Seminggu sudah cinta kasih Rian dan Tini kembali terjalin. Dan selama seminggu itu pula setiap malam Rian selalu menjemput Tini saat Tini pulang dari tempat kerjanya di panti pijit tradisional. Begitu sampai rumah petak kontrakan Tini, Rian tidak langsung pulang. Ia ngobrol dan bercanda dulu dengan Tini, juga dengan Dino. Dan perlahan-lahan Dino pun mulai akrab dengan Rian. Dan saat itulah Tini menyuruh Dino memanggil Rian dengan sebutan: “Ayah.”
“Ayah?” kening Dino berkerut, seperti kurang yakin. ( Selama ini Tini selalu mengatakan:”Bahwa ayahnya pergi jauh dan entah kapan akan kembali,” bila Dino bertanya tentang keberadaan ayahnya).
“Iya, Dino. Karena sesungguhnya, Oom Rian itu Ayahmu,” terang Tini.
“Benar Bu, Oom Rian Ayaku?” Dino menatap Tini ingin kepastian.
“Iya…,” angguk Tini mantap.
Dino pun menghambur memeluk Rian. “Ayah…,” ucapnya penuh haru.
Dan Rian menyambutnya dengan penuh kehangatan. Dan diusap-usapnya rambut Dino dengan penuh kasih sayang. Hatinya bahagia. Sangat bahagia. Begitu juga Tini. Wajahnya cerah berseri.
Seperti juga malam ini. Wajah Tini berseri saat keluar dari panti pijit tradisional tempatnya bekerja, melihat Rian sudah menunggu dengan sepeda motor kesayangannya.
“Sudah lama nunggu?” sapa Tini begitu sudah berada di hadapan Rian.
“Ya lumayan,” Rian melihat arlojinya. “Duapuluh menit.”
“Hei, kenapa kau bawa Dino segala, Rian?” cetus Tini yang baru menyadari ada putranya, Dino di boncengan sepeda motor itu.
“Ya, tadi aku mampir dulu ke rumah petak kontrakanmu, sebelum ke sini,” jelas Rian. “Karena aku mau traktir Dino dan kamu di McD.”
“Wah, lagi banyak duit rupanya.” Tini duduk di boncengan motor, di belakang Dino.
Rian tak berkomentar. Ia melajukan sepeda motornya ke sebuah mal dan begitu sampai tujuan, mereka langsung menuju gerai McD yang ada di mal itu dan memesan tiga paket nasi.
Usai makan, Rian mengajak Dino ke tempat permainan untuk anak dan remaja yang areanya tak jauh dari gerai McD itu. Setelah Dino asyik bermain ding dong, Rian kembali menghampiri Tini yang masih duduk di McD, asyik makan kentang goreng.
Rian mengambil beberapa potong kentang goreng, lalu duduk di samping Tini.
“Tini, besok kita nikah,” ucapnya sambil menyantap kentang goreng.
“Ha?” Tini ternganga, tampak kentang goreng di dalam mulutnya.
“Kamu nggak usah kaget,” ucap Rian lagi. “Semua persiapan untuk nikah kita itu sudah beres aku urus selama seminggu ini.”
Tini menelan kentang goreng yang ada di dalam mulutnya. “Itu tidak mungkin, Rian,” ujarnya kemudian. “Tidak mungkin!”
“Kenapa?” sela Rian, keningnya lipat tujuh.
“Aku harus ijin keluar dulu dari panti pijit tradisional tempatku bekerja.”
“Ah, kerja di panti pijit tradisional aja pakai ijin segala. Mulai besok, kau nggak usah datang lagi ke panti pijit itu, habis perkara!” suara Rian sedikit meninggi.
“Rian, kau harus ingat,” kata Tini sabar. “Pemilik panti pijit tradisional itu, Pak Gragal merangkap sebagai germo. Pasti dia nggak mau melepas aku begitu saja, karena pelangganku di panti pijit itu cukup banyak. Dan kalau aku keluar tanpa ijin, pasti preman-preman kaki tanganya akan mencariku. Dan aku nggak mau para preman itu nantinya merecoki rumah tangga kita.”
Rian menghela nafas berat. “Oke. Kalau gitu, pernikahan kita terpaksa ditunda dulu,” tukasnya kemudian. “Tapi mulai besok, kau tetap harus nggak usah datang lagi ke panti pijit tradisional itu. Biar aku yang meminta ijinmu keluar pada germo keparat itu.”
Tini menghela nafas lega. “Kurasa itu memang jalan yang terbaik, Rian,” ucapnya dengan suara lega pula.
***
Matahari sudah sangat tinggi, sudah berada pas di atas ubun-ubun tatkala Rian menemui Gragal, pemilik panti pijit tradisional yang merangkap sebagai mucikari itu. Orangnya berkulit hitam, tinggi besar dan kedua belah tanggannya penuh tato, sehingga terkesan sangar. Tapi sedikit pun Rian tidak gentar. Mentalnya sebagai wartawan sudah teruji, sudah tangguh. Ia sudah biasa menghadapi nara sumber dengan berbagai macam tipe dan karakter.
Dan tatkala Rian mengutarakan maksud kedatangannya ke panti pijit tradisional itu, Gragal—sang mucikari—tersenyum mengejek.
“Di panti pijit tradisional milik saya ini, tidak bisa pekerja keluar seenaknya,” katanya dengan nada sinis. “Ada persyaratan yang harus dipenuhi.”
“Apa itu?” sela Rian tak sabar.
“Uang tebusan,” ucap Gragal santai.
Rian menghela nafas panjang, lalu geleng-geleng kepala. Emosinya meluap.
“Anda jangan bersikap semena-mena,” katanya kemudian, garang. “Sudah berapa lama tubuh Tini Anda hisap dan Anda eksploitir. Sekarang saat Tini mau minta berhenti kerja, Anda masih minta uang tebusan!”
“Anda jangan ngomong sembarangan,” sambar Gragal, meradang. “Saya tidak pernah memaksa Tini untuk bekerja di sini. Dia bekerja dengan suka rela. Justru sebaliknya, Tini harus berterima kasih kepada saya, karena saya telah mau menampungnya di saat dia membutuhkan pekerjaan. Kalau akhirnya tubuhnya terhisap dan tereksploitir, itu sudah resiko pekerjaannya!”
Rian terdiam. Ia sudah mati langkah. Ah, aku nggak boleh menyerah, batinnya kemudian. Aku harus berjuang semaksimal mungkin. Pokoknya Tini harus bisa bebas dari panti pijit tradisional ini tanpa uang tebusan!
“Oke, saya bisa memahami argumen Anda,” ucap Rian tenang, tapi nadanya meyakinkan, bag diplomat ulung. “Kalau tubuh Tini terhisap dan tereksploitasi, itu memang sudah resiko pekerjaan yang dijalaninya. Tapi tolong, jangan persulit Tini yang hendak keluar dari pekerjaannya ini.”
“Saya tidak mempersulit,” potong Gragal. “Kalau Tini mau keluar dari panti pijit ini, silakan. Tapi masalah uang tebusan, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal itu sudah jadi aturan main di panti pijit tradisional ini. Hal itu sudah harga mati!”
Kembali Rian menghela nafas panjang, lalu kembali geleng-geleng kepala. Emosinya semakin meluap. Kemudian ia mengeluarkan kartu identitas dari dompetnya.
“Saya wartawan,” katanya sambil memperlihatkan kartu identitas itu. “Tolong bebaskan Tini dari uang tebusan. Anda macam-macam, saya laporkan ke polisi dan saya tulis di koran.”
“Hem, kau mengancam, ya!” dengan tenang Gragal mengangguk-angguk sambil dengan cermat memperhatikan kartu identitas yang disodorkan oleh Rian. “Oke, kalau itu permintaan Bung. Tini boleh keluar tanpa uang tebusan. Tapi tunggu tanggal mainnya pembalasan dari saya!”
Rian tersenyum sinis menanggapi gertakkan itu. Sedikit pun hatinya tidak gentar.
“Oke. Saya tunggu pembalasan dari Anda itu,” ucapnya santai.
Lalu, dengan langkah-langkah tenang Rian keluar dari panti pijit tradisional itu.
***
Keberhasilan menundukkan Gragal sang mucikari bagi Rian adalah keberhasilan yang gemilang, kemenangan yang besar. Ini harus dirayakan dengan Tini dan Dino, batinnya. Maka Rian tidak langsung menancap gas sepeda motornya ke rumah kontrakan Tini, tapi ia kembali mampir dulu di McD, pesan tiga paket nasi untuk dibawa pulang. Dan ketika sampai di rumah kontrakan Tini, kebetulan Dino juga baru sampai rumah, pulang sekolah.
“Ayah...,” Dino mencium tangan Rian.
Rian menepuk-nepuk punggung Dino. Ada rasa haru dan bahagia menyeruak di hati Rian.
“Kapan Ayah mau tinggal di rumah ini bersama saya dan Ibu?” tanya Dino kemudian. “Masak Ayah pergi-pergi terus?”
Rian tersenyum kecut. Ia tak segera menemukan jawaban yang jitu.
“Kapan, Yah?” desak Dino.
“Besok,” jawab Rian kemudian,”setelah kita mengadakan acara pesta, makan bersama.”
“Pesta makan bersama, Yah?” Dino melonjak girang “ Cihuy… asyiiikk…”