Romantika Cinta Dinar - Buku-1

TOTO M. RIANTO
Chapter #18

#18Bersikap Kesatria

Lambat-lambat Rian melajukan sepeda motornya; selain jalanan sedang padat merayap, ia juga sedang mencari Rumah Sakit Mudi Medika, tempat di mana Tini dirawat inap (kata berita di koran Reportase Kota edisi Minggu kemarin). Ketika rumah sakit yang dicarinya ketemu, ia mengarahkan motornya ke area parkir, kemudian ia langsung menuju ke bagian informasi.

 “Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa petugas bagian informasi, ramah.

 Rian tidak langsung menyahut. Sesaat ia menatap petugas bagian informasi itu. Hem, sudah cantik, ramah pula, batinnya.

 “Mbak, apa pasien ini masih dirawat inap di sini?” kata Rian sambil menyodorkan koran Reportase Kota edisi Minggu yang dibawanya ke hadapan petugas bagian informasi.    

  Dengan cermat sang petugas bagian informasi mengamati berita dan foto yang ditunjukkan oleh Rian di koran Reportase edisi Minggu itu.  

 Lalu: “Pasien yang ini baru saja pulang, Pak,” katanya lagi. “Kira-kira setengah jam yang lalu.”

 “Kok cepat sekali?” kening Rian berkerut.

 Dan petugas informasi itu menjelaskan: bahwa pasien itu sesungguhnya tidak mengalami luka yang berarti. Kemarin dia cuma pingsan, mungkin karena kepala bagian belakangnya membentur benda keras. Tak lama berada di rumah sakit ini, sebenarnya dia sudah siuman dan diperbolehkan pulang. Tak perlu dirawat inap. Tapi Bapak Gragal, Bos tempat dia bekerja minta supaya dia dirawat inap di sini. Katanya supaya bisa beristirahat dengan tenang, agar kondisinya cepat pulih, sehingga bisa cepat bekerja lagi.

 Rian mengucapkan terima kasih atas informasi itu, lalu ia segera meninggalkan Rumah Sakit Mudi Medika. 

***   

Keluar dari pelataran parkir Rumah Sakit Mudi Medika, Rian memacu motornya ke panti pijit tradisional tempat Tini bekerja.

 “Mau pijit, Oom?” sambut wanita paro baya dengan dandanan menor yang duduk di belakang sebuah meja.

 “Iya,” senyum Rian dan basa-basi ia bertanya: berapa tarif di panti pijit itu.

 “Tarif resminya seratus ribu, Oom,” jelas wanita menor. “Tapi kalau saat dipijit ada transaksi lain, tentu tarifnya lain lagi. Itu terserah si juru pijit.”

  Rian mengangguk-angguk, mahfum. Ia pernah dengar dari seorang rekan kerjanya, bahwa ada sebagian panti pijit tradisional yang dijadikan sarang prostitusi terselubung. Kini, dari penjelasan wanita berdandan menor ini, ia yakin akan kebenaran ucapan rekan kerjanya itu.  

 “Boleh kan saya lihat-lihat dulu foto juru pijit di sini?” tanyanya kemudian.

 “Boleh, boleh Oom,” sahut wanita itu, lalu mengeluarkan sebuah album foto dari laci dan menaruhnya di atas meja.

 Rian melangkah tiga tindak dan mengambil album foto itu. Lalu ia duduk di kursi plastik dan membuka lembar demi lembar, mengamati foto-foto juru pijit itu. Pas sampai lembar ke sepuluh, Rian memandangnya agak lama, mengamati foto Tini.

 “Ini, saya mau pakai dia,” katanya sambil menunjuk foto Tini.

  Wanita berdandan menor itu sejenak mengamatinya. “Oh, si Tini,” katanya kemudian. “Dia lagi nggak masuk, Oom.”

  “Lho, kenapa?” Rian berlagak bego.

 “Dia baru dapat musibah, diserempet pengendara motor yang ugal-ugalan,” wanita berdandan menor itu sedikit memberengut.

 “Mm…,” Rian mengangguk-angguk, bersandiwara. “Kapan kira-kira dia masuk?”

 “Mungkin besok. Sebab dia nggak mendapat luka yang berarti, walau sempat di rawat inap semalam di rumah sakit.”

 “Ya sudah, besok saya ke sini lagi,” kata Rian, lalu balik badan dan melangkah meninggalkan panti pijit itu.

 “Lho, nggak pakai yang lain aja, Oom?” teriak wanita menor. 

 Rian tak menghiraukannya. Ia terus melangkah ke tempat parkir.

***

 Keesokan harinya, pada jam yang sama Rian kembali mendatangi panti pijit tradisional itu.

  “Mau pakai Tini, Oom?” sambut wanita berdandan menor to the point.

  Rian mengangguk sambil tersenyum. “Dia sudah masuk?” tanyanya.

 “Sudah. Silakan Oom masuk ke kamar lima,” ucap wanita menor dengan keramahan yang berlebihan.

  Rian melangkah ke kamar nomor lima. Bau wewangian murahan menerpanya. Ia tersenyum. Maklum ini baru pertama kali ia masuk ke kamar sebuah panti pijit tradisional. Ia duduk di kursi kecil yang ada di kamar itu. Entah kenapa, tiba-tiba jantungnya dag-dig-dug tak menentu. Ia menghela nafas panjang, berusaha menguasai diri. Jangan sampai aku gugup, batinnya.

 Sesaat kemudian pintu kamar nomor lima itu berderit. Tini masuk dengan rambut diurai lepas bahu. “Lho, kok duduk di kursi, Mas. Ayo naik ke atas kasur, saya pijit,” senyumnya.

 Rian tidak menyahut. Ia menatap tajam pada Tini. Tini pun tertunduk.

 “Mas mau pijit atau mau menghakimi saya?” katanya, jengah.

 Rian tersenyum hambar. “Kau jangan menunduk, Tin. Tataplah aku, tataplah…”

 Perlahan-lahan Tini mengangkat wajah, lalu dengan berani menatap Rian, penuh selidik. Kemudian: “Rian…,” serunya, pelan.

 Rian terdiam. Rian tekesima. Sungguh, panggilan Tini itu mengingatkannya pada masa-masa lalunya, masa remaja, masa SMA, masa cinta pertama bersemi, terlebih lagi masa ketika Tini menyerahkan seluruh jiwa raganya dengan sepenuh hati… Ah, seandainya pertemuan ini tidak di panti pijit, keluh hatinya.

 “Kau mau pijit, Rian?” tanya Tini kemudian dengan suara ringan, tanpa beban. Pertemuannya kembali dengan Rian—yang notabene pernah menodainya—seakan sama sekali tak berarti.

 “Tidak,” sahut Rian cepat. “Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Aku ingin tahu, bagaimana kau bisa berada di Jakarta dan bekerja di panti pijit tradisional ini.”

 Tini tertawa sumbang. “Apa masih perlukah cerita itu untukmu?” tanyanya, sedikit sinis.

 “Perlu, sangat perlu,” sela Rian.

Lihat selengkapnya