Apa yang dikatakan Haruka dengan kelinci sungguhan itu bukan bualan semata untuk meyakinkan Starr, tetapi terdapat sekawanan kelinci telah mendiami seperempat lahan belakang. Starr sangat senang. Dia berlarian mengejar kelinci. Dia juga menjepretkan kamera polaroid yang dibawanya ke segala arah.
"Setelah kalian membersihkan diri, datanglah ke kafe. Aku akan menyediakan makanan lezat untuk kalian," ujar Haruka saat hendak meninggalkan mereka di penginapan.
Ketika mereka tiba di kafe, sudah ada pengunjung yang memenuhi semua kursi, kecuali di bagian paling depan dekat panggung yang dijadikan hiburan. Di sanalah Haruka menyediakan meja itu khusus untuk mereka tempati.
"Pesan apa pun yang kalian suka," ucap Haruka, mendatangi meja mereka. "Antara susu cokelat hangat atau jus buah, mana yang ingin kau minum, Starr?"
"Susu cokelat," jawab Starr. Sejenak dia melirik Yasmine. "Apa boleh, Ma?"
"Tentu. Asalkan hanya satu bahan manis yang masuk ke mulutmu malam ini," sahut Yasmine. "Ingat kan, gigimu bisa sakit kalau terlalu banyak makan manis tanpa menyikat gigi sebelum tidur."
"Baiklah pesanan kalian akan segera datang," kata Haruka. "Selagi menunggu makanan, bagaimana kalau kau memainkan piano di sana, Yasmine? Mengisi tempat itu sebelum mereka memainkan musik."
"Apa maksudmu? Jika kau ingin menjahiliku, lupakan saja! Aku tidak akan terpengaruh," timpal Yasmine.
"Aku tahu kau bisa melakukannya," sahut Haruka. "Di mana rasa percaya dirimu itu? Bukankah waktu di acara kelulusan sekolah kau membanggakan kemampuanmu karena sudah belajar dari pac-"
"Seperti katamu, itu di masa sekolah," sela Yasmine cepat. "Kau ingin aku mengacaukan kafemu dan membuat para pengunjung di sini kabur? Sudahlah, hentikan gurauanmu itu. Bawakan pesanan kami, Nona Haruka."
Haruka memberi senyuman pada Starr. "Apa kau ingin melihat Mamamu bermain piano? Kau juga bisa merekamnya bersama ayahmu. Kau tidak keberatan bukan, Brian?"
"Ya, tidak masalah," sahut Brian.
"Kau dengar sendiri, suamimu juga tidak keberatan," kata Haruka melirik jahil pada Yasmine.
Yasmine memelototi dan memberi tatapan kesal ke arah Haruka.
"Ayo, Mama main piano," pinta Starr.
Aduh, kenapa Starr juga ikut-ikutan terpengaruh oleh perkataan Haruka? keluhnya. Dia tersenyum tipis. "Kita makan saja, ya?"
Starr hanya memandanginya. Dia menghela napas, lalu berkata, "Kalau ada bunyi yang tidak enak didengar, tolong jangan tertawakan Mama, ya."
Starr mengangguk-angguk dengan wajah ceria. Yasmine pun berdiri. "Kau harus membayar upahku," bisiknya saat berdiri pada Haruka.
"Itu tidak sulit," balas Haruka ikut berbisik. "Anggap saja ini bantuan dariku untuk membuat suamimu terpesona padamu."
Yasmine tidak menanggapi. Dia melangkah ke panggung kecil itu dan menduduki kursi yang ada di depan piano. Sejenak dia hanya menatap deretan tuts hitam-putih tanpa menekannya. Satu-dua tuts mulai mengeluarkan melodi. Hal tersebut ternyata mengalihkan perhatian para pengunjung dari obrolan mereka. Dia mengembuskan napas dan memejamkan mata.
"Ah, ternyata dia belum kehilangan kemampuannya menarik perhatian orang, ya," ujar Haruka melangkah pergi meninggalkan meja yang menyisakan Brian dan Starr.
Alunan melodi dari tuts-tuts piano yang ditekan oleh Yasmine mengeluarkan irama yang lembut memainkan lagu Thank You For Loving Me dari Bon Jovi. Dia tampak larut dalam dunianya sendiri dan baru tersadar saat mendengar suara tepuk tangan pengunjung menutup permainan pianonya. Yasmine tertunduk malu sembari mengulum senyum berjalan kembali ke mejanya.
Yasmine tertawa kecil saat Starr mengacungkan dua ibu jarinya. Mereka menikmati makan malam dengan iringan musik yang dibawakan oleh penyanyi kafe.
“Permainan pianomu tadi mengesankan. Itu bukan sekadar pujian,” kata Haruka saat mempersilakan Yasmine duduk di sofa ruang kerjanya. “Aku juga bersungguh-sungguh mengatakan bahwa pertemuan ini sudah lama kunantikan. Sekaligus permintaan maafku.”
“Ada apa sebenarnya?” tanya Yasmine.
Haruka mengeluarkan buku tebal dari laci meja. Namun, setelah melihatnya dari dekat, perkiraan Yasmine salah. Ternyata itu adalah tumpukan album foto. “Aku tidak tahu apakah benda ini datang di waktu yang tepat atau justru sudah terlambat,” tutur Haruka. “Ini milikmu, Yas.”
“Milikku?” Yasmine membuka lembaran album foto. Lembar foto itu makin cepat dibukanya karena mendapati wajah-wajah yang sangat akrab dalam hidupnya. Wajah yang begitu dia rindukan hingga detik ini. “Bagaimana benda ini ada padamu? Kupikir sudah hilang saat pindah rumah,” sambungnya.
"Kenichi menemukannya di toko bekas," jawab Haruka. "Aku tidak tahu cerita lengkapnya. Dia menitipkan sehari sebelum konser dan meminta padaku untuk memberikan padamu setelah konsernya selesai. Namun, aku segera berangkat ke Jerman karena ibuku jatuh sakit. Tanpa sadar, aku melupakannya. Maafkan aku."
Yasmine terpaku mengamati foto masa kecil bersama ibu dan ayah tirinya, Tamada Satoshi. Dia tahu kisah hidup Haruka yang tinggal dengan orang tua tunggal bersama ayahnya. Sementara usai bercerai, sang ibu menikahi pria berkebangsaan Jerman.
"Kau tidak perlu meminta maaf. Aku bisa memahami situasimu. Kau juga tahu aku pernah berada di posisi itu dan sudah pasti aku akan bersikap hal yang sama," ucap Yasmine. "Lalu, bagaimana kabar orang tuamu?"
"Setelah melakukan berbagai perawatan, ibuku kembali membaik, tetapi dibalik kesembuhan itu ternyata mereka berpisah. Suami ibuku meminta cerai untuk menikahi wanita lain. Tepatnya dengan selingkuhannya," desah Haruka. "Entah aku harus sedih karena ibuku disakiti seperti itu atau aku merasa senang. Nyatanya, perpisahan mereka justru membuat ayah dan ibuku kembali bersama."
"Maksudmu, mereka menikah lagi? Itu berita bagus!"
Haruka mengangguk. "Kalau begitu apa yang membuatmu tidak tinggal bersama mereka dan justru datang ke kota ini? Apa kau berencana untuk menetap?" tanya Yasmine kembali.
"Karena ini," Haruka menyodorkan kartu kilat bermotif bunga sakura, "aku ingin kau hadir di pernikahanku. Yasmine, si rival abadiku."