Jam 4 pagi Dinar sudah berada di Studio ZeroTV tempatnya bekerja. Seperti biasa, sebelum acara Berita Pagi dimulai, ia membantu mengedit video-video yang akan ditayangkan dalam Berita Pagi ini dan saat itulah Dinar mendapati video tentang perkelahian di salah satu kafe di Kemang yang terjadi jam 12 malam tadi.
Dinar mengamati video pekelahian itu dengan cermat dan di antara pengunjung kafe yang tengah menyaksikan perkelahian itu tampak ada Riko yang tengah bergandengan mesra dengan Stevie. Melihat hal ini mendadak Dinar merasa muak. Sangat muak. “Huh, kau ternyata memang masih benar-benar playboy Kak Riko!” geramnya lirih. “Untung tadi malam aku menolak ajakkanmu untuk keluar rumah.”
***
Karena mendapat tugas membaca Beriat Pagi, jam 2 siang Dinar sudah berkemas-kemas untuk pulang. Dan seperti beberapa hari yang lalu, kali ini dengan senyum-senyum Wina kembali menghampirinya.
“Ada apa lagi, Win?” selidik Dinar.
“Mbak Dinar ini seperti selebriti,” kata Wina.
“Maksudmu?” kening Dinar berkerut.
“Di lobi depan kantor, sudah menunggu tiga laki-laki, mau minta tanda tangan Mbak Dinar,” terang Wina.
“Siapa mereka?” Dinar menatap Wina.
“Katanya sih, penggemar Mbak Dinar.”
“Hem, ada-ada aja,” Dinar bergumam sambil menyambar tas kerjanya, lalu melangkah untuk pulang.
Ucapan Wina ternyata benar. Begitu langkah Dinar sampai di lobi depan Studio ZeroTV, tiga laki-laki muda segera bangkit dari duduk dan menghampirinya.
“Mbak Dinar, kenalkan, saya Nugie, Mbak,” kata salah satu dari tiga pemuda itu. “Dan ini dua teman saya, Marto dan Sapto.”
“Kalian bertiga mau apa?” Dinar menatap tiga laki-laki muda itu berganti-ganti.
“Kami bertiga penggemar Mbak Dinar,” kata Nugie lagi. “Dan berharap Mbak Dinar sudi membubuhkan tanda tangan Mbak di kaos oblong yang kami pakai ini.”