Dinar mematut diri di depan cermin. Setelah yakin penampilannya rapi dan memikat, ia keluar dari kamarnya, lalu menuju ruang depan. Di sana ibu dan ayahnya sudah menunggu dengan dandanan yang rapi pula. Mereka mau bertandang ke rumah orangtua Riko yang mengadakan acara syukuran, karena Riko dapat terbebas dari jerat hukum.
“Lama amat dandannya?” sindir ayah.
“Lha iya dong, Yah. Anak perawan…,” bela ibu.
Dinar hanya tersenyum. Dan sesaat kemudian taksi berbasis online yang dipesan datang. Setelah ayah duduk di jok depan dan Dinar serta ibu duduk di jok belakang, taksi itu kembali melaju. Sopir taksi bertanya, alamat yang akan dituju dan ayah menyebutkan alamat rumah orangtuanya Riko.
“Mau kondangan, Pak?” tanya sopir taksi kemudian.
“Bukan,” jawab ayah. “Ke acara syukuran kecil-kecilan saja di rumah teman.”
Sampai rumah orangtua Riko, tamu yang hadir ternyata cukup banyak, bahkan di halaman depan terpasang tenda segala. Melihat hal ini Dinar, ayah dan ibunya rada heran. Tapi keheranan itu terjawab, waktu mamanya Riko menjelaskan:
“Ini sekalian syukuran Riko yang telah berhasil meraih gelar dokter. Waktu itu memang nggak kepikiran untuk mengadakan acara syukuran. Tapi sebagian besar yang datang ini masih kerabat dari saya dan Papanya Riko, kok. Ya itung-itung riungan keluarga.”
Syukuran itu berjalan lancar, karena acara memang hanya makan-makan, setelah sebelumnya Bagus—papanya Riko—memberi sedikit kata sambutan, menerangkan tentang maksud diadakannya acara syukuran itu.
Usai makan para tamu tidak langsung pulang. Mereka ngobrol-ngobrol dulu. Maklum acaranya memang acara kekeluargaan. Dan saat itulah Riko mengajak Dinar duduk di bangku taman samping rumahnya yang sepi dari para tamu. Setelah sesaat berbasa-basi, ngobrol ngalor-ngidul, kemudian wajah Riko tampak serius.
“Din, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu,” katanya kemudian. “Tanpa bantuanmu, bisajadi sekarang aku masih harus menjalani sidang yang mungkin sekali bertele-tele dan mungkin juga aku harus lama mendekam di penjara.”
Dinar tersenyum. Dan Riko melihat—walau kecil dan samar—ternyata ada lesung pipit di kedua pipi Dinar. Ah, mengapa baru sekarang aku melihat lesung pipit di pipi Dinar? batin Riko. Din, dengan lesung pipit itu, kau tampak lebih cantik!
“Sekarang saya yang bisa membantu Kak Riko,” ucap Dinar masih dengan senyum. “Suatu saat nanti, pasti saya yang akan minta bantuan dari Kak Riko. Dokter, siapa yang nggak akan butuh bantuannya…”
Riko berdegut, menelan ludah. Ada kata-kata yang hendak ia ucapkan, tapi susah untuk mengutarakannya.
“Din…”
“Apa Kak?” Dinar menatap Riko.
“Aku sudah dengar dari ibu tirimu, bahwa kau tak jadi bertunangan dengan Rian yang wartawan itu dan sekarang kau sedang kosong, tak punya pacar,” suara Riko bergetar.
“Memangnya kenapa, Kak?” alis mata Dinar sedikit terangkat.
“Maukah kau kembali menjadi kekasihku, Din?” suara Riko tercekat.
Dinar tidak langsung menjawab. Ia menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
“Maaf Kak Riko, bukan saya menolak cintamu,” kata Dinar kemudian tenang, sangat tenang. “Saat ini saya masih ingin sendiri. Saya ingin membuat skripsi dan merampungkan kuliah saya tanpa direcoki dengan cinta.”
Sejenak Riko terdiam. Lalu ia juga menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan pula.
“Aku menghormati keputusanmu, Din,” ucapnya pelan, mirip desahan. “Semoga kau sukses meraih gelar sarjanamu.”
“Terima kasih Kak Riko, atas doanya,” kata Dinar pelan, mirip desahan pula.
***
Satu bulan kemudian. Ada peristiwa yang mengundang wartawan datang ke Universitas Pancawarna—kampus tempat Dinar kuliah. Tiga orang mahasiswi di kampus itu melijit, setelah rekaman video menyanyinya dimasukkan ke youtube dan diunduh oleh sejuta orang. Popularitas Universitas Pancawarna ikut terdongkrak, hal ini tentu saja menggembirakan semua civitas akademika di kampus itu.