Penggila kerja. Robot berjalan. Bisikan yang didengungkan oleh seluruh pegawai di perusahaan setiap kali berpapasan dengan Brian Claude. Sosok maskulin yang disegani oleh para rekan bisnis bertambah dengan sorot tajam dari iris warna mata biru tua miliknya. Atmosfer tersebut memancarkan bayangan gelap sekaligus sendu. Mereka enggan menolak instruksi Brian jika tidak ingin mendapat surat peringatan atau parahnya pemecatan secara sepihak.
Orang yang bisa berlama-lama menghadapi sikap atasan mereka yakni Kevin Tyler. Bukan karena berada di jabatan orang nomor dua di perusahaan selaku direktur utama, tetapi juga telah lama bersahabat sejak kecil. Kenakalan keduanya juga dilakukan bersama dengan Richaud Pierpont. Karakter Brian tersebut bukanlah hal baru yang dilihatnya. Namun, dia harus mengakui, kali ini sikap dingin sahabatnya itu lebih menguat dibandingkan dahulu. Dia juga telah memperingati para bahawahannya agar tidak ada pembicaraan terkait mendiang istri bos mereka dalam kantor.
"Kau sudah selesai dengan urusan di lapangan, bukan? Aku juga punya jadwal pribadi di rumah," Kevin segera menodongkan pertanyaan selagi mengempaskan diri di sofa usai menemani Brian melakukan inspeksi ke sejumlah hotel.
"Kirimkan surat teguran pada mereka berdasarkan daftar hotel yang telah kuberikan," sahut Brian. "Jika menolak-"
"Kau ingin memecat mereka?" sela Kevin.
"Ya, jika perlu," cetus Brian.
"Itu artinya kau memicu protes dari serikat pekerja," timpal Kevin.
"Biarkan saja. Itu terserah mereka," balas Brian.
"Bukankah kau tidak ingin namamu muncul di media? Jika itu terjadi, aku tidak ingin namaku ikut terseret. Aku sudah cukup pusing dengan tugas sekolah Shawn."
"Kenapa tidak kau saja yang mengambil alih posisiku?"
"Oh, bolehkah?" Kevin bertanya balik dengan antusias.
"Kau sungguh menginginkannya?" tanya Brian.
"Tapi setelah itu aku tidak ingin mendengar penyesalan darimu, terutama karena menyia-nyiakan usaha Dira."
Kevin tersadar saat Brian hanya diam. Dia pun langsung membungkam mulutnya rapat-rapat. Suasana hening itu sedikit melegakannya oleh getar ponsel Brian di meja.
"Ada apa, Grace?" tanya Brian pada si penelepon.
Melihat raut wajah Brian terlihat panik, dia mulai bisa menebak siapa yang membuat sahabatnya menampilkan ekspresi seperti itu meski tidak tahu apa isi pembicaraan mereka.
"Baiklah," ucap Brian, lalu menutup telepon.
"Kau ingin pulang?" tanya Kevin ketika Brian menutup laptop.
"Segera bereskan urusan tadi dan-"
"Aku akan mengalihkan panggilan ke ruanganku," potong Kevin. "Sekarang pergilah dan temui putramu."
Brian mengenakan kembali jasnya. Mereka keluar dari ruangan bersama dan berpisah di lift. Dia melajukan mobil dengan kecepatan sedang, lalu berhenti di area restoran yang menyajikan aneka bubur. Dia kembali mengemudi menuju kediamannya.
"Dia masih belum mau keluar dan menyentuh makanannya," ucap Grace saat Brian memasuki rumah.
Brian melangkah cepat membawa bubur yang tadi dibelinya ke kamar Starr. Dia mendapati putranya itu tengah mencoreti dinding dengan cat krayon. Lantai dipenuhi mainan serta buku, sedangkan tempat tidur tersebut berantakan.
"Coba lihat bubur yang Ayah beli," tutur Brian. "Sekarang makan, ya. Apa kamu mau main basket lagi seperti kemarin?"
Starr sama sekali tidak acuh ucapan sang ayah. Dia masih saja mencoreti dinding warna putih itu dengan cat crayon biru, merah, hijau serta hitam. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke taman hiburan?" sambung Brian selagi membuka kemasan bubur.
"Sekarang, bubur kesukaanmu siap untuk dinikmati, jagoan," kata Brian mengulurkan sendok berisi bubur jagung.
Starr segera menampik sendok yang terulur itu bukan untuk dimakannya. Tangan Brian kembali menyendokkan bubur, tetapi sang putra tetap melakukan hal yang sama. Namun, kali ketiga tindakan Starr tersebut dilakukan membuat Brian mengeluarkan suara keras saat kemasan bubur beserta isinya tumpah dan mengenai pakaian serta celananya.
"Cukup bersikap manja, Starr! Makanlah makanan yang sudah disiapkan Tante Grace atau Ayah akan memanggil dokter ke sini. Tidak ada penolakan, kamu dengar?"
Suara Brian yang menggema di kamar itu otomatis menggerakkan Grace mendekap Starr, karena bocah itu telah menangis. Brian pun beranjak dari sana dan mendapati Bibi Eliya serta Rehan berdiri di depan pintu. Mereka tidak berkata apa-apa dan membiarkannya pergi ke kamar
"Apa yang baru saja kulakukan? Seharusnya aku lebih bisa menahan diri," desah Brian di depan wastafel usai membasuh wajahnya.
Menyadari sikapnya tersebut, dia segera membersihkan diri dan mendatangi Starr saat bermain di balkon ditemani yang lainnya.
"Apa kamu mau memberi maaf atas kesalahan Ayah yang tadi? Ayah janji tidak akan melakukannya lagi," ujar Brian seraya mengacungkan jari kelingkingnya.