Romantic Destination (I Still Love You) Part 2

Alita
Chapter #33

Togetherness

Tanda tanya yang sempat merasuki pikiran Yasmine terungkap dengan penjelasan dari Grace.

"Jika kau ingin bermain rahasia dengannya, sebaiknya kau tidak melewatkan kisah dibalik arti tatapannya juga, Yas. Brian sangat bersedih saat melihat Dira mengalami keguguran di masa kehamilan pertamanya."

"Apakah Dira juga merahasiakannya?"

"Tidak. Tepatnya, dia juga tidak tahu bahwa dirinya tengah mengandung. Saat itu dia disibukkan dengan tugas akhir disertasi. Namun, rasa bersalah yang dialaminya membuat Brian ikut bersedih. Dia bahkan meminta pihak universitas untuk membolehkan Dira mengambil cuti selama masa berkabung."

"Begitu rupanya."

"Lalu, setelah Brian mengetahuinya, kau tidak bisa lagi terus menghindar, bukankah begitu?"

"Entahlah, Grace. Aku tidak tahu," jawab Yasmine.

Entahlah. Kata pertama yang langsung muncul dalam benaknya. Dia memang sungguh tidak tahu harus berpikir dan bersikap seperti apa. Sejujurnya, dia tidak cukup berani mengetahui isi pikiran Brian perihal kehamilannya. Namun, satu hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi, bahwa dia harus memfokuskan diri menjaga kesehatan di masa kehamilan.

Keyakinan awal yang telah dicanangkan oleh Yasmine seakan diuji. Kedatangannya bersama Brian dalam menghadiri rapat rutin orang tua murid menjadi hal pertama untuk dilaluinya melewati tatapan dari sepasang mata yang diarahkan padanya.

"Guru tampan ini yang akan mengajarkan kalian seni kriya. Apa kalian suka membuat benda-benda dari tanah liat?"

Pertanyaan sekaligus kalimat pembuka dari wali kelas Starr segera disambut oleh senyum cerah Kenichi.

"Siapa di antara kalian yang ingin membuat gelas dan pot bunga?" tanya Kenchi. "Ah, sepertinya ada yang sangat tertarik. Apa kamu ingin membuatnya, Starry?"

"Iya!" jawab Starr dengan tegas.

Senyum Kenichi makin mengembang melihat tatapan Starr yang terus terarah pada pot bunga. Pria itu mulai menjelaskan satu persatu benda-benda di meja dikelilingi oleh para murid di kelas tersebut. Di sisi lain, raut wajah Brian tampak muram. Tidak berantusias terhadap sikap ramah dari guru ekstrakurikuler yang baru tempat putranya bersekolah.

"Kau tidak akan menerima telepon masuk itu?" tanya Yasmine.

Brian balik bertanya. "Apa? Telepon?"

Dering ponsel pun masih terus mengalun hingga orang-orang di sana mulai memperhatikan. Hal tersebut segera membuat Brian menyadari situasi dan menjawab panggilan masuk itu dengan langkah lebar keluar dari ruang kelas. Yasmine mengawasi Brian selagi mengeluarkan botol minuman Starr dan perasaannya tidak tenang.

•••

Jalanan yang padat membuat sejumlah mobil berbaris di jalur tol menjadikan para pengemudi maupun penumpang merasa jengkel. Pemandangan yang hanya bisa dilihat dari satu tempat juga terasa jenuh. Terbukti sedari tadi Starr terus saja mengeluh dengan memaksa ingin turun. Brian tidak menanggapi karena sibuk dengan tabletnya memeriksa dokumen kantor.

“Sayang, kalau kamu terus mengomel, es krim kamu akan meleleh dan mengotori pakaian juga kursi mobil,” cegah Yasmine pada Starr yang memainkan jendela mobil. “Ayo, duduk. Sebentar lagi mobilnya jalan. Mama tahu kamu pasti bosan, tetapi jagoan Mama pasti bisa. Benar, bukan?”

Instruksi Yasmine berhasil. Namun, bocah itu menatap perut Yasmine dan berkata, “Adik bayi pasti juga bosan."

Sejenak Yasmine seperti tersihir. Penuturan Starr yang polos itu menyulut berbagai emosi. Dia segera memeluknya. Butiran air mata jatuh perlahan terbawa oleh raung klakson serta mesin mobil yang melaju. Kemacetan yang dirasakan sejam lalu kini berganti dengan lalu lalang orang. Seluruh penjuru tempat ini disesaki pengunjung baik di outlet mainan, deretan pakaian, outfit sepatu hingga peralatan rumah tangga.

Berlarian di keramaian menjadi hal yang paling dikhawatirkan oleh Yasmine begitu melihat Starr memasuki pusat perbelanjaan dengan tergesa-gesa. Brian pun mengawasi di belakang putranya itu. Sejenak langkah Yasmine terhenti menatap deretan aneka boneka tersusun di setiap rak toko mainan anak. Secara naluriah, dia pun langsung mengarahkan tangan ke perut dan mengelusnya secara perlahan.

"Apa kamu juga merasa senang melihat semua boneka itu di sana, Sayang?" tanya Yasmine pelan seraya mengulum senyum. "Kelak, apa pun yang membuatmu suka, Mama akan mendukungmu. Tentu saja selama hal itu memberikan dampak yang baik juga untukmu dan melakukannya bersama dengan kakakmu, Starry."

Senyum simpul yang tergurat indah di bibir Yasmine menandakan dirinya tampak bahagia. Begitulah kesimpulan dari orang-orang yang melihatnya. Memasuki tiga bulan usia kehamilan, segala pemeriksaan rutin maupun aktivitas yang dapat membantu meningkatkan perkembangan bayi dalam rahimnya dengan memenuhi kebutuhan nutrisi serta gizi yang baik kerap dilakukan.

"Percayakan padaku dalam hal mengawasi makanan dan minuman apa yang boleh dan tidak boleh untuk kau konsumsi, Yas. Kau tahu, aku ini sangat berpengalaman."

Berpengalaman sekaligus bersertifikasi, Grace memang memilikinya. Saudarinya itu mendapatkan penghargaan langsung dari lembaga kesehatan karena telah mengembangkan makanan sehat dan bergizi bagi ibu hamil dan pasca melahirkan. Grace akan langsung mengomelinya jika dia ketahuan mengonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak atau pun terdapat pemanis buatan.

"Apa ada benda yang Anda inginkan? Anda bisa masuk untuk melihatnya dari dekat," tegur seorang wanita di depan Yasmine.

"Eh, apa?" Yasmine sedikit canggung dengan teguran wanita itu. Dia pun tersenyum malu. "Tidak. Barangkali nanti saat sudah waktunya saya akan kembali ke sini. Jadi maafkan saya tidak bisa masuk sekarang."

"Ah, maksud Anda saat bayi Anda lahir, ya?" tanya si wanita.

Yasmine mengangguk dan dibalas dengan senyuman. Dia berlalu, kemudian melihat Starr melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Mengisyaratkan agar segera datang.

“Lihatlah dengan yang terjadi pada sepatumu, Starr,” ujar Yasmine begitu pandangannya tertuju ke sepatu putih putranya. Dia segera mengikat tali di sepatu putih itu. “Akan bahaya kalau tidak cepat diikat. Apa kamu mau ganti sepatu?”

“Nggak,” tolak Starr. “Mau main.”

“Kalau kamu tetap mau main, ganti dengan sepatu yang lain, ya?” tawar Yasmine. “Mama akan ambilkan di mobil.”

“Tidak perlu, Yas,” sanggah Brian. “Kita beli di sini saja.”

“Eh, beli?” Yasmine tampak bingung. Tapi-“

“Mau warna putih,” Starr menjawab dengan antusias mendengar perkataan ayahnya itu.

“Putih lagi?” Brian tampak berpikir. “Baiklah. Kamu bisa pilih yang kamu suka. Ayah akan membelikannya. Sekarang, ayo kita cari.”

Senyum cerah Starr langsung terlihat. Begitu pula dengan Brian. Dia menggamit tangan putranya itu.

“Ayo, Ma,” ajak Starr menarik tangan Yasmine untuk mengikuti langkah mereka. Sembari melangkah, dia hanya menghela napas. Bukan tanpa sebab dia bersikap demikian. Mendengar solusi dari Brian, membuatnya teringat perdebatan kecil sebelum mereka berangkat.

“Kalau kamu mau main di sana, pakai sepatu lain,” Brian mengamati sepatu yang dipakai putranya. “Nanti susah mainnya kalau tali sepatunya lepas.”

“Itu juga bisa membuat bahaya, kan, kalau sampai terinjak di keramaian. Mama tidak ingin itu terjadi,” sambung Yasmine.

“Pilihlah dari sekian banyak sepatumu yang tidak bertali,” tunjuk Brian pada deretan rak sepatu milik putranya itu. “Ayah tidak mau lagi membelikanmu sepatu kalau kamu mengeluh karena sepatumu.”

“Kamu tetap ingin memakainya, Starr?” tanya Yasmine.

Starr mengangguk. “Mama akan membawa sepatu lain sebagai cadangan kalau kamu ingin berganti,” saran Yasmine. “ Tapi kamu juga harus berhati-hati dan katakan kalau kamu ingin menggantinya.”

Percakapan mereka tersebut kini berbanding terbalik dengan solusi yang Brian kemukakan barusan. Pria itu justru tampak lebih antusias dibandingkan putranya memilih sepatu. Dia juga sibuk mengarahkan pandangan di setiap rak sepatu, seperti seorang peneliti. Mengamati kualitas dari benda tersebut. Kesibukan ayah dan anak itu berlangsung satu jam.

“Ada apa, Sayang? Apa sepatunya tidak nyaman?” Yasmine bertanya melihat Starr menghentikan langkahnya.

“Nggak. Bukan itu,” jawab Starr.

“Lalu apa?” Brian turut bertanya. “Kita harus cepat ke timezone sebelum tempat itu penuh dengan antrian.”

“Ayah benar,” ucap Yasmine sembari memakaikan topi di kepala Starr. “Kita harus cepat ke sana kalau banyak permainan yang ingin kamu mainkan. Kalau kamu takut bicara di depan ayah, kamu bisa membisikkannya pada Mama.”

Benar saja. Starr langsung mengiyakan saran Yasmine. Brian hanya diam menatap tingkah putranya itu. Namun, pandangannya beralih pada Yasmine. Raut wajah wanita itu tampak menampilkan ekspresi yang berbeda dari sebelumnya.

“Lain kali saja kita lakukan ya, Sayang. Sekarang kita akan terlambat ke timezone,” tutur Yasmine usai Starr menuntaskan apa yang diutarakannya.

Starr kembali mendekat. Dia mengaitkan jari kelingkingnya pada Yasmine, lalu berkata,“Janji?”

Lihat selengkapnya