Sepulang berobat dari Klinik Harapan Afiat tempo hari, Marni langsung masuk ke kamar tidurnya dan membuka lemari yang berisi buku-buku bacaan yang menjadi koleksinya dan ia menghela nafas lega ketika melihat semua buku itu masih tampak baik, belum rusak oleh jamur atau ngengat. Nasehat Dokter Riko memang sangat bagus, batinnya kala itu. Biar tidak diterjang stres lagi, secepatnya aku memang harus menyibukkan diri dengan banyak membaca.
Dan malam itu juga ia kembali memulai hobinya yang lama, membaca. Dan sejak hari itu pula tiada hari bagi Marni tanpa membaca.
Seperti siang ini. Sambil duduk santai di kursi goyang di teras depan rumahnya yang terawat dengan apik, ia membaca puisi yang isinya sangat menggugah hati. Puisi karya Khalil Gibran:
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada pada engkau, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk
pikiranmu,
Sebab pada mereka ada pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian
Kau boleh menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
................................................................................................
Usai membaca puisi ini, Marni terdiam. Lama. Ia merenungi
dengan sungguh-sungguh makna isi dari puisi itu.
“Ah Dinar, maafkan Ibu, Nak,” katanya kemudian lirih. Sangat lirih. Wajahnya tampak sendu, penuh penyesalan. “Aku bersalah, sangat bersalah, telah memaksamu agar kau mau kembali menjalin cinta dengan Riko. Ucapan Ayahmu benar, Din, sekalipun aku Ibu kandungmu, tak berhak aku melakukan hal itu. Apalagi aku ini hanya Ibu tirimu. Sekarang baru benar-benar aku sadari, sikapmu menentang kehendakku adalah benar, Din. Sangat benar. Kau sudah dewasa, bukan saatnya aku mencampuri urusan pribadimu terlalu dalam…”
Marni kembali terdiam. Pandangannya kosong, menerawang ke depan. Entah berapa lama ia bersikap sepeti itu, sampai tiba-tiba terdengar sebuah suara menyapa:
“Assalamu’alaikum…”
Marni menggeragap kaget dan sontak menatap ke sumber suara. Tampak sesosok gadis cantik berjilbab berdiri tegak di balik pagar rumahnya. Sejenak Marni tertegun, seperti tak percaya dengan penglihatannya.
“Boleh saya masuk, Bu?” tanya wanita berjilbab yang berdiri di balik pagar rumahnya itu.
Baru Marni benar-benar yakin siapa yang datang. Maka spontan ia berdiri dari kursi goyang dan merentak ke arah pintu pagar. Lalu dibukanya pintu pagar itu lebar-lebar. Gadis berjilbab itu—Dinar—langsung menghambur memeluk ibunya. Maka kedua wanita itu pun saling berpelukkan erat melepas rindu, seakan sudah sangat, sangat lama keduanya tidak berjumpa.
“Ibu, maafkan saya…,” suara Dinar tersendat.
“Oh Din, maafkan juga aku…,” suara ibu juga tersendat.
Kemudian, setelah saling melepas pelukan—seperti ada yang mengomando—kedua wanita itu melangkah berdampingan ke teras, lalu duduk berdampingan pula di kursi yang ada di teras depan rumah itu. Dan Dinar langsung mengadukan kepedihan hatinya, kepedihan cintanya dengan Rian yang kandas.
“Ibu, sekali lagi maafkan saya,” ucapnya kemudian. “Nesehat Ibu ternyata benar. Mas Rian bukanlah lelaki yang baik seperti dugaan saya.”
“Ada apa sesungguhnya dengan Rian, Din?” kening ibu berkerut.
Dinar tidak segera bercerita. Dan wajahnya tiba-tiba berubah sendu. Setelah menghela nafas panjang, dengan suara yang sendu pula baru ia menceritakan semua liku-liku kisah cintanya yang pahit dengan Rian.
“Oh Din, tak kusangka akan sedih seperti ini kisah cinta yang harus kau lakoni,” komentar ibu, nadanya murung. Matanya berkaca-kaca, bahkan butiran mutiara bening itu nyaris tumpah. Tapi ia menahannya. Ia segera sadar, padanyalah kini Dinar bergantung. Aku tak boleh terbawa arus kesedihan ini, batinnya.