Sebagai seorang wartawan, tugas dan libur kerja Rian tidaklah beraturan.
Bila ada berita-berita yang teramat penting, sering kali ia harus meliput berita sampai jauh malam. Begitu juga dengan waktu libur. Tak peduli tanggal merah, tak peduli hari Sabtu, Minggu, kalau ada tugas liputan, ia wajib melaksanakannya. Pada hakekatnya, tugas jurnalis sama dengan tentara, yang harus standby 24 jam per hari dan 7 hari dalam seminggu. Oleh karena itu, tidak ada waktu yang pasti bagi Rian untuk apel, wakuncar ke rumah kekasihnya, Dinar. Dan Dinar juga sudah tahu betul akan hal itu, karena dulu, di awal-awal pedekate, Rian sudah mengatakan bagaimana ritme kerja seorang wartawan. Karena itu Dinar tak pernah menuntut Rian harus apel di malam Minggu.
Seperti kali ini, Minggu siang baru Rian punya waktu luang, maka dengan sepeda motor kesayangannya ia bertandang ke rumah Dinar. Dan ketika yang menyambut kedatangannya ayah Dinar, Rian sedikit heran. Biasanya, yang menyambut kehadirannya kalau bukan Dinar, ya ibunya.
“Dinar ada, Oom?” tanya Rian setelah duduk di kursi ruang tamu.
“Sedang ziarah ke kuburan.”
“Ke kuburan…?” kening Rian lipat tujuh.
Tanpa tedeng aling-aling, ayah Dinar menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi di dalam rumahnya. Dan Rian mengangguk-angguk, memahami.
“Wah, saya kok jadi ingin segera betemu dengan Dinar, Oom,” kata Rian kemudian. “Ingin menghibur hatinya. Boleh saya menyusul Dinar ke kuburan, Oom?”
“Ya, silakan,” ayah Dinar menghela nafas lega. “Terima kasih atas kesediannya menghibur hati Dinar.”
***