Romantic Destination (I Still Love You) Part 2

Alita
Chapter #19

Tell Me

Semua keadaan ini karena aku. Orang-orang yang berada di dekatku dalam bahaya. Bagaimana jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada mereka, Grace? Seperti yang terjadi pada, Ken? Aku bahkan tidak bisa menjaga pemberian dari Daddy.

Perkataan yang didengar Dira di pintu kamar rawat Yasmine membuatnya memahami alasan di balik kepergiaan wanita itu ke Paris. Bahkan sebelum kalimat tersebut terucapkan, dia bisa melihat betapa besar keterkejutan yang dirasakan Yasmine saat pingsan di koridor ruang operasi dengan tangan masih berlumur darah tanpa memikirkan luka yang ada pada dirinya sendiri. Tentu dia tidak bisa membiarkan Yasmine larut dalam insiden itu.

"Jika kau terus menghindariku, bisakah aku meminta pertanggungjawaban sebagai kompensasiku atas rasa bersalahmu?" Dira bertanya memecah keheningan yang tercipta di antara mereka saat duduk di restoran taman kota.

"Kompensasi? Kau ingin bernegosiasi lagi denganku seperti sebelumnya?" Yasmine balik bertanya.

"Bisa dibilang begitu," jawab Dira. Jika kau tidak menerimanya, aku juga akan melakukan hal yang sama sepertimu."

Yasmine berdecak. "Kenapa hal itu lebih terdengar seperti ancaman daripada negosiasi? Kalau begitu, katakan kompensasi apa yang ingin kau berikan padaku, Mrs. Claude?"

Dira mengulum senyum. "Bagaimana kalau kau yang menjadi penanggung jawab di hari jadi perusahaan dengan membuat film dokumenter?"

Tangan Yasmine yang memegang gelas berisi Capuccino hangat batal masuk ke mulutnya. Diletakkan gelas itu ke meja, lalu berkata, "Baiklah. Kapan bisa kita mulai?"

"Aku suka antuasisme itu, Yas. Datanglah besok ke rumah," sahut Dira.

"Ke rumah? Bukankah kau bilang acara itu di perusahaan?"

"Itu benar. Tapi sebelumnya, kita akan meminta persetujuan orang pertama di perusahaan itu," kata Dira tenang.

"Sebentar, maksudmu, Brian?" tebak Yasmine. "Dan kita? Jangan bilang, kau belum berdiskusi dengannya dan langsung menawariku untuk bekerja?"

Dira mengangguk. "Melihatmu memotret, gagasan itu muncul begitu saja. Tapi tenang saja, aku yakin dia akan menyetujuinya karena telah mengenalmu."

"Oh... kau memang sungguh bertekad," sahut Yasmine. Dia melihat ponselnya yang kehabisan baterai dan menunjukkannya pada Dira. "Untuk merealisasikan hal itu, aku pikir ada baiknya kau menghubungi Grace. Jika tidak, aku yakin dialah orang pertama yang akan menahanku keluar rumah."

"Ya, kau benar," balas Dira. "Dan itu akan merepotkan."

•••

Penghangat di ruang kerja Yasmine menyala demi meringankan rasa kantuk di musim dingin. Cuaca tersebut sedikit mengganggunya. Meski kota ini dikenal memiliki suhu hangat di kala musim dingin menerpa, dia merasa tidak nyaman dengan langit yang tertutup awan tebal dan terkadang bisa diselimuti warna kelabu. Apalagi jika harus menuai hujan.

Dia juga mulai merasa begitu sejak berkeliling bersama para tim audio di perusahan konstruksi. Mewawancarai setiap orang di bagian perusahaan itu dan melakukan pertemuan secara virtual dari seluruh cabang perusahaan serta eksekutif hotel. Tapi sekarang dia ingin menghalau itu semua agar pekerjaannya memberi hasil yang baik. Terutama karena proyek ini merupakan kali pertama dilakukannya sejak memulai dunia fotografi.

Dia baru sadar mug yang diraihnya tanpa menyisakan teh madu lagi di dalamnya. Lewat kaca besar di sisi kiri samping meja kerja, kalau sekarang sudah petang. Dia mematikan komputer dan melakukan gerakan kecil untuk melemaskan otot punggung juga tangan, lalu bersandar di kursi kerjanya. Tidak lama perutnya ikut meraung. Saat ini kantin sudah tutup sejak tadi, dia mengambil ponsel, mencari layanan pengiriman makanan.

Melihat waktu yang ditampilkan layar, dia mulai mengingat akan ada pemeliharaan jaringan dengan pemadaman listrik pukul enam. Dia pun menjadi teringat oleh revisi akhir video yang direkam kemarin. Gawai itu kembali menyala. Membuka kontak telepon. Sejenak diurungkannya. Dia masih memiliki setengah jam. Dia berpikir lebih cepat jika mengunjungi langsung bagian editing di studio. Dia juga bisa ke sana selagi menunggu pesanannya datang.

Di ruang administrasi multimedia, lampu di sana masih menyala. Tampak dua pegawai belum pulang seperti dirinya untuk menyelesaikan pekerjaan. Setelah melewati ruangan itu dia menekan tombol ke bawah untuk memanggil lift. Dia menatap ke depan. Berharap pintu segera terbuka. Dia tidak ingin terjebak saat listrik padam. Ponsel yang sedang dipegangnya bergetar. Dia menjawab panggilan itu.

"Kau masih di kantor, Yas?"

"Ya, aku akan ke ruang studio. Apa yang membuatmu meneleponku, Ra? Aku harap tujuanmu menelepon bukan untuk mengatur ulang jadwal presentasi."

Si penelepon tertawa. "Kau terdengar seperti orang yang sedang kelaparan. Terima kasih kau telah mengingatkanku tentang presentasi akhir. Bolehkah aku melakukannya?"

Yasmine ikut tertawa. "Tentang kelaparan kau benar. Tapi tidak untuk presentasi. Lalu sekarang ada apa meneleponku?"

"Apa kau bertemu Brian? Dia berkata akan ke sana sebelum pulang."

"Aku baru keluar dari ruanganku. Jadi tidak melihatnya. Kau sudah meneleponnya?"

Lihat selengkapnya