Romantika Cinta Dinar - Buku-2

TOTO M. RIANTO
Chapter #2

#2Wisuda

Hari ini Graha Kenanga—gedung serba guna—yang ada di areal kampus Universitas Pancawarna yang luas itu  tampak semarak. Kursi-kursi yang tertata rapi sudah penuh terisi oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang akan diwisuda yang datang bersama kedua orangtua atau walinya. Dan wajah mereka semua tampak ceria, karena mahasiswa-mahasiswi itu telah berhasil meraih gelar sarjana dan ada juga yang telah berhasil meraih gelar master dan hari ini mereka akan diwisuda.  Dinar tampak ada di antara para mahasiswa dan mahasiswi yang akan diwisuda itu. Dan di deretan kursi yang khusus untuk para orangtua dan wali yang hadir, tampak pula ayah dan ibu tiri Dinar duduk di baris kedua dari depan.

 Beberapa saat kemudian terdengar  suara MC dari atas podium, membuka acara. Setelah kata pengantar dari MC berakhir, acara pertama diawali dengan tari-tarian yang dibawakan oleh mahasiswi-mahasiswi Universitas Pancawarna. Usai tari-tarian itu, MC kembali naik ke podium dan mengatakan: Acara berikutnya adalah kata sambutan dari Bapak Rektor. Dan MC mempersilakan Bapak Rektor untuk memberi kata sambutan.  

 Ketika Bapak Rektor naik ke atas podium dan mulai memberi kata sambutan,  semua hadirin diam, menyimak kata sambutan yang diberikan oleh Bapak Rektor. Begitu pula Dinar, ia juga menyimak dengan sungguh-sungguh kata sambutan dari Bapak Rektor itu. Tapi, hanya sejenak Dinar bisa mengikuti dengan baik kata sambutan yang disampaikan oleh Bapak Rektor, karena pada detik-detik berikutya pikirannya melayang pada Riko yang saat ini sedang berada nun jauh di sana, di daratan Eropa, tepatnya di Inggris.

 Ah, sedang apa ya Kak Riko di sana? batinnya. Hem, kalau saat ini di sini siang, di belahan Eropa sana tentu malam. Dan kalau belum tidur, pasti Kak Riko sedang serius belajar. Seulas senyum tipis terlukis di bibir Dinar. Teringat ia pada kata-kata yang diucapkan Riko sebelum berangkat ke Inggris.

 “Kalau saja tidak menghargai jasa Papaku yang telah berjuang susah payah agar aku bisa dapat bea siswa untuk mengambil spesialis mata ini, sebenarnya aku malas untuk berangkat ke Inggris, Din,” keluh Riko saat bertandang ke rumah Dinar untuk berpamitan kala itu.

 “Lho, kenapa?” kening Dinar berkerut.

 Riko tidak menyahut, malah tampak seperti merenung.

 “Bukankah enak di sana, Kak,” pancing Dinar kemudian. “Udah ceweknya cakep-cakep, pergaulannya sangat bebas pula?”

 “Aku bukan  anak remaja lagi, Din,” kali ini cepat Riko menyahut. “Sifat playboy sudah aku tinggalkan.  Karena itu kumohon, kamu jangan lagi mengungkit-ungkit sifatku yang jelek itu,” nada suara Riko terdengar sedikit kesal.

 Dinar merasa tidak enak hati. Cepat ia berkata: “Oh maaf Kak Riko, maaf… kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu.”

 Riko terdiam. Sesaat kemudian ia menghela nafas panjang. Lalu matanya mengedar, menelusuri teras depan rumah Dinar yang asri. Aneka kaktus dalam pot-pot yang tertata rapi tumbuh di sana, tampak indah, sedap dipandang mata, tapi keindahan itu tak terasakan oleh Riko. Hatinya sedang gundah.  Ia kembali menghela nafas panjang.

 “Kenapa sih berkali-kali menghela nafas panjang?” tanya Dinar, menyelidik.

 “Din, apa kau nggak bisa mengubah keputusanmu?” cetus Riko.

 “Keputusan apa?” kening Dinar kembali berkerut.

 “Aku masih sangat mencintaimu, Din. Maukah kau kembali menerima cintaku?” pinta Riko penuh harap.

 Sejenak Dinar terdiam. Kemudian, giliran  ia yang menghela nafas panjang. Dan terbayang di benaknya saat Riko melukai hatinya. Ah, hal itu bisa terjadi, gara-gara dulu aku terlalu cepat dan sangat tulus menerima cinta Kak Riko, batinnya. Tidak! Aku tidak  mau hatiku kembali terluka. Untuk itu, sekarang  aku tak mau buru-buru menerima kembali uluran cintamu, Kak Riko, walau baru saja kau mengatakan: bahwa sekarang kau sudah tidak playboy lagi. Aku juga tak peduli,  walau kau akan pergi jauh, ke Inggris. Ini justru kesempatan untuk menguji kesungguhan ucapanmu: apakah benar kau sudah insaf, kau sudah tidak playboy lagi? Kalau sifat playboy sudah benar-benar kau tinggalkan dan kau benar-benar mencintai aku, kau pasti akan selalu mengontakku bila kau telah berada di Inggris nanti. Tapi kalau begitu sampai di Inggris kau  kecantol cewek bule dan melupakan aku, itu tandanya kau masih tetap playboy dan  tidak sungguh-sungguh mencintai aku. Saat kau berada di Inggris nanti, adalah barometer peribadimu yang sesungguhnya, Kak Riko. Kau sudah insaf atau kau masih playboy.  Oleh karena itu, sementara ini aku lebih baik wait dan see, menunggu dan melihat

 Dan nyatanya, setelah berada di Inggris Riko selalu mengontak Dinar. Bahkan di hari pertama berada di Inggris, Riko lebih dulu mengontak Dinar, sebelum mengontak kedua orangtuanya. Oh, betapa bahagianya Dinar kala itu. Dan hati kecilnya pun berketetapan: Aku mau kembali menerima cintamu, Kak Riko.  Dan rasa cinta itu semakin bulat, tatkala di hari-hari berikutnya—paling tidak seminggu sekali—Riko selalu mengontak Dinar. Kalau tidak via WA, ya via dunia maya; kadang kirim email, kadang chatting  di facebook. Ya, walau berjauhan, keduanya kini kembali  berkomunikasi dengan akrab. Tapi sejauh ini Dinar belum menyatakan secara terus terang, kalau ia mau kembali  menerima cinta Riko. Rasa cinta itu masih ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya. Aku harus setia dengan komitmenku, ucap hatinya. Sebelum meraih gelar master, aku tak mau bercinta dulu.    

 Dan sekarang… gelar master itu telah ia raih, bahkan kini adalah detik-detik saat ia akan diwisuda. Diam-diam Dinar menghela nafas panjang. Ah, alangkah bahagianya aku kalau saat ini Kak Riko ada di sini, ikut menyaksikan acara wisuda masterku ini. Sayang, dia berada nun jauh di sana, di belahan benua Eropa…

Lihat selengkapnya