Jika belum sehat benar, liburlah untuk sehari. Aku sudah mengabari Kevin. Kami akan pulang terlambat untuk menghadiri ulang tahun di rumah teman Starr.
Brian meletakkan kembali kertas tempel di meja nakas. Di sana juga ada bubur. Masih hangat. Dia menyentuhnya, lalu tanpa berlama-lama mengambil sesendok penuh dan masuk ke mulut. Rasa lapar membuatnya menghabiskan bubur itu tanpa memikirkan apa pun. Seharian tidak ada makanan yang dicerna oleh perutnya selama berjam-jam duduk di belakang meja kerja. Bahkan tidak bernafsu ketika keluar dari gedung kantor. Dia tidak ingin pulang. Tepatnya mendatangi rumah lama yang ditinggalinya bersama Indira.
Almarhumah. Tidak. Dia tidak ingin mengucapkan hal itu. Dia sangat tahu orang-orang di sekitarnya berargumen tentang menerima dan mengikhlaskan. Namun, dia tidak sanggup hanya mendengar nama sang istri disebut. Satu tahun berlalu menjadi masa terberat. Saat ini, tepat dua tahun pun masih sama saja seperti sebelumnya.
Aku akan membuat kulit putihmu itu menjadi kecokelatan. Dan kau tahu cara tercepatnya itu dengan berjemur. Tidak. Bagaimana dengan ber-joging? Tentu saja bukan memakai treadmil. Kau sanggup melakukannya?
Seperti yang Indira katakan, dia pun melakukannya malam itu. Berlari di sepanjang lintasan stadium Central Park tanpa memedulikan guyuran hujan. Berhenti saat menyadari dirinya mulai kelelahan.
Sesibuk apa pun dirimu, sempatkan waktu untuk pulang ke rumah. Apa kau tidak merindukanku dan juga Starry?
Pulang? Benar. Dia memang harus pulang untuk bertemu putranya. Namun, bagaimana dengan kerinduannya sendiri? Bahkan saat ini dia tidak bisa menjangkau batu nisan milik istrinya. Indira berwasiat untuk dimakamkan dekat orang tuanya, di tanah kelahirannya, Yogyakarta, Indonesia.
Dia menghela napas. Meletakkan kembali mangkuk bubur itu ke nampan. Dia harus berangkat kerja jika tidak ingin perasaannya bertambah kacau. Sejenak tatapannya terhenti pada anting yang berada di ranjang saat merapikan selimut. Diraihnya benda itu, lalu memasukkannya ke laci meja nakas.
•••
Menyebalkan! Satu kata yang langsung melekat di pikiran Brian ketika memasuki ruang kerjanya dengan melihat Kevin duduk santai di sofa. Dia enggan menyapa, tetapi keranjang buah yang ada di meja kerja membuatnya mendongak ke arah Kevin.
"Oh, buah itu terlihat segar, bukan? Aku hanya berjaga-jaga jika kau kekurangan asupan vitamin," cetus Kevin. "Bahkan belakangan ini melihat wajahmu yang kembali normal, aku segera tahu kalau Yasmine pasti merawatmu dengan baik. Seharusnya kau tetap di rumah dan tidak bekerja."
"Aku akan memimpin sendiri rapat sore ini," ujar Brian mengalihkan topik.
"Aku sudah memberi perintah pada tim personalia memasang pengumuman di papan buletin rapat hari ini ditiadakan," timpal Kevin. "Jadi sebaiknya kau pulang saja atau ikut makan siang bersama."
Brian menatap tajam. Namun, tidak berkata apa-apa. Dia meraih ponselnya di meja, lalu memperdengarkan sambungan di telepon. "Kirimkan alamatnya padaku," ucapnya singkat.
"Kau mau ke mana?" tanya Kevin melihat Brian berdiri dari kursinya.
"Seperti katamu, aku tidak perlu bekerja hari ini," tutur Brian.
"Bagaimana jika Yasmine bertanya dan mencarimu?" tanya Kevin lagi.
"Kau selalu punya alasan," balas Brian melangkah ke pintu dan menutupnya.
Kevin merasa dirinya dibodohi. Jika Brian pergi begitu saja, tentu dia juga yang harus menyelesaikannya. Terutama pada Yasmine. Dan, ah, ponselnya berdering. Tepat waktu, gumamnya. Dia pun menjawab sambungan telepon. Dia ingin mempersingkat obrolan, agar tidak banyak membuat alasan.
Tadi Brian memang ada di kantor, tetapi dia ada urusan di luar. Aku yakin, sebelum larut malam, dia akan pulang.
Di seberang saluran telepon, Yasmine mendengarnya dengan perasaan bimbang. Sebenarnya dia juga tahu bahwa kondisi Brian sudah membaik. Namun, dia tetap ingin memastikan kesehatan Brian selama bekerja. Meskipun hanya dengan mengetahui Brian menghabiskan bubur. Toh, dia juga tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menghubungi Brian selain menyangkut tentang Starr.
Empat pekan belakangan ini banyak hal yang dipersiapkannya dengan agenda rutin tahunan penyelenggaraan bakat seni dan sains dari sekolah Starr. Dia ditunjuk sebagai duta perwakilan wali murid. Alasannya menerima penunjukan itu selain menyukai anak-anak, tentu saja dia ingin terlibat secara langsung saat Starr mengikuti kegiatan tersebut. Dia sangat bersemangat melakukan rutinitas itu bersama para orang tua murid.
"Kami berencana akan kembali ke sekolah setelah makan siang. Bagaimana kalau Anda juga ikut makan siang bersama kami?" tanya Mrs. Collin, salah satu orang tua wali murid pada Yasmine.
"Benar. Cuacanya juga sedang sangat cerah. Kita bisa memesan minuman dingin," Mrs. Walter, wali kelas Starr ikut memberi saran.
Terik cuaca siang ini memang terbilang sangat tepat mencari minuman dingin dan segar. Dia bersama orang tua murid dan guru sekolah mencari perlengkapan alat tulis hingga hadiah. Tiga hari lagi kegiatan itu akan dilaksanakan.
"Lain kali aku akan ikut. Aku sudah berjanji akan pulang cepat dan menjemput Starr di rumah bibinya," jawab Yasmine.
"Baiklah jika Anda menolak, tetapi katakan pada Mrs. Wijaya untuk menyiapkan dan menambah porsi bekal yang lezat saat acara nanti," imbuh Mrs. Collin.
"Tentu saja. Dia memang ingin melakukannya bersama menu keik yang sedang dicobanya," balas Yasmine tersenyum.
"Oh, benarkah? Itu sangat bagus! Kami akan menantikannya," ujar Mrs. Walter.
"Omong-omong, apa alasan Anda menolak juga karena Mr. Claude?" tanya Mrs. Collin.
"Apa?" Yasmine berkata tidak mengerti. Setelah mengikuti arah pandang wanita itu, dia menjadi mengerti. Brian Claude berjalan menghampiri mereka.
"Anda datang tepat waktu. Karena menolak ajakan kami, silakan ajak Mrs. Claude makan siang. Kalau begitu kami akan pergi dan tidak akan mengganggu kencan kalian," ucap Mrs. Collin.