Sehabis mandi pagi ini wajah Asri murung, sangat murung. Sudah tiga bulan ia tidak mens. Saat mandi tadi ia melakukan tes kehamilan dengan test pack dan hasilnya positif. Ah, aku hamil, batinnya ngilu.
Masih berbebat handuk, di kamarnya ia mengamati wajahnya di cermin meja rias. Ah, wajahku tampak sedikit pucat, batinnya lagi. Apakah ini karena aku sedang hamil?
Tanpa sengaja, handuk yang membebat tubuh Asri melorot dan jatuh. Kini ia telanjang, hanya mengenakan celana dalam dan BH. Dan tanpa sadar, ia mengelus-elus perutnya. Ah, di dalam rahimku kini tumbuh janin! batinnya menjerit. Oh, mengapa jadi begini…? hatinya mengeluh. Ah, bakal berantakkan kuliahku, bakal berantakkan! Asri pun tersedu, lirih. Sangat lirih.
Lalu ia melangkah ke pembaringan dan perlahan-lahan ia merebahkan diri di pembaringan itu. Matanya basah oleh air mata dan tatapannya kosong menatap langit-langit kamarnya. Dan tiba-tiba saja sosok mama dan papanya melela di pelupuk matanya. Ah, ini terjadi gara-gara Mama dan Papa bercerai, rutuk hatinya. Sesaat Asri terdiam, mematung. Hatinya serasa hampa. Sangat hampa.
Tapi…, sudahlah, sudah! bantah hatinya kemudian. Tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Toh Mama dan Papa sudah lama bercerai. Toh baru sekarang aku hamil, di kala kuliahku hampir rampung. Jelas ini kesalahanku sendiri, kecerobohanku sendiri!
Lalu perlahan-lahan ia bangkit dari berbaring. Dengan jari-jari tangan ia usap air matanya dan otaknya sibuk menyusun langkah-langkah yang akan ia lakukan, untuk menyelamatkan janin yang sedang tumbuh di rahimnya.
Asri beranjak ke arah lemari dan dibukanya lemari itu lebar-lebar. Dengan cermat ditatapnya tumpukan bajunya di lemari itu. Lalu ia mengambil baju warna kuning gading dan langsung memakainya. Sedang untuk bawahannya, seperti biasa, ia memakai jins.
Setelah itu ia kembali berdiri di depan cermin rias dan dipolesnya wajahnya dengan make up, tapi hanya tipis. Sesudah rapi berdandan, Asri menuju ke ruang makan. Mbok Kerti, pembantu rumahnya yang setia itu menyambutnya dengan ramah.
“Mau sarapan apa, Non. Roti bakar atau nasi goreng?”
“Apa Mbok sudah bikin nasi goreng?” Asri balik bertanya.
“Sudah Non, sudah siap,” angguk mbok Kerti.
“Kalau gitu saya sarapan nasih goreng, Mbok.”
“Baik. Saya ambilkan, Non.” Mbok Kerti beranjak ke dapur.
Tatkala Asri sedang asyik menikmati nasi goreng, Mbok Kerti menuturkan: bahwa uang bulanan dari papanya, juga dari mamanya sudah ditransfer ke rekening Asri. Mbok Kerti juga bilang: Asri disuruh bertandang ke rumah papanya, juga ke rumah mamanya. Sudah lama memang Asri tidak bertandang ke rumah papanya, maupun ke rumah mamanya.
Setelah bercerai, baik papa maupun mamanya, masing-masing menikah lagi dan masing-masing menempati rumah baru. Jadi hanya tinggal Asri yang menempati rumah itu dengan ditemani pembatu rumah yang setia, mbok Kerti. Asri adalah anak tunggal.
Karena Asri tak sedikit pun berkomentar atas penuturan Mbok Kerti, pembantu yang sudah mulai beranjak tua itu jadi risau.
“Non, tolong diusahakan datang ke rumah Tuan, juga ke rumah Nyonya, ya?” pintanya penuh harap. “Kalau Non nggak mau datang, nanti saya yang kena marah, disangkanya saya tidak menyampaikan pesan mereka ke Non.”
“Sudahlah Mbok, nggak usah takut,” ucap Asri sambil mengibaskan tangan kanannya. “Kalau sampai Papa atau Mama marah, saya yang menghadapi.”
Mbok Kerti tak berkomentar lagi. Ia hanya dapat menghela nafas panjang. Aku harus siap menghadapi semprotan dari Tuan, juga Nyonya, batinnya pasrah.
***
Asri menghela nafas lega tatkala tahu, ia adalah pasien pertama yang sampai di Klinik Jayadi itu. Hingga ia langsung dilayani oleh dokter yang jaga.
“Apa keluhannya, Mbak?’ tanya dokter setengah baya itu.
“Saya mau tes kehamilan, Dok,” ucap Asri.
“Oh, sudah jadi Nyonya rupanya…,” senyum sang dokter dan langsung mencermati status Asri. “Pasien baru ya, di klinik ini?”
“Benar, Dok,” angguk Asri. Dan Asri kembali menghela lega karena sang dokter tidak bertanya-tanya lagi masalah data pribadinya, tapi segera memeriksanya dengan cermat, bahkan Asri juga disuruh tes urine. Dan hasilnya : Asri memang positif hamil, sudah 3 bulan!
Mendengar pernyataan sang dokter, diam-diam Asri menghela nafas panjang. Tapi hatinya tidak lagi terlalu risau. Ia sudah tahu langkah berikutnya yang akan ia ambil.
***