Romantic Destination (I Still Love You) Part 2

Alita
Chapter #23

About Her

Kata pengantar yang tercantum pada kertas manila itu merupakan tulisan tangan Indira untuk dimasukkan ke kotak kaca. Mereka telah melakukan ritual tersebut sejak berada di Turki dan membuat kesepakatan setiap kali wedding anniversary. Saling menukar surat. Entah itu berisi ungkapan cinta, keluhan maupun permintaan pada pasangan. Terkadang sulit mengutarakan secara lisan apa yang diinginkan tanpa menimbulkan perdebatan. Maka mereka menyepakati untuk melakukan hal tersebut.

Sedari awal membaca tulisan Dira, Brian telah dihinggapi rasa takut. Dia mencoba mengabaikan agar bisa melupakan penyakit yang tengah diderita sang istri. Berkali-kali menepis kecemasan itu, tetapi istrinya seolah terus menyerukan perpisahan dengan senyuman hangat. Dia tahu bahwa Dira mencoba menampilkan ketegaran dibalik kesakitan itu.

Insiden saat berada di hotel Izmir, Turki, menghantui dirinya sejak mengetahui Dira dinyatakan terserang tumor otak metastatis. Penyebaran cepat dari sel kanker paru-paru telah menyerang ke organ lain seperti hati dan menuju otak. Selama tiga bulan terakhir, sejumlah prosedur pengobatan dan perawatan telah dijalani Dira. Dia tidak rela melihat istrinya itu kelelahan usai melakukan kemoterapi. Usaha sang istri yang begitu keras membuatnya lebih ingin mengusahakan mencari seluruh dokter agar bisa menyembuhkan Dira.

Awal dari Brian mengirimkan rekam medis ke sejumlah dokter di rumah sakit baik yang dikenalnya maupun pencarian melalui daring, disebabkan Dira telah lebih dahulu berbincang dengan Louis Maurier di acara penganugerahan masa jabatan.

"Apa yang ingin Paman lakukan setelah pensiun dari rumah sakit ini?" tanya Dira.

"Sejujurnya aku belum memikirkan apa yang ingin kulakukan, tetapi mengingat empat puluh tahunku mendengar keluhan pasien dan memakai peralatan medis, semoga tidak membuat kakiku ini kesemutan karena hanya duduk santai," kelakar Louis.

"Jika Paman merasa kesemutan terlalu lama bersantai, bagaimana dengan menyibukkan diri menjadi dokterku?" tawar Dira.

"Apa maksud dari ucapanmu itu?" Louis tampak bingung menatap Dira.

"Paman adalah orang yang paling tahu kondisiku sebelumnya. Maka dari itu, aku ingin Paman juga yang kelak mengoperasiku," sahut Dira.

Ucapan Dira tersebut bukanlah kesepakatan yang mereka bicarakan saat bertemu Louis. Tidak untuk menyinggung perihal penyakit apalagi prosedur operasi. Hal itulah menjadikan dirinya marah. Menyodorkan permintaan tersebut secara langsung pada Louis di depannya.

Sekarang sikap emosional itu memberi penyesalan dan rasa bersalah karena dia melewati kesempatan untuk berbincang lebih banyak saat mereka bersama.

"Walaupun kau tidak ingin tidur, berikan waktu untuk tubuhmu beristirahat, Claude," tegur Eliya di samping Brian. "Dira pasti akan marah karena kau tidak beristirahat dengan baik."

"Aku harus ada di dekatnya saat dia bangun nanti. Biarkan aku di sini," jawab Brian bersikeras.

Eliya menatap Dira yang tidur terlelap, lalu berkata, "Saat Dira memberitahuku tentang penyakitnya, aku tahu dia sedang berjuang untuk menerimanya. Takut? Tentu saja dia berpikir demikian. Namun, alasan dari ketakutan itu ternyata justru membuatnya berani melangkah yaitu dirimu dan juga Starr."

"Kenapa dia tidak mengeluhkan itu padaku?" tanya Brian. "Bukankah seharusnya dia membaginya denganku?"

"Mengeluh? Benar. Kita semua tahu dia sedang tidak baik-baik saja," kata Eliya setuju. "Aku pernah melihatnya begitu saat dia mengetahui ayahnya meninggal dunia. Dia tidak tidur, makan hanya bila disuruh, bahkan tidak bicara pada siapa pun. Dia berkata padaku penyesalan terbesarnya adalah menyerah meyakinkan ayahnya. Maka saat ini, bantulah dia untuk melawan ketakutan, kecemasan dan rasa sesal itu dengan tidak menyerah menorehkan senyuman agar memberinya keberanian serta kekuatan bagi kita."

Brian masih menggenggam tangan Dira. Dia memejamkan mata. Bukan karena sedang merasa marah, melainkan semua perkataan yang dilontarkan Eliya benar dan hal tersebut membuatnya makin sulit melakukannya. Rasa tidak berdaya itu perlahan meneteskan buliran air mata hingga isak tangis pun tidak kuasa ditahannya lagi.

"Kau mau ke mana, Grace? Apa kau sudah masuk ke dalam?" tanya Yasmine melihat saudarinya itu hendak meninggalkan pintu kamar rawat Indira.

"Jika masuk sekarang, aku tidak yakin bisa mempertahankan raut wajahku yang sekarang," jawab Grace. "Berikan makan malam ini pada Bibi Eliya dan Brian."

Usai mengatakan hal tersebut, Grace benar-benar beranjak dari tempat ini. Sikap Grace tadi membuatnya mengamati keadaan di dalam kamar rawat itu lewat kaca pintu. Pemandangan di depannya memang membuat siapa pun akan sulit untuk masuk ke sana. Dia juga tidak ingin mengusik Brian Claude. Kesedihan pria itu terlihat jelas dengan iringan derai air mata.

Saat Rehan mengangkat telepon darinya bukanlah Grace, dia mulai merasa ada kejanggalan. Terutama mendengar gema sirene.

"Apa yang terjadi, Re?"

"Mbak Dira pingsan dan sekarang kami akan ke rumah sakit," jawab Rehan.

Yasmine memejamkan mata mendengar kabar itu. "Aku akan langsung pulang menjaga anak-anak dan menyusul kalian."

"Kau bisa langsung ke rumah sakit, anak-anak masih tidur. Grace dan Bibi Eliya yang menjaga mereka," sambung Rehan.

Tanpa menunggu lama, dia segera meminta Peter untuk kembali dan langsung ke rumah sakit. "Apa yang membuatmu panik seperti itu? Mungkinkah berkaitan dengan Indira?" tanya Hiro.

"Benar, Paman. Aku harus kembali ke sana sekarang."

"Aku berdoa untuk kesembuhannya. Dira adalah orang yang baik dan memiliki hati yang hangat. Aku yakin Tuhan akan memberi hal yang baik juga," lanjut Hiro.

Sepanjang penerbangan, Yasmine mengingat perkataan Dira ketika mereka berada di mobil menuju kantor. Wajah tenang wanita itu telah membuatnya resah.

Lihat selengkapnya