Matahari telah lama tenggelam. Dan tirai kelam telah sempurna menyelimuti alam. Di langit bertebaran berjuta bintang dan sepotong rembulan, namun semua cahaya penghias angkasa malam itu nampak muram, karena awan-awan hitam—walau tipis—kembali menghiasi cakrawala. Begitu pula hati Dinar. Cahaya keberanian yang sehabis hujan gerimis tadi sore sempat bertengger di lubuk hatinya, kini kembali meredup. Hatinya ketar-ketir. Berat rasanya untuk menentang kehendak ibu. Tapi rasanya juga sangat sulit kalau ia harus menerima begitu saja permintaan ibu. Dinar berharap, malam ini, tatkala ayahnya sudah berada di rumah, ia dapat menemukan jalan yang terbaik. Semoga ayah menjadi penengah yang bijak, harap batinnya, sehingga aku tak harus bersitegang dengan ibu.
Makan malam baru selesai. Suasana terasa kaku. Ibu yang biasanya banyak bicara kini membeku. Bisu. Dinar pun diam dengan raut wajah yang sedikit tegang. Hal ini membuat ayah penasaran.
“Ada apa ini. Kenapa kalian berdua seperti bermusuhan?” kening ayah berkerut.
Ibu menghela nafas, sebelum bicara. “Sore tadi aku minta, agar Dinar memutuskan hubungan cintanya dengan Rian dan kembali menerima cinta Riko,” suara ibu terdengar kaku.
“Kenapa tiba-tiba kau meminta Dinar melakukan hal itu, Bu?” kening ayah makin berkerut.
Dengan panjang lebar sang ibu menjelaskan semua peristiwa yang dialaminya bersama Dinar tadi siang. Dan ayah mengangguk-angguk memahami duduk perkaranya, tatakala ibu usai berbicara.
“Aku tahu Bu, maksudmu baik,” ucap ayah kemudian. “Dokter memang profesi yang lebih mentereng daripada wartawan. Tapi kita nggak bisa memaksakan kehendak. Ingat, Dinar sudah dewasa. Biar dia menentukan sendiri calon pendamping hidupnya. Sebagai orangtua seharusnya kita hanya tutwuri handayani…”
Mendengar pembelaan ayahnya, Dinar merasa lega. Tapi hal itu hanya sesaat. Secara tiba-tiba ibu berucap dengan menghentak.
“Tidak bisa!” ibu meradang. “Aku Ibunya, aku yang merawatnya sejak bayi. Sudah seharusnya dia mau menuruti kemauanku. Kalau bukan aku yang merawat, belum tentu dia bisa hidup sampai sebesar sekarang.”
“O, o, tidak bisa kau bicara seperti itu, Bu,” sela ayah tegas. “Ibu kandungnya saja akan aku tentang kalau bicara seperti itu. Apalagi kau hanya sebagai Ibu tiri.”
Ibu tiri?! Mendengar penuturan ayahnya, di tempat duduknya Dinar terhenyak. Jadi Ibu yang selama ini merawat dan membesarkanku hanya Ibu tiri?! hati Dinar bertanya-tanya. Lantas di mana Ibu kandungku? Di mana…??
Dinar berdiri dari duduk, kemudian merentak berlari ke kamar tidurnya. Di sana, di tempat tidurnya, ia sesenggukkan, menangis. Oh Tuhan, kenapa begitu dahsyat prahara yang menderaku ini…??
Sementara itu sang ibu juga merentak berdiri dan berucap dengan nada marah.
“Kau telah mengingkari perjanjian di awal pernikahan kita dulu, Mas,” sang ibu menatap ayah lekat-lekat. “Aku jadi muak melihatmu. Muaakk!” Dengan merentak pula ibu pergi meninggalkan ayah.