"Aku sudah menelepon Rehan untuk menjemput Starr, siang ini beristirahatlah di rumah."
Satu detik, dua detik hingga berjalan satu menit, Brian tidak melepaskan jemarinya mengetik pada keyboard laptop. Lima menit kemudian, barulah dia menutup benda itu dan berdiri untuk membuang gelas plastik bekas kopi di keranjang sampah. Dia melangkah ke arah samping ranjang, memeriksa cairan infus agar menetes dengan lancar.
"Brian, hentikan semua ini."
"Istirahatlah," Brian melepaskan genggaman Dira.
"Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu berhenti?" Dira meraih kembali tangan Brian.
"Kau sudah tahu jawaban serta apa yang ingin kudengar darimu, Indi," jawab Brian. "Jika kau masih bersikeras, aku juga tidak akan berhenti."
Dira melepaskan genggaman tangannya. Bukan ujaran itu yang membuatnya gentar, melainkan sorot mata Brian menyiratkan kesedihan dan rasa bersalah. Dia memandangi punggung suaminya menjauh hingga menghilang bersama pintu yang tertutup.
Ruangan ini menyisakan dirinya seorang. Dia segera menyingkirkan selimut, lalu mendorong besi cairan infus menuju sofa. Dia membuka laptop di meja. Sejumlah folder tampak baru dibuat oleh Brian. Dia juga melihat pesan keluar yang terkirim di akun surel.
Jemarinya mengerat pada mouse. Tatapan Brian tadi berkaitan dengan sederet pesan masuk di sana. Balasan dari semua pesan itu sama, permintaan maaf dan penolakan. Brian mengirimkan surel pada sejumlah dokter saraf, dokter bedah maupun penyakit dalam ke penjuru rumah sakit. Lampiran folder itu berisi rekam medis miliknya. Jawaban serta apa yang ingin didengar Brian adalah mengurungkan niat untuk tidak melakukan prosedur operasi.
Semenjak melakukan perawatan dengan kemoterapi, Brian terus berada di sisinya. Sedari awal dia tahu bahwa prosedur operasi hal yang sulit untuk dilakukan. Namun Brian menentang keinginannya tersebut. Dia juga tahu kemungkinan terburuk jika operasi itu gagal. Tetap saja dia ingin mengusahakan sekecil apa pun meski hanya 0,01 persen.
Pandangan Dira teralihkan oleh getar ponsel dari jas hitam yang tersampir di sofa. Brian meninggalkan ponselnya di saku jas.
"Kau harus datang ke kantor, Claude. Kita dalam masalah."
"Apa yang terjadi, Kevin?" tanya Dira pada Kevin Tyler.
Dira mendengar nada terkejut Kevin. "Ah, Dira, jadi kau yang mengangkatnya?"
"Apa maksudmu dengan masalah? Apa ada hal buruk yang terjadi?" tanya Dira kembali.
Kevin di seberang sana belum memberi jawaban. "Kau bisa mengatakannya padaku. Brian tidak sedang bersamaku sekarang. Jika kau meragukannya karena kondisiku, setidaknya katakan untuk meringankan rasa cemasku karena sudah mendengarnya."
"Sebagian investor mundur dari proyek setelah Brian membatalkan sejumlah pertemuan dan menunda peninjauan properti real estate," balas Kevin kemudian.
•••
Suara dari baling-baling helikopter bergemuruh bersamaan dengan pintu yang ditutup oleh Peter. Pria itu kemudian menoleh ke arah wanita di sampingnya dan bertanya, "Haruskah kita beristirahat sebentar, Ms. Ellison?"
"Kita langsung berangkat saja," sahut Yasmine menutup tabletnya. "Ini tempat terakhir yang harus kita datangi dan segera menyelesaikan urusan di sana agar Mrs. Claude tidak terlalu lama menunggu."
Peter mulai menekan tombol panel untuk menerbangkan helikopter, sedangkan Yasmine menatap langit gelap dini hari dari kaca di samping. Dia meremas jemari tangannya mencoba menenangkan diri. Benaknya sedikit demi sedikit masih mencerna bagaimana raganya sekarang berada di ketinggian ribuan kaki. Jauh meninggalkan Kota Vancouver setelah enam jam lalu menyetujui permintaan Indira saat mengunjunginya di rumah sakit.
"Apa yang kau lakukan duduk di situ dengan membuka laptop? Tolong segera tutup sebelum siapa pun yang datang ke kamar ini menegurku karena melihatmu melakukannya."
"Bisakah kau mengantarkanku ke kantor, Yas?"
Dia segera meletakkan kembali apel yang baru saja dipegangnya ke keranjang buah. "Kabar sepenting apa yang kau dengar dari kantor hingga mengharuskanmu ke sana?"
"Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, kehidupan ribuan orang yang akan menjadi korbannya," ungkap Dira. "Terlebih aku tidak ingin melihat semua usaha Brian selama ini jatuh begitu saja. Aku tidak bisa melihatnya terpuruk lagi."
"Tetap saja membawamu keluar-"
"Bantu aku, Yas," potong Dira. "Temani aku ke sana."