Laju mobil perlahan melambat di depan gerai pakaian. Pria yang berada di belakang kemudi mematikan mesin. Dia melonggarkan dasi, lalu membuka satu kancing bagian atas kemeja putihnya. Di sebelahnya wanita berhijab hanya memandangi gerai itu dan masih belum melepas sabuk pengaman.
"Kita tidak harus ke sini," ucap Dira.
"Harus, Indi," tegas Brian. "Bukankah kita sudah sepakat untuk saling menentukan tempat kencan? Jadi aku ingin kau mengenakannya nanti malam."
"Aku harap pakaian di toko ini masih bisa menyesuaikan dengan ukuran tubuhku yang sekarang," kata Dira masih mengamati toko di depannya.
Sejenak tangan Brian terhenti saat hendak melepas sabuk pengaman Dira. "Jika ukuran pakaian mereka tidak ada yang cocok denganmu, aku akan menyegel toko ini sampai mendapatkan ukuran yang kau inginkan."
Otomatis pandangan Dira jatuh tepat mengarah ke suaminya. "Itu tidak lucu!"
"Tentu tidak," sahut Brian tenang. "Tapi aku bisa membuatmu masuk ke sana."
"Dengan cara?" tanya Dira.
"Menggendongmu!" seru Brian. "Kau ingin aku melakukannya sekarang? Cuaca hari ini sangat bagus."
"Berhenti centil, Mr. Cloudy," gerutu Dira. "Aku akan masuk, tapi setelah ini kau harus menuruti permintaanku."
Brian tertawa. "Asalkan kau tidak memintaku memanjat pohon kelapa, aku setuju."
Memilih busana menjadi hal menegangkan. Pasalnya Brian terus mengawasi para pegawai di toko itu. Pria itu langsung memberi perintah mencarikan ukuran yang sesuai dengan tubuhnya. Dia juga memeriksa bahan kain, warna hingga merek pakaian tersebut. Dia bahkan menegur salah satu pegawai saat menjatuhkan tasnya. Mereka tampak kewalahan menghadapi sikap otoriter Brian.
"Aku yakin mereka akan menandaimu menjadi orang yang menyebalkan jika datang lagi ke toko ini," ujar Dira memasang kembali sabuk pengaman. "Aku harap mereka tidak akan menyebarkan rumor aneh ke toko lain."
"Biarkan saja. Lagipula aku melakukan sebagaimana mestinya kepada para wanita itu," sahut Brian.
"Sebagaimana mestinya?" Dira mengernyit. "Tunggu, maksudmu kau sengaja ya, bersikap galak seperti itu karena mereka diam-diam terus melirikmu? Oh, kau sangat usil!"
"Usil? Kau tidak cemburu melihat mereka melirikku begitu?" tanya Brian terlihat jengkel.
Tawa Dira mereda. "Ayolah, bukankah kau bilang hanya aku yang kau cintai? Jika aku tidak memercayai hal itu, sejak masih bekerja, aku akan melabrak semua wanita di kantor. Jadi aku tidak perlu merasa tersaingi dengan mereka, bukan?"
"Mrs. Claude, kau sangat pintar mematahkan argumenku," gumam Brian. "Kau benar. Kalau begitu, jika tidak ada di antara mereka, siapa yang bisa membuatmu merasa tersaingi? Atau apa kau masih berpikir, Megan orangnya?"
Dira tersenyum tipis. Brian tampak menunggu jawaban. Namun ponselnya yang merespons. "Lihatlah, adikmu! Dia paling tahu kapan waktunya untuk mengganggu," Brian menunjukkan nama si penelepon.
"Anggap saja itu sebagai balasan atas sikap cerewetmu tadi," sindir Dira, mengulum senyum.
Tidak lebih dari lima belas menit percakapan Brian di telepon selesai. Dia pun berkata pada Dira. "Soal permintaanmu tadi, apa itu?"
"Antarkan aku menemuinya sebentar saja," jawab Dira.
Brian tidak langsung menjawab. Dia kembali menyalakan mesin mobil. Sepanjang jalan mereka hanya diam. Tiba di tempat tujuan, istrinya itu lebih dulu keluar dari mobil. Dia berjalan di belakangnya selagi terus mengawasi. Sejujurnya dia ragu setiap kali Indira datang ke tempat ini. Makam buah hati pertama mereka yang masih berupa janin dalam rahim sang istri selama tiga minggu. Dia tidak ingin rasa bersalah itu terus menghantui hingga memberi kesedihan mendalam di hati Dira.
"Ke mana tujuan berikutnya?" tanya Brian di depan mobil.
"Kali ini aku yang menyetir. Kau hanya perlu duduk manis," balas Dira menadahkan tangan.
"Indi, meski dokter telah memberikanmu izin pulang, aku tidak ingin kau kelelahan," sahut Brian enggan.
"Energiku masih terisi penuh. Tapi jika nanti lelah, aku akan langsung memberitahumu. Biarkan aku mengemudikannya, ya? Aku mohon," pinta Dira.
"Aku merasa senang karena saat ini menjadi satu-satunya orang yang bisa melihat ekspresimu itu," ujar Brian. "Kemudikanlah dengan kecepatan normal."
Mata Dira berbinar. Dia pun mengikuti instruksi Brian. Butuh dua puluh lima menit tiba di lokasi tujuan. Mesin mobil berhenti menyala dan hal tersebut membuat Brian melongo. Tempat yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Mereka kini tepat berada di depan barbershop.
"Akhirnya Anda berhasil membawa Mr. Claude ke sini," ucap pemuda yang berdiri di pintu babershop.
"Ya, ternyata saranmu itu berhasil, Peter. Aku hanya harus mengeluarkan rayuan padanya," balas Dira.
"Jadi kalian sudah merencanakannya? Seharusnya aku sudah curiga alasanmu tidak ingin menyetir, Indi," keluh Brian. "Dan aku juga yakin pamanmu pasti sekarang sedang tidak ada di sini, Mr. Wayne?"
Mereka hanya tersenyum. Dira beranjak ke gedung sebelah menyiapkan makan siang. Di pintunya terpasang tanda bahwa tempat ini tutup. Restoran tersebut sebenarnya milik Grace. Sejak melahirkan Raya, Grace tidak lagi menanganinya. Namun kini dikelola oleh Peter Wayne. Kali pertama dia bertemu dengan Peter saat berada di Turki. Selain kemampuan bela diri menjadi bodyguard, pemuda berusia 27 tahun itu memiliki bakat sebagai koki dan juga penerbang berlisensi. Peter pula orang yang selama ini menemani perjalanan bisnis Brian menggunakan transportasi udara.
•••
Welcome home, Ibu!
Dira mengerjap mendapati tulisan bercat krayon di hadapan netranya. Kertas berbingkai itu dipegang oleh bocah laki-laki berusia usia tiga setengah tahun. "Ini hasil karyamu, Sayang?"
"Yes!" seru Starr cepat.