Romantika Cinta Dinar - Buku-1

TOTO M. RIANTO
Chapter #2

#2Dilema

Kala itu Dinar baru mau masuk SMA. Ketika akan membayar uang gedung sekolah, ia diantar oleh ibunya. Dan saat itulah ada seorang pemuda menegur ibu. 

 “Tante Marni…”

 Ibunya Dinar—Marni—menatap pemuda di hadapannya dengan rupa heran. “Siapa, ya?” tanyanya.

 “Tente lupa, ya?” pemuda itu tersenyum. “Saya Riko, Tante…”

 “Riko… Riko…,” Marni mengingat-ingat. “Riko putranya Ita?”

 “Benar, Tante,” pemuda itu—Riko—tersenyum makin lebar  

 “Lho, kamu kok sekolah di sini, di Jakarta?” wajah Marni tetap tampak heran. “Bukankah sejak kelas 2 SMP kamu dan keluargamu pindah ke Surabaya?”

  Untuk menghilangkan keheranan Tante Marni, maka dengan panjang lebar Riko menjelaskan: bahwa sejak kelas satu SMA ia sudah tinggal di Jakarta lagi. Sedang papa, mama dan adik-adiknya masih tinggal di Surabaya. Sebab ketika itu ada rencana papanya akan kembali ditarik ke Kantor Pusat kerjanya di Jakarta. Tapi entah mengapa rencana itu tertunda-tunda dan baru  sebulan yang lalu Riko dapat kepastian dari mamanya, bahwa bulan depan papanya akan resmi kembali kerja di Kantor Pusat di Jakarta.

 “Oo, begitu...” Marni mengangguk-angguk, mahfum. “Kamu sekarang kelas berapa, Riko?”

 Riko tertawa kecil. “Saya sudah lulus dua tahun yang lalu, Tante,” katanya .”Ke sini karena dipanggil oleh Bapak Kepala Sekolah, diminta untuk bantu adik-adik kelas dalam pelajaran ektrakurikuler gitar, tapi saya nggak bisa. Nggak ada waktu.”  Riko memang jago main gitar. Selain bertalenta ia juga ikut kursus gitar.

 “Sekarang kamu kuliah di mana?” tanya Marni lagi.

 “Kedokteran, Tante. Sudah semester 4,” jelas Riko.

 “Wah hebat kamu,” puji Marni. Lalu ia mengundang,  agar Riko mau dolan ke rumahnya. Dan Riko berjanji akan memenuhi undangan itu.

 “Mm... maaf Tante, apakah ini Dinar?” cetus Riko kemudian sambil menatap gadis yang berdiri di samping Tante Marni.  

 “Iyaa..Dinar. Kamu pangling, ya?” selidik Marni.

 “Iya Tante, saya pangling,” senyum Riko malu-malu. “Makin besar makin cantik. Apalagi pakai jilbab.”

 “Wah... sudah pandai merayu kamu, Riko...,” goda Marni. Sedang Dinar menunduk, sedikit malu-malu, walau hatinya berbunga-bunga. Cewek mana sih yang nggak senang dibilang: “Cantik?”

  Kemudian tanpa ditanya  sang ibu menjelaskan: bahwa Dinar diterima di SMA Jatimulia ini dan sekarang akan membayar uang gedung.  

 “Oo begitu...,” Riko yang mengangguk-angguk, faham.

 Tapi Dinar yang belum faham, belum ngeh, siapa Riko itu. Maka setelah urusan membayar gedung sekolah beres, saat pulang Dinar bertanya pada ibunya: siapa sebenarnya Riko itu?

Kening sang ibu berkerenyit. “Kamu lupa, ya?” katanya. “Waktu SD dia kan kakak kelasmu?”

 “Aduh, kok saya nggak inget, sih?” Dinar mengerutkan kening, coba mengingat-ingat. Tapi memori daya ingatnya tak menemukan sosok Riko di masa lalu.

 Dan sang ibu membantu daya ingat Dinar, dengan menjelaskan: bahwa mamanya Riko bernama Tante Ita. Bahkan beberapa kali Riko dan mamanya pernah main ke rumah mereka. Ketika itu Riko sudah duduk di kelas 2 SMP, tapi belum pindah ke Surabaya. Sedang Dinar kala itu masih duduk di kelas 3 SD. 

 Dinar terus mengingat-ingat, lalu ia tersenyum senang. “Ya, ya, saya ingat sekarang. Tante Ita yang teman Ibu waktu SMA, kan?”

 “Nah, ingatanmu ternyata tajam…”

 “Tapi kok kelihatannya beda banget ya, Bu?”

 “Beda bagaimana?” kening ibu sedikit berkerut.

 “Dia makin ganteng…”

 “Dia siapa?” senyum ibu, menggoda.

 “Ya Kak Riko…”

 “Kamu naksir, ya?”

 “Ah, Ibu…” Dinar mencubit manja lengan ibunya. 

 Tapi ternyata Riko tidak menepati janjinya, ia tidak pernah datang bertandang ke rumah Dinar. Sampai suatu saat, tatkala Dinar sudah duduk di kelas 2 SMA, secara tak sengaja ia bertemu dengan Riko. Saat itu, pulang sekolah ia ditraktir Asri ( teman sebangku Dinar) makan  bakso di sebuah kedai bakso yang menjadi langganan Asri. Dinar ingat betul, saat itu Asri urung menraktirnya, karena traktiran itu diambil alih oleh Riko. Ya, Riko yang menraktir mereka berdua. Dan sebelum berpisah, iseng Dinar berkata:

 “Kak Riko, main-main dong ke rumah. Ditunggu oleh Ibu, lho...”

 Riko tersenyum. “Oya, aku pernah janji mau main ke rumahmu, ya?” katanya.   

 Di luar dugaan Dinar, sorenya Riko datang bertandang ke rumahnya. Awalnya, ibu yang menyambut kedatangan Riko. Setelah puas berbasa-basi, ibu menyuruh Dinar menemani Riko. Lalu keduanya terlibat dalam perbincangan yang akrab. Riko banyak bertanya tentang perkembangan sekolah Dinar. Keduanya juga membincangkan dua guru yang paling killer di SMA Jatimulia, Bu Fety Kurniati—guru bahasa Inggris dan Pak Apung Rahman—guru matematika. Sedang Dinar banyak bertanya tentang suka dukanya kuliah di kedokteran.  

 Sepulang berkunjung dari  rumah Dinar, begitu sampai rumah Riko langsung membongkar lemari dan mengaduk-aduk album foto-foto lama, mencari foto Dinar. Setelah foto yang  ia cari ditemukan, foto itu ia simpan baik-baik; foto Dinar ketika masih imut, masih kelas 3 SD!

 Suatu hari—kala itu Dinar sudah kelas 3 SMA—Riko memberinya sebuah kado yang tipis, dengan bungkus berwarna pink yang dihias dengan pita yang berwarna pink pula.

 “Kado apaan, nih?” kening Dinar berkerut.

 “Kado ulang tahunmu…”

 “Ya ampun… aku lupa,” Dinar menepis kening. Lalu menjelaskan: tak ada tradisi merayakan ulang tahun di keluarganya. Riko pun menimpali: di keluarganya juga tak ada tradisi merayakan ulang tahun itu.   

 “Boleh aku buka sekarang kadonya?” Dinar menatap Riko. Tapi sebelum Riko memberi jawaban Dinar sudah merobek sampulnya dan mendapati foto dirinya ketika masih imut dengan rambut diekor kuda. Foto ia masih mengenakan seragam SD! Merlihat hal itu Dinar tersenyum senang.  

 “Ah, Kak Riko bisa aja…,” komentarnya.

 “Balik deh Din, foto itu,” pinta Riko.

 Dinar memenuhi permintaan Riko. Dan di balik foto itu tertera tulisan: “Met Ultah Tuk Dinar Puspita. I love you…”

 Lalu perlahan-lahan Dinar mengarahkan sorot matanya ke arah  Riko, sorot mata yang  penuh  dengan cinta dan Riko membalas tatapan Dinar dengan mesra pula.  Dan sejak saat itulah mereka berdua resmi berpacaran.

 Suatu saat, ketika Riko dan Dinar mengisi malam minggu mereka dengan makan di sebuah resto cepat saji, berjumpa dengan Asri. Dan hari Seninnya Asri bertanya: apakah Dinar pacaran dengan Kak Riko? Ketika Dinar meng-iya-kan, Asri berkata:

 “Ih, kok mau sih kamu pacaran dengan anak yang udah kuliah?”

 “Ih, apa salahnya?” ucap Dinar sambil mengembangkan kedua belah tangannya lebar-lebar. “Kita toh udah kelas 3, tahun depan kita juga bakal kuliah. Apalagi Kak Riko anak kedokteran. Hemm...besok-besok aku bakal jadi Nyonya Dokter. Keren abis...”

 “Hei, jangan ngimpi terlalu jauh ya, kamu,” potong Asri. “Asal kamu tau aja, Kak Riko itu playboy!

 “Ah, masak?” Dinar menampakkan rupa tak percaya. “Dari mana kamu tahu?” 

 Dan Asri menjelaskan: salah satu bekas pacarnya Kak Riko adalah tetangga sebelah rumahnya, namanya Mbak Pipit dan Mbak Pipit adalah teman sekelas Kak Riko semasa SMA. Dari Mbak Pipitlah Asri tahu, kalau Kak Riko itu playboy.

 “Karena itu setelah cintanya diputusin sama Mbak Pipit, lalu Kak Riko berusaha mendekatiku, aku nggak menggubrisnya,” jelas Asri. “Pacaran dengan playboy,

bagiku, no way...”

 Mendapat peringatan dari Asri, sesaat hati Dinar mengkerut. Apa betul begitu? Tapi segera ia sadar, jangan-jangan ini hanya fitnah, jangan-jangan diam-diam Asri naksir Kak Riko, tapi Kak Riko yang nggak menggbrisnya? Ya, siapa tahu...? Tentu saja rasa ini oleh Dinar hanya dipendam di hati. Dan ketika pulang sekolah siang itu,  ia langsung curhat pada ibunya.

Lihat selengkapnya