Hari Minggu. Seperti biasanya, Rian bangun tatkala matahari sudah mulai memancarkan sinarnya. Karena kali ini jatahnya libur kerja, Rian tidak langsung mandi. Ia hanya cuci muka, lalu mengenakan baju training, kemudian turun ke lantai satu dan menuju ke halaman depan tempat kosnya yang cukup luas, kemudian ia melakukan senam.
Setengah jam kemudian, ketika keringat sudah membasahi tubuh, ia duduk santai di teras depan, memandangi jalanan yang tidak terlalu ramai, tidak terlalu banyak lalu lalang kendaraan bermotor, maklum hari libur.
Beberapa saat kemudian, melintas seorang pedagang koran dengan menggunakan sepeda ontel. “Koran, koran Minggu. Kompas, Republika, Sindo, Warta Kota, Pos kota, Berita Kota. Koran, koran Minggu…”
“Koran…!” teriak Rian.
Pedagang koran menghentikan laju sepeda ontelnya. “Koran, Oom?” tanyanya sambil menatap Rian.
Rian melambai; dan pedagang koran—yang masih remaja itu—mendekat. Bila libur kerja Rian memang suka membeli koran. Sekadar untuk bacaan. Sebab bila hari kerja ia biasa baca koran di Pusdok—Pusat Dokumentasi—di kantor redaksi tempatnya bekerja.
“Aku lihat-lihat dulu,” kata Rian dan segera ia melihat-lihat sepintas lalu headline koran-koran itu. Tak ada yang terlalu manarik perhatiannya. Hampir semua koran mewartakan resepsi pernikahan menteri dengan artis sinetron yang seksi yang sedang naik daun sebagai headline. Tapi ketika melihat sebuah koran dengan desain yang agak berbeda, baru hatinya tergerak.
“Reportase Kota…?” kening Rian berkerut.
“Iya, Oom. Itu koran baru,” kata pedagang koran.
“Hem, makin banyak aja koran kriminal...,” gumam Rian. “Saya beli ini deh, Reportase Kota.” Rian memperlihatkan koran yang dipegangnya.
“Tiga ribu, Oom,” kata pedagang koran.
“Mahal amat?” kening Rian kembali berkerut.
“Iya Oom, biar koran baru, koran kriminal, tapi tampilannya sangat bagus…” pedagang koran berpromosi.
“Ah, bisa aja kamu,” Rian merogoh saku celana trainingnya, ada selembar uang limaribu rupiah, ia pun menyodorkan uang itu pada pedagang koran.
Pedagang koran itu menyambuti, kemudian mau memberi uang kembalian, tapi Rian menolak. “Nggak usah pakai kembalian, deh,” katanya.
“Terima kasih, Oom,” senyum pedagang koran, kemudian berlalu.
Rian membaca sepintas lalu judul-judul berita yang tertera di halaman satu. Dan ketika membaca “Kolom Kronika” di sudut kanan koran itu ia tampak serius, karena judulnya: “Seorang Wanita Pegawai Panti Pijit Tradisional Menjadi Korban Tabrak Lari”. Penasaran, segera ia membaca isi beritanya. Setelah membaca, tahulah ia, bahwa si pengecut yang melakukan tabrak lari itu adalah… dirinya! Tapi ia masih bersikap tak peduli, sebab dalam berita itu juga ditulis: “Walau masuk rumah sakit dan harus dirawat inap, wanita itu tidak mengalami luka yang serius, hanya luka ringan.”
“Huh, dasar koran murahan,” gerutu hati Rian kemudian. “Aku cuma menyerempet, ditulis menabrak! Kalau kutrabrak, korbannya pasti sudah mampus, atau paling tidak luka parah. Ini nyatanya hanya luka ringan! Huh, asal tulis. Dasar wartawan nggak profesional!”
Iseng, Rian mengamati foto korban yang menyertai berita itu—walau hanya foto setengah badan ukuran kecil—tiba-tiba hatinya berdebar. Diamatinya foto itu lebih cermat dan hatinya makin berdebar.