Malam sudah sangat larut, bahkan sudah menyentuh jam 2 dini hari, tapi Asri belum bisa memjejamkan mata. Ia masih bergolek-golek di tempat tidur. Ia gelisah, terombang-ambing di antara dua pilihan yang sangat, sangat sulit: Terus berusaha menggugurkan kandungan, atau menjadi istri kedua Tondo? Asri mengelus-elus perutnya yang mulai membuncit itu, karena janin yang tumbuh di dalam rahimnya terasa bergerak-gerak. Lalu ia menghela nafas panjang, teringat ia pada ucapan Dokter Riko:
“Asri, usia kandungannmu sudah cukup besar. Sudah berbentuk janin. Jadi kalau kau menggugurkannya, sama saja kau membunuh bayi. Tentu kau tidak mau dituduh sebagai pembunuh, kan?”
Asri kembali menghela nafas panjang. Kata-kata Dokter Riko yang terakhir terus terngiang-ngiang di telinganya: “Kau tidak mau dituduh sebagai pembunh kan...? Kau tidak mau dituduh sebagai pembunuh kan...? Kau tidak mau dituduh sebagai pembunuh kan...?” Kemudian tanpa sadar ia menjerit lirih dan spontan ia bangkit dari berbaring dan duduk di pembaringan. Sejenak pikirannya kosong, tapi kemudian sebuah tekad bergema di hatinya: ”Ah daripada aku membunuh anakku sendiri, lebih baik aku menjadi istri kedua Mas Tondo dan segala risikonya akan kuhadapi dengan tegar.”
Lalu perlahan-lahan Asri kembali merebahkan diri di pembaringan. Pikirannya sudah ringan sekarang. Maka perlahan-lahan pula ia terlelap.
***
Jam 10 pagi. Pajero Sport warna merah marun memasuki pelataran gedung perkantoran yang megah itu, lalu berhenti persis di dekat teras pintu masuk. Tondo dengan gerakan yang terlihat gagah, penuh wibawa, turun dari Pajero Sport itu. Seorang satpam menghampirinya dan dengan sikap sopan yang berlebihan satpam itu menawarkan jasa untuk membawakan tas yang dibawa sang Big Bos. Dan Tondo pun menyerahkan tas yang dibawanya itu pada satpam—yang segera pula langkahnya berayun di belakang sang Big Bos.
Tapi begitu memasuki gedung perkantoran itu, langkah Tondo langsung terhenti, karena ia melihat sesosok gadis yang membuat ia begitu kasmaran.
“Asri…,” sapanya dengan nada riang.
Asri melangkah tiga tindak mendekati Tondo. “Mas, aku ingin mengajakmu keluar, untuk bicara serius masalah hubungan kita,” katanya.
“Sekarang?” kening Tondo berkerut.
“Ya, sekarang,” angguk Asri, tegas.
“Oke,” sahut Tondo dengan nada yang juga tegas. Lalu ia menyuruh satpam yang membawa tasnya agar menyimpan tas itu di ruang kerjanya.
“Baik, Pak,” Satpam itu mengangguk dan segera beranjak ke ruang kerja sang Big Bos.
Tanpa cagung Tondo menggandeng tangan Asri keluar dari gedung itu. Dan begitu sampai di luar, Jimin—sopir pribadinya—menghampiri.
“Mau keluar lagi, Pak?” tanyanya.