumi."
"Sampaikan salamku juga pada mereka. Bukankah di sana sudah waktunya untuk makan malam? Ah, aku jadi ingin makan gudeg buatan Dira," balas Hiro.
"Baiklah, akan aku sampaikan. Jaga kesehatanmu, Paman." Yasmine mengakhiri panggilannya dengan cepat. Takut Hiro akan mengomelinya lagi.
Cokelat hangatnya hampir dingin, lalu dengan sekali teguk telah kosong. Dia bergegas mematikan layar tablet dan membawanya bersama cangkir porselen ke dapur. Di sana, seperti biasa Dira telah menyiapkan makanan di meja. Tidak banyak yang dihidangkan. Hanya steik sapi dan rendang telur. Hidangan tersebut juga hanya mereka berdua yang menikmati.
"Aku senang kau pulang di waktu tepat, Yas. Jika tidak, aku akan makan di meja makan ini seorang diri. Bahkan Starr sudah tidur nyenyak." Dira berkomentar seraya mengisi minumannya ke gelas.
"Kalau begitu aku juga beruntung bisa bertemu denganmu di rumah, jika tidak maka aku tidak akan bisa mencicipi makanan ini," ujar Yasmine menuangkan mushroom sauce ke steik.
"Apa yang menghubungimu tadi Paman Hiro? Apa dia mengeluhkan semua hadiah yang kau kirimkan?"
"Bagaimana-tunggu, apa Paman benar-benar menghubungimu dan bercerita tentang keluhannya itu padamu?" Yasmine mendadak meletakkan pisau serta garpu ke piringnya.
"Lebih tepatnya dia memintaku mengawasi emosimu kalau-kalau kau melampiaskannya pada atasanmu," jawab Dira. "Dia juga bahkan memintaku mencarikanmu pasangan."
Yasmine spontan tersedak, lalu mengambil minuman untuk menghentikan batuknya. Dia melirik ke arah Dira. Wanita itu tengah tersenyum. "Apa kau baru saja menjahiliku? Ini seperti humor unik di makan malam yang sepi."
Malam ini memang sepi. Rehan beserta Grace menemani Raef acara kemah di sekolah, sedangkan Brian lembur di kantor. Namun jauh di dalam lubuk hati Yasmine, jika hanya berdua dengan Dira seperti ini membuatnya canggung. Satu hal yang dirasakan Yasmine, bahwa dilihat dari sudut mana pun, wanita itu sangat anggun dan bersahaja. Tatapan hangat serta bersahabat yang dipancarkan Dira sulit untuk dihindarinya.
"Kau akan menepati janjimu untuk menginap malam ini, kan?" tanya Dira.
"Tentu. Sebagai bonusku menaikkan rating penjualan fashion mereka, aku berhasil mendapat jatah liburan. Meski hanya dua hari," tukas Yasmine, kembali memotong steik sapinya.
Menggeluti bidang fotografi telah dijalani Yasmine selama delapan bulan. Usai menyelesaikan kelas fotografi dia mendapatkan tawaran dan rekomendasi dari tutornya di kelas untuk bekerja sebagai fotografer majalah fashion. Tentu saja sebelum menerima penawaran, Grace adalah orang pertama yang sulit dibujuk. Alasan utama dikarenakan syarat pekerjaan itu bersedia tinggal di lokasi kerja. Mereka sempat beradu argumen. Bahkan Grace mogok bicara dengannya selama sepekan. Namun tanpa diduga, Grace menggunakan waktu tersebut demi mengulik perusahaan majalah tersebut.