"Apa kau tertarik dengan gadis itu? Lebih baik urungkan niatmu, dia itu sudah punya pacar."
"Sebaiknya kau menyerah saja. Gadis itu tidak akan tertarik pada lelaki selain pacarnya."
"Dia bersikap ramah pada semua orang, tapi bukan berarti dia tertarik."
Kesimpulan dari semua kalimat itu hanya satu, menyerah. Dan seperti menjadi harga mati untuk tidak mendekati Tamada Yasmine. Meskipun demikian, bagi Robinson Miller, ketertarikannya melainkan karena gadis itu memiliki perasaan yang dalam untuk kekasihnya. Dia bisa melihat kebahagiaan di wajah Yasmine saat menunjukkan piagam kemenangan pada sang pacar serta keluarganya saat makan malam di restoran.
"Seharusnya aku yang mentraktir kalian. Ini tidak adil, kenapa hanya aku yang tidak boleh mengeluarkan uang? Sementara, dia boleh melakukan apa saja!"
"Mentraktir? Coba lihat, siapa yang bicara barusan! Bukankah kau begitu kesal karena namamu masuk di dalam kontes fotografi itu? Kau bahkan kabur ke rumah Paman Hiro karena kami menyuruhmu ikut. Tapi sekarang, piagam itu terus saja kau pandangi tanpa berterima kasih padaku."
"Berhenti mengganggunya, Ken! Justru karena rasa kesalnya itulah membawanya menghasilkan gambar yang bagus. Tapi aku tidak yakin dengan sikap kabur-kaburan itu kalau amarahnya sedang meledak."
"Ayah! Ternyata kalian berdua sama saja. Mama tidak menganggapku begitu, 'kan? Katakan pada mereka."
"Entahlah, Sayang. Sebaiknya kita makan saja, ya. Tidak baik mengomel di depan makanan. Soal piagam, biar mama yang membingkainya. Apa itu menyelesaikan masalah kita malam ini?"
Wajah Yasmine cemberut sembari menyantap makanannya. Robin menahan diri untuk tidak tertawa. Semua obrolan maupun ekspresi yang ditampilkan gadis itu tidak luput dari pandangannya. Meja mereka berada di depan mejanya. Kebetulan teman-temannya hanya menyisakan tempat itu karena dirinya terlambat datang. Alhasil dia duduk menghadap ke arah Yasmine dan bisa melihat dengan jelas semua gerak-geriknya. Dia tahu kata menyerah barangkali sesuai dengan situasinya saat itu karena masa liburannya di Jepang juga telah berakhir.
Wajah Yasmine yang dulu dilihatnya cemberut ternyata sekarang berdiri tegak, mengeluarkan tatapan tajam sekaligus curiga, bukanlah pemandangan yang diharapkannya saat bertemu secara langsung. Ekspresi wanita itu masih sama. Menunggu penjelasan.
"Aku melihatmu saat kontes fotografi di Tokyo dan mendengar namamu dipanggil menaiki podium. Dan perkenalkan, namaku Robinson Miller. Kau bisa memanggilku cukup dengan Robin," terangnya, mengulurkan tangan, tersenyum kikuk.
"Jadi begitu rupanya. Itu sudah lama sekali," timpal Yasmine. Dia pun menerima jabat tangan pria itu dan berkata, "Kau benar. Aku Yasmine Ellison. Dan maafkan aku sudah terlambat."
Robin menanggapi dengan santai. "Oh, jangan khawatir. Seharusnya akulah yang berkata begitu karena memintamu jauh-jauh datang ke sini. Apa sebaiknya kita turun ke bawah saja? Barang yang kau butuhkan ada di sana."
"Hei, Bung! Setelah bertemu wanita cantik, apa kau sengaja mengabaikan kami di sini dan ingin pergi begitu saja?" Celetukan dari pria berkaos oblong hitam membuat Robin mengalihkan pandangan sejenak dari Yasmine.
"Pantas saja kau berpakaian rapi, ternyata kau ingin bertemu wanita cantik, heh?" Pria berkaos oblong merah marun ikut berkomentar.
"Bisakah kalian berdua diam? Aku tidak bisa berkonsentrasi!" seru perempuan berambut cokelat terang masih menekan sejumlah tuts pada keyboard. Mengabaikan kehadiran Yasmine berdiri di sana.
"Aku harap kau tidak keberatan menunggu sebentar untuk mengenalkan mereka padamu." Robin menoleh ke arah Yasmine dan disetujui dengan anggukan. "Pria yang baru saja bersuara itu, John Frederick. Di sebelahnya Ricky Wilson, lalu perempuan yang bermain keyboard di sana itu Emilia Grisham."
"Mungkin kalian sudah mendengarnya tadi, Aku Yasmine Ellison," kata Yasmine.
Usai perkenalan, Robin mengajak Yasmine ke meja bar dapur, membuat minuman espresso di mesin kopi. "Apa yang membuatmu terlambat?"
"Selain ban mobilku bocor, sepertinya mesinnya juga overheat," jawab Yasmine. "Tapi syukurlah ada kenalanku yang mengurusnya. Meskipun aku merasa tidak enak mengganggu waktu jalan-jalannya. Apa yang kau lakukan saat itu di Jepang?"
"Ayahku bekerja sebagai duta besar di sana dan waktu libur kugunakan untuk mengunjunginya," balas Robin menghidangkan mug berisi kopi yang baru dibuatnya.
"Apa itu berarti kau tidak tinggal bersamanya?"
"Benar," ungkap Robin. "Sejak usia 10 tahun aku tinggal bersama ibuku di New York. Mereka berpisah dan masing-masing telah menikah kembali. Aku memutuskan keluar dari rumah saat mendapat beasiswa di perguruan tinggi dan menjadi pekerja paruh waktu sebagai fotografer majalah."
"Fotografer? Sungguh? Kalau begitu kau adalah seniorku!" Yasmine berkata antusias. "Pantas saja kau punya koleksi lengkap perlengkapan untuk pemotretan."
"Aku sudah menyiapkan benda yang kau butuhkan," kata Robin, meletakkan tas koper hitam di meja. "Sesuai kesepakatan, kau hanya perlu membayar setengahnya."
"Kau yakin aku tidak perlu membayar penuh? Light meter model ini terbilang susah untuk dicari," tukas Yasmine.