Romantika Cinta Dinar - Buku-2

TOTO M. RIANTO
Chapter #3

#3Menanam Jasa Baik

Kini Rian jadi lebih sibuk. Disamping setiap hari harus meliput berita, ia juga jadi rajin tanya sana-sini, melobi ke mana-mana, mencari informasi lowongan kerja untuk wartawan.  Dua bulan kemudian usahanya berhasil, lowongan kerja untuk wartawan yang ia cari itu ia temukan. Tentu saja Rian tidak membuang-buang waktu. Ia segera berkunjung ke rumah Dinar pada kesempatan pertama.

 Sore itu Dinar baru selesai shalat ashar dan hendak duduk santai di ruang keluarga  rumahnya sambil nonton TV, ketika bel yang ada di rumahnya berdering. Maka ia urung menghidupkan TV dan segera ia beranjak ke ruang depan, ruang tamu, lalu  membuka pintu. Dan ia merasa sedikit kaget, tapi juga senang ketika tahu yang datang adalah Rian.  

 “Hei Mas Rian…,” serunya, riang.

  “Boleh aku masuk?” tanya Rian.

 “Nggak boleh,” Dinar berlagak memberengut, tapi cepat ia menyambung: “Boleh, boleh. Silakan masuk, Mas.”

 “Wah, pandai bercanda kamu sekarang,” Rian duduk di kursi ruang tamu.

 “Tertular barangkali,” ucap Dinar.

 “Maksudmu?” kening Rian berkerut.

 “Sekarang aku kecanduan nonton stand up comedy di TV,” senyum Dinar.

 “Wah, kamu ternyata cukup tangkas bicara,” komentar Rian. “Kalau gitu cocoklah jadi wartawan.”

 Dinar hanya tersenyum.  

 Setelah sedikit berbasa-basi, kemudian Rian menyodorkan amplop warna coklat muda berukuran folio pada Dinar sambil mengatakan: bahwa itu  album foto  Dinar  saat wisuda bersama kedua orangtuanya. Dinar menyambutinya dengan penuh antusias dan mengeluarkan album foto itu dari amplop, lalu melihat-lihatnya.  

 “Wah, bagus sekali hasilnya, Mas. Sangat tajam,” komentar Dinar kemudian. “Emang beda ya hasil jepretan wartawan.”

 Rian hanya tersenyum. Lalu keduanya bicara ngalor-ngidul. Dan setelah itu Rian mengakatan:  bahwa kedatangannya juga untuk memberi tahu Dinar, ada lowongan pekerjaan, bukan untuk wartawan, tapi untuk penyiar di ZeroTV.  

 “Ah, yang bener, Mas?”  sela Dinar dengan mata  membelalak, seakan tak percaya dengan pendengarannya.  Karena sesungguhnya, diam-diam ia memang sangat mengidamkan untuk jadi penyiar TV.

 “Ya ampun, ini masalah serius Din, masak aku bohong,” kata Rian dengan mimik serius.

 “Alhamdulillah…,” Dinar menghela nafas sepenuh dada. Lega. “Terima kasih ya Mas, infonya. Aku seneng banget lho, Mas. Karena sesungguhnya menjadi penyiar TV sangat aku idamkan.”

 “Ya kebetulan kalau begitu,” kata Rian, lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku baju dan menyodorkannya pada Dinar. “Segera buat lamarannya Din, ini syarat-syaratnya, paling lambat 3 hari harus beres.”  

 “Kok cepet banget, Mas?” kening Dinar sedikit berkerut.  

 Rian menjelaskan: lowongan ini sebenarnya sudah dibuka dua minggu yang lalu dan batas akhirnya memang tiga hari lagi. Maka Dinar pun berjanji: akan segera membuat surat lamaran kerja  bersama berkas-berkas yang diperlukan seceparnya, diusahakan dua hari sudah rampung.  

 “Bagus,” ujar Rian lagi. “Kalau sudah rampung, kau telpon aku, nanti aku antar kamu ke ZeroTV.” 

  “Ah nggak usah repot-repot, Mas. Biar saya antar  sendiri surat lamaran kerja saya ke Stasiun ZeroTV,” tukas Dinar.

 “Jangan Din, kamu harus aku antar,” cegah Rian. “Lowongan penyiar itu hanya diumumkan di kalangan terbatas. Dengan aku antar kamu, sekalian aku bisa merayu Pak Fery, Manajer SDM di Stasiun ZeroTV, yang menjadi kolegaku. Dengan begitu, siapa tahu kans kamu untuk diterima jadi lebih besar.”

 Sesaat Dinar terdiam, hatinya sedikit bimbang, karena ia teringat pada Riko yang nun jauh di sana, di Inggris. Tapi secepat itu pula Dinar berfikir, masalah pekerjaan adalah masalah yang juga penting baginya. Maka ia pun berkata:  “Wah, aku jadi ngrepoti kamu, Mas.”  

  “Ah nggak, Din. Aku senang kok bisa bantu kamu.”

 “Oh Mas, kamu baik sekali,” ucap Dinar spontan, saking girangnya. “Terima kasih Mas, sebelumnya,”

Lihat selengkapnya