Romantika Cinta Dinar - Buku-1

TOTO M. RIANTO
Chapter #8

#8Berjumpa di Klinik

Adzan subuh sudah lama berkumandang, tapi Marni belum keluar dari kamarnya. Biasanya, jauh sebelum adzan subuh berkumandang, ia sudah bersimpuh, wiridan di tempat shalat yang ada di dalam rumahnya. Ada apa ini? Mbokiah heran. Pelan, diketuknya pintu kamar Marni. Tak ada jawaban, tapi samar-samar terdengar suara erangan. Mbokiah penasaran. Dicobanya membuka pintu kamar, kebetulan tidak dikunci dan Mbokiah melihat Marni menggigil di tempat tidur.

 “Jeng…,” dengan rupa cemas Mbokiah menghampiri Marni.

 “Saya demam Mbok, tolong belikan obat flu,” lirih Marni di antara gigilnya.

 “Baik, Jeng.” Mbokiah keluar dari kamar. Dan beberapa saat kemudian kembali dengan membawa nampan berisi semangkok bubur hangat, obat flu dan segelas air putih.

 Marni bangkit dari tidur.

 “Makan bubur dulu, Jeng. Setelah itu baru diminum obat flunya,” Mbokiah mengingatkan.

 “Baik, Mbok,” angguk Marni. “Terima kasih.”

 “Sekarang saya mau beres-beres, sebentar lagi para pelanggan pasti datang untuk membeli bubur.”  

 Tatkala dagangan bubur sudah habis, Mbokiah kembali menjenguk Marni ke kamarnya dan mandapati demam Marni bukan mereda tapi justru makin menjadi. Mbokiah cemas.

 “Jeng, sampean harus berobat ke dokter,” saran Mbokiah.

 “Nggak usah, Mbok. Kalau obat flunya habis, pasti demamnya hilang,” tolak Marni.

 “Nggak Jeng, sampean harus ke dokter. Demam sampean sepertinya bukan demam biasa. Wajah sampean sangat pucat. Jangan ambil risiko, Jeng. Ayo saya antar berobat ke klinik,” paksa Mbokiah.

 Sejenak Marni merenung. Mbokiah benar, batinnya kemudian. Kalau sakitku makin parah, pasti aku akan merepotkan Mbokiah. Pasti kegiatan berdagang bubur Mbokiah akan terganggu, karena sibuk merawat aku.

 “Ya Mbok, ayo antar saya berobat ke klinik,” ucap Marni akhirnya.     

***

Klinik itu—Klinik Harapan Afiat—letaknya tak jauh dari tempat tinggal Marni, jarak tempuhnya hanya 15 menit dengan menggunakan bajaj. Ketika sampai klinik, sudah ada beberapa pasien yang juga hendak berobat, sehingga harus antre. Marni dan Mbokiah ikut duduk di bangku ruang tunggu pasien.

 Klinik Harapan Afiat adalah sebuah klinik yang cukup besar. Bangunannya cukup megah dan dokter yang berpraktek bukan hanya dokter umum, tapi ada juga beberapa dokter spesialis; seperti spesialis penyakit dalam, THT, kulit dan kelamin, kandungan, mata, dan gigi. Dan di klinik ini juga ada ruang rawat inap untuk pasien.

 Setelah hampir satu jam menunggu, giliran  Marni dipanggil oleh asisten dokter untuk memasuki ruang praktek. Mbokiah akan menyertainya, tapi Marni melarang, menyuruh Mbokiah tetap duduk di bangku ruang tunggu saja. Mbokiah menurut.

 Ketika sudah berada di dalam ruang praktek dokter, Marni sedikit terkejut ketika tahu dokter  yang akan memeriksa kesehatannya itu adalah Riko. Maka spontan ia berseru lirih: “Riko, eh Dokter Riko…”

 Begitu juga dengan Riko, ia  juga sebenarnya sedikit terkejut ketika tahu pasiennya ini adalah Tante Marni; tapi sebagai dokter yang akan merawat pasiennya, ia cepat mengusai diri untuk menjaga wibawa, wibawa seorang dokter. Lalu ia berlagak membaca status pasien yang tertera di kartu berobat.

 “Tante sakit apa?” tanyanya kemudian, nada suaranya sangat formil.

 “Demam, Riko, eh Dokter…”

Lihat selengkapnya