Romantika Cinta Dinar - Buku-1

TOTO M. RIANTO
Chapter #23

#23Petaka untuk Dokter Riko

Asri kembali berbaring di tempat tidur; air mata masih deras membasahi pipinya, pikirannya juga masih kosong. Beberapa saat kemudian, tanpa sadar ia mengelus-elus perutnya. Dan entah mengapa  tiba-tiba saja ia ingat Riko. Lalu... seberkas ide melintas di benaknya. Maka seulas senyum tipis terlukis di bibirnya.

 Sore harinya, Asri datang ke tempat praktek pribadinya Riko. Tidak seperti pagi tadi di Klinik Jayadi di mana Asri menjadi pasien yang pertama, kali ini sudah ada tiga pasien yang datang lebih dulu. Maka Asri pun harus bersabar, antri. Sementara menunggu giliran, benak Asri terus mereka-reka jurus yang jitu mengkick Riko, agar Riko mau menuruti permintaannya. Dan ketika tiba gilirannya memasuki kamar praktek pribadinya Riko, Asri memasang wajah semanis mungkin.   

 “Selamat sore, Dokter Riko…,” sapanya  ramah, sangat ramah sambil melepas senyum manisnya.

 Entah kenapa—Riko juga tak habis mengerti—walau Asri telah melukai hatinya, tapi ia tidak bisa marah pada Asri. Kedatangan Asri ini justru merupakan surpraise buatnya. Wajah Riko sumringah.  

 “Hei, Asri…,” sambutnya gembira. “Apa kabar?”

 Asri tidak langsung menjawab. Ia menarik kursi di seberang meja di hadapan Riko, lalu duduk.

 “Asyik nih, pasienmu mulai banyak,” katanya, memuji.

 “Belum terlalu banyak,” ucap Riko. “Tapi sudah lumayanlah.”

 “Semuanya memang butuh proses ya, Dok?” ujar Asri.

 Riko hanya mesem. “Oya, tumben kau ke tempat praktek pribadiku. Ada perlu apa?” Riko tak ingin terlalu lama berbasa-basi. Saat ini ia sedang praktek, sedang kerja.

 “Kalau datang ke sini, ya sakit dong, Dok,” kata Asri, nadanya mengajuk.

 Riko tertawa. “Ah, nampaknya kau sehat-sehat saja. Apa keluhanmu?”

 “Aku hamil,” ucap Asri to the point.

 Riko langsung terdiam. Asri juga bungkam. Sejenak hening di ruang praktek pribadi Riko itu. Hening yang mencekam. Tapi Riko—Dokter Riko segera menguasai keadaan.

 “Kau sudah nikah?” tanyanya kemudian.

 Asri menggeleng kuat-kuat.

 Riko menghela nafas berat.  “Jadi mau apa kau datang ke tempat praktekku?” tanyanya tajam.

 “Tolong bantu aku, untuk menggugurkan kandunganku, Dokter,” suara Asri memelas.

 Riko kembali menghela nafas berat. Dan timbul rasa geram di hatinya pada wanita yang pernah dicintainya ini. Asri, kau telah melukai hatiku, rutuk hatinya. Dan sekarang, giliran mendapat musibah, kau minta tolong padaku! 

 Sejenak wajah Riko tampak kesal. Tapi segera ia pasang wajah yang ramah lagi. Riko—Dokter Riko segera sadar, saat ini ia sedang praktek dan Asri adalah pasiennya. Aku harus bersikap profesional, batinnya.  

 “Kenapa kau ingin menggugurkan kandunganmu, As?” tanyanya lembut. Suara lembut seorang dokter pada pasiennya. “Apa kekasihmu itu tidak mau bertanggung jawab?”

 Asri menggeleng.

 “Lantas kenapa?” kening Riko berkerut.

 “Dia menipuku. Ngakunya bujangan, ternyata dia sudah punya anak istri,” suara Asri mengandung tangis.

 Riko—dokter Riko berusaha untuk bersikap tenang, tapi tak mampu. Bagaimanapun ia pernah mencintai Asri, bahkan kini getar cinta itu sesungguhnya masih ada. Maka, diam-diam ia kembali menghela nafas berat.

 “Sudah berapa bulan usia kandunganmu?” tanyanya kembali dengan nada lembut.

 “Tiga bulan.”

 Kali ini Riko—dokter Riko mengangguk-angguk. Dan tanpa sadar jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Tapi segera ia kembali ingat, bahwa saat ini ia sedang menghadapi seorang pansien; bukan mantan kekasih!

 “Asri, usia kandungannmu sudah cukup besar,” katanya penuh tekanan. “Sudah berbentuk janin.  Jadi kalau kau menggugurkannya, sama saja kau membunuh bayi. Tentu kau tidak mau dituduh sebagai pembunuh, kan?”  

 Kali ini Asri terdiam. Sejenak ia tampak merenung. Tapi kemudian ia meraung:

 “Ah, nggak peduli Dok. Aku nggak peduli walau dituduh sebagai pembunuh,” nada tangis terdengar makin jelas dalam  suaranya. “Pokoknya, janin ini harus lenyap dari rahimku!”

 Kini giliran Riko—Dokter Riko yang terdiam cukup lama. Tampak berpikir keras. Kemudian dengan suara yang sangat tenang ia berucap: “Oke, kalau itu keputusanmu. Tapi aku tetap nggak mau membantumu, untuk menggugurkan kandunganmu. Selain dilarang oleh agama, hal itu juga melanggar kode etik kedokteran dan melanggar hukum. Aku nggak mau gara-gara membantu menggugurkan kandunganmu, lantas aku masuk penjara.”

 “Tapi Kak Riko, kau temanku,” sela Asri. Kini ia sudah benar-benar menangis,”bahkan bekas pacarku. Jadi… jadi… tolonglah aku, Dokter. Tolonglah aku…”  

 Riko—dokter Riko kembali terdiam  dan diam-diam pula ia menghela nafas panjang. Oh Asri, kenapa aku tak bisa membencimu walau kau telah melukai hati dan kini hendak menyeretku ke dalam jurang kehancuran? Kenapa...?? Lalu ia menatap Asri lekat-lekat, tapi belum sempat ia bicara, Asri sudah kembali meraung:

  ”Kak Dokter, tolonglah aku Kak Dokter, tolonglah aku...,” tangisnya makin menjadi-jadi.  “Aku benar-benar nggak menghendaki janin yang ada di rahimku ini tumbuh, lalu lahir. Aku benar-benar nggak menghendaki, Dokter…”

 Melihat tingkah Asri ini, Riko tersenyum tipis dan semakin tahu: bahwa wanita memang lebih banyak menggunakan emosi daripada akal pikiranya. Lalu ia mengangguk-angguk. Sebuah ide—yang menurutnya cemerlang—melintas di benaknya.   

 “Hentikan tangismu, Asri. Hentikan,” katanya dengan nada tegas. “Aku akan menolongmu.”

 Perlahan-lahan tangis Asri mereda.  Ia ambil sapu tangan dari tas dan mengusap air matanya. Ia melihat Riko berdiri dari duduk dan melangkah ke lemari obat yang ada di ruang praktek itu.

  Beberapa saat kemudian Riko sudah kembali duduk di meja prakteknya dan menyerahkan pada Asri kantong plastik kecil berisi obat berwarna putih.  

 “Ini diminum sehari tiga kali,” ucapnya. “Dan harus dihabiskan.”

 Asri menyambuti kantong plastik kecil berisi obat itu dan dengan suara lirih ia membaca tulisan Riko yang tertera di kantong plastik kecil itu: “Untuk menggugurkan kandungan 1 X 3.”  Wajah Asri langsung ceria. Sangat ceria, duka telah tak tergambar di sana.

  “Terima kasih Kak Dokter Riko, terima kasih…,” katanya dengan nada ceria pula.   

***

Taksi itu melaju perlahan-lahan di tengah arus lalu lintas Jakarta yang padat seperti biasanya. Di jok belakang taksi itu, Asri mengamati kantong plastik kecil berisi obat yang tadi diberi oleh Riko. Dan dalam hati ia kembali membaca tulisan Riko yang tertera di kantong plastik kecil itu: “Untuk menggugurkan kandungan 1 X 3.” Sejenak Asri merenung dan tiba-tiba sebersit keraguan menyelinap di benaknya.  

  “Benar nggak sih ini obat untuk menggugurkan kandungan?” desisnya  lirih, sangat lirih. “Jangan-jangan… jangan-jangan… Ah, sebaiknya aku crosscheck ke apotek.”

 “Pak, kalau melewati apotek, tolong mampir sebentar, ya. Saya mau beli obat,” pesannya pada sopir taksi.

 “Baik, Mbak” angguk pak sopir taksi.

  Dan beberapa jenak kemudian taksi itu memasuki halaman parkir sebuah apotek. Asri segera keluar dari dalam taksi dan masuk ke dalam apotek itu dan langsung menuju ke counter penjualan.

 “Mbak mau tanya,” katanya pada gadis yang menjaga di counter penjualan. “Apa benar ini obat untuk menggugurkan kandungan?” Asri menyodorkan kantong plastik kecil berisi obat pemberian Dokter Riko.

 Gadis penjaga di counter penjualan itu menyambuti dan langsung meneliti dengan cermat obat yang ada di kantong plastik kecil itu.

Lihat selengkapnya