Sama-samar jarak pandang Yasmine beradaptasi dengan keadaan sekitar. Dia mengernyit. Kepalanya terasa berdenyut diikuti nyeri di bahu. Sejenak ketika merasa gerakannya terbatas, dia mulai menyadari tangan serta kakinya terikat pada kursi yang didudukinya. Dia pun mengingat kejadian di rumah sakit hingga hal terakhir dirinya mengambil alih kemudi mobil, lalu menabrak pembatas jalan. Ternyata Robin membawanya ke sini saat pingsan.
Yasmine tidak tahu sedang ada mana dirinya. Dia melihat ruangan ini tidak hanya disinari oleh warna kekuningan dari lampu, tetapi juga nyala lilin merah yang membentuk lingkaran di sekelilingnya. Namun hal yang membuatnya lebih terkejut yakni berdiri tiga white board. Masing-masing menempel berbagai angle foto. Jika diamati akan terlihat seperti buku kliping.
Seluruh foto itu hanya menampilkan tentang dirinya. Papan sebelah kiri dari tempatnya duduk merupakan hasil jepretan selama berkarier sebagai seorang model. Papan di tengah memperlihatkan dia di masa sekarang, lalu di papan terakhir dan yang paling dibuatnya terpaku karena mengisahkan masa remajanya. Dia melihat cuplikan berlatar belakang dirinya berada di atap gedung rehabilitasi diguyur hujan saat hendak menghentikan Kenichi di sana. Bahkan di antara foto itu ada menampilkan dia ada di makam sang ibu.
Seluruh kenangan tersebut seolah menariknya ke masa itu dengan bayangan wajah ramah Satoshi, senyum hangat ibunya juga keceriaannya ketika melakukan pengepasan gaun pernikahan di depan Kenichi. Sesaat kesesakan itu merambati rongga dada. Tangannya yang mengepal membuat ikatan tali itu menegang dan memberi bekas.
"Kau bisa melepaskan semua ingatan yang ingin kau ingat. Tapi tidak perlu terburu-buru, Yas. Atur napasmu dengan baik dan embuskan secara perlahan agar kau tidak merasa sesak lagi," Robin berkata di depannya sembari mengendurkan tangan Yasmine yang mengepal. "Jika kau menahannya, itu hanya akan menyakiti dirimu."
"Menjauhlah dariku," sahut Yasmine pelan, selagi mengatur napasnya. "Dan singkirkan tanganmu!"
"Kenapa kau masih saja keras kepala, hm? Di saat seperti ini, yang kau butuhkan hanya aku. Hanya aku yang ada di sisimu sekarang," jawab Robin, menyeka rambut Yasmine yang menyentuh ke wajah, lalu memasangkan plester di dahi wanita itu.
"Perlakuanmu ini bukanlah sesuatu yang bisa membuatku mengikuti keinginanmu dan aku lebih memilih melukai diriku sendiri. Jadi kembalikan benda yang kau curi dariku!" tegas Yasmine.
"Aku tidak akan membiarkannya, karena aku bukanlah dia. Pria yang begitu kau cintai dan membuatmu terluka seperti ini," Kata Robin menyentuh bekas luka jahitan di pergelangan tangan Yasmine dan mengecupnya. "Tidakkah kau mengerti aku ingin menjagamu?"
Mengerti? Jika saja kalimat tersebut dilontarkan sebelum mengetahui siapa pria itu sebenarnya, Yasmine akan menganggapnya sebagai bentuk kepedulian. Namun sekarang dia tidak akan menerimanya begitu saja oleh pernyataan orang yang telah menjadi penyebab alasan dirinya meninggalkan Jepang serta peneror sesungguhnya, yakni Robinson Miller. Hal itu diketahui dalam insiden pelemparan kaca jendela kamarnya. Dia memeriksa kamera pengawas di depan rumah yang memperlihatkan wajah Emilia.
Yasmine bisa melihat postur Emilia secara keseluruhan. Tanpa mengenakan tudung yang ada di jaket hodie. Dia menyimpulkan wanita itu seperti ingin menunjukkan diri. Hal tersebut diperkuat dengan selembar foto saat memeriksa kotak surat di rumahnya untuk mengambil dokumen pekerjaan ditemani Rehan.
Kau pasti sudah melihatku di kamera. Jika kau ingin tahu bagaimana aku bisa mendapatkan benda yang ada foto ini, temui aku seorang diri. Aku akan mendatangimu. Hanya kau dan aku.
Emilia menuliskannya di belakang foto itu. Rasa penasaran membuat diri Yasmine meminta bantuan Indira. Sementara Grace melarangnya ke luar rumah. Setelah mendapat persetujuan, dia pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ternyata Emilia sungguh mendatanginya ketika dia berada di toilet restoran untuk rapat bersama klien dari pusat kebugaran.
"Menjauhlah dari Robin," ucap Emilia. "Selama ini dia selalu mengawasimu. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkanmu, Yasmine."
"Bagaimana aku bisa memercayai ucapanmu? Kau bahkan menerorku dengan pecahan kaca itu," sahut Yasmine.
"Tidakkah kau ingat lagu yang dimainkan Robin saat di studio musik? Apakah kau pikir itu hanya kebetulan belaka? Kau bisa memastikannya sendiri. Aku sarankan sebaiknya kau berhati-hati untuk memakai ponselmu."
Semenjak itu semua ujaran Emilia terngiang. Dia pun mulai bimbang karena polisi menemukan sejumlah obat terlarang di apartemen Emilia. Keadaan bertambah rumit atas kemunculan buket bunga krisan merah. Namun dia lebih terganggu oleh benda yang tergeletak di bawah kursi pengemudi mobil milik Robin dalam perjalanan untuk mengantarnya pulang setelah insiden jogging kala itu. Dia tidak akan pernah melupakan bentuk bolpoin hitam berukirkan namanya di sana. Pemberian dari James Ellison, ayah kandungnya. Benda itulah yang ada difoto kiriman Emilia.
Yasmine memulai penyelidikan dengan mendatangi apartemen Robin. Dan untuk mengalihkan perhatian Robin, dia membujuknya agar menerima tawaran bekerja di perusahaan broadcasting. Namun aksinya ternyata diketahui oleh Indira yang melihatnya keluar dari kawasan itu. Dia menceritakan pertemuan dengan Emilia bersama hasil penemuannya di apartemen Robin. Kecurigaannya berubah menjadi keyakinan bahwa pria itulah penyebab kecelakaan yang menimpa Kenichi di panggung konser hingga pemasok obat-obat terlarang setelah menyalin berkas video dan foto dalam kamera digital Robin. Salah satu video tersebut menayangkan suasana pesta saat berada di rumahnya, Tokyo, Jepang.
Mendengar ujaran Robin, seketika Yasmine tertawa. Dia melihat tuksedo putih yang kini dikenakan pria itu. "Kau ingin aku mengerti? Tentu tidak untuk kejahatan. Bagaimana bisa aku menoleransi hal itu? Kau hanya bersembunyi menutupi ketidakpercayaan dirimu dengan mencari tempat pembenaran akan semua perbuatanmu. Kau mengartikannya bahwa itu adalah sebuah ketulusan? Bagiku kau tidak lebih dari seorang pembual dan pelaku kriminal demi memuaskan obsesimu semata."
Robin yang berada di depan meja tidak berkomentar. Dia menuangkan botol berisi sampanye ke gelas yang sudah lebih dulu terisi pecahan es, lalu menghidangkan cangkir berupa minuman cokelat hangat. Di tengah minuman terdapat piring putih bulat dengan cake berbentuk serupa seperti piring itu. Dia berjalan menghampiri Yasmine dan membuka ikatan tali yang melilit di kedua kaki serta tangan.
"Tidak masalah jika pemikiranmu tentangku seperti itu," ucap Robin. "Aku tetap ingin memperlakukanmu dengan baik. Minumlah cokelat hangat itu sebelum dingin. Kau tidak perlu cemas, aku tidak menaruh apa pun di dalamnya."
Yasmine berjalan mendekati meja dengan Robin mengawasi di belakangnya. Meski tidak terlalu yakin dengan perkataan pria itu, dia tetap meminumnya. "Apa yang kau inginkan? Aku yakin kau membawaku jauh-jauh ke sini dengan tujuan, bukan?"
"Baiklah. Aku juga tidak ingin berbasa-basi lagi," balas Robin, mengeluarkan kotak beludru berwarna merah, lalu membukanya. "Menikahlah denganku."