Bila dalam masalah cinta boleh dibilang Riko selalu apes, selalu sial, tapi tidak dalam masalah karier. Baru seminggu kembali berada di Jakarta, beberapa WA dari pemilik rumah sakit masuk ke HPnya, semua menawari, agar Riko bersedia berpraktek di rumah sakit punya mereka, tentu saja sebagai Dokter spesialis mata. Tapi dari sekian penawaran itu, Riko memilih Rumah Sakit Harapan Afiat. Dulu, ketika masih berupa klinik, dengan senang hati pemiliknya—Dokter Sasongko—mempersilakan Riko praktek di sana sebagai dokter muda. Dan kini, saat klinik itu telah meningkat statusnya menjadi rumah sakit—karena semua persyaratannya telah terpenuhi—dan Riko telah menjadi dokter spesialis mata, tentu saja Riko ingin membalas kebaikan hati Dokter Sasongko. Disamping itu ia memang telah cocok dengan suasana kerja di rumah sakit itu.
Setelah mulai aktif praktek sebagai dokter spesialis mata di Rumah Sakit Harapan Afiat, Riko berencana untuk kembali bertempat tinggal sekaligus membuka praktek pribadi di rumahnya yang dulu dibelikan oleh papanya saat ia mulai buka praktek pribadi untuk yang pertama kali. Dan tatkala niatan ini ia kemukakan pada papa dan mamanya, kedua orangtuanya itu sangat setuju, bahkan sang papa langsung membantu membelikan peralatan dan semua perangkat yang dibutuhkan untuk praktek dokter spesialis mata itu. Oh, betapa senangnya Riko.
Dan hari Minggu sore ini Riko baru selesai membantu dua orang pekerja menata ruang depan rumahnya yang akan kembali ia pergunakan untuk praktek pribadi, ketika terdengar sebuah suara memberi salam: “Assalamu’alaikum…”
“Waalaikumssalam,” sahut Riko sambil memutar tubuh dan dari pintu depan yang terbuka lebar ia segera tahu, siapa yang datang. Lalu ia pun berseru riang:
“Hei Tina…,” Riko melangkah ke teras depan menghampiri Tina.
Tina tersenyum. “Maaf Dok, baru sekarang saya sempat datang ke sini,” katanya. Sudah tiga hari yang lalu memang Riko meminta Tina untuk datang ke rumahnya, sehubungan ia akan memulai kembali praktek pribadi.
“Oh nggak apa-apa. Repot, ya?” tanya Riko.
“Iya,” tukas Tina. “Maklumlah, sekarang saya kan sudah punya anak.”
Riko tersenyum maklum. Ketika baru 6 bulan berada di Inggris, Tina mengontak Riko memberi tahu kalau ia akan menikah. Kala itu Riko minta maaf karena tidak bisa menghadiri pernikahan Tina, tapi ia membantu dengan keuangan yang lumayan besar untuk keperluan pernikahan Tina itu.
“Anaknya sudah umur berapa, sih?” tanya Riko kemudian.
“Sudah satu tahun, Dok,” jelas Tina.
Tiba-tiba Riko terdiam dan membatin: Oh, alangkah indahnya kalau aku segera menikah dan punya anak.