Tanggal 15 Pebruari jatuh pada malam Minggu. Riko gembira sekali, sebab ia tahu, pada malam Minggu Dinar libur, tidak bekerja. Sehingga ia yakin, rencana indah yang ada di hatinya akan dapat terlaksana dengan mulus.
Sengaja Riko datang ke rumah Dinar malam hari dengan mengendarai Grand Livina milik papanya. Sekarang ia memang tidak punya mobil pribadi. Maklum ketika ia mau melanjutkan studi ke Inggris dulu, Ayla miliknya ia jual untuk tambahan uang saku selama ia berada di benua Eropa itu dan kini ia belum punya mobil pribadi lagi. Pernah ia iseng minta dibelikan mobil baru pada papa dan mamanya, tapi kedua orangtuanya itu justru menyarankan: agar ia menabung dari uang hasil kerja untuk bisa membeli mobil, dengan demikian kalau mobil baru itu bisa terbeli, tentu akan ada kebanggaan juga kepuasan tersendiri.
Dan malam ini, agar bisa merebut hati Dinar, terpaksa Riko pinjam mobil Grand Livina milik papanya. Dan ketika sampai di rumah Dinar, dalam hati ia mengucap beribu syukur, karena sambutan Dinar sangat ramah. Ia pun merasa, rencananya untuk meminang Dinar malam ini akan berhasil.
Kemudian, setelah sedikit berbasa-basi, Riko mengajak Dinar untuk keluar rumah. Ia akan mentraktir Dinar makan. Tapi Dinar tidak segera memberi jawaban, karena ia sudah ada date dengan Rian untuk keluar rumah. Sesaat Dinar bingung, tapi segera ia mengambil sikap tegas.
“Ah, nggak mau, ah,” ucapnya kemudian. “Lagi males. Mending santai di rumah.”
Riko tidak tahu apa yang ada di hati dan pikiran Dinar. Yang ia tahu, Dinar punya pendirian yang kuat, yang kalau sudah bilang: A, susah untuk berubah jadi: B. Maka untuk dapat mengubah pendirian Dinar, ia mengingatkan, bahwa hari ini adalah hari istimewa buat Dinar.
“Istimewa apa?” sela kening Dinar berkerut.
“Duh, lupa…,” kata Riko lagi. “15 Pebruari… 15 Pebruari…”
“Ya ampun…,” seru Dinar spontan. Wajahnya berseri. “Hari ini kan ultahku…”
“Met ultah ya, Din…,” kata Riko sambil mengulurkan tangan.
“Makasih, Kak,” dengan hangat Dinar menyambut uluran tangan Riko.
“Jadi mau kan, kutraktir makan di luar?” Riko menatap Dinar. “Ya itung-itung merayakan ultahmu.”
“Duh, gimana ya?” kali ini Dinar benar-benar bingung, sorot matanya nyalang menatap keluar lewat kaca jendela, takut kalau-kalau Rian datang. Tapi Riko tidak menyadari hal itu. Sehingga ia terus nyerocos.
“Selain itu, aku juga ingin menyatakan sesuatu ke kamu, Din,” ucapnya kemudian.
“Menyatakan apa, Kak?” mata Dinar sontak sedikit mendelik, menyelidik.
“Ah, nggak enak dong kalau aku menyatakannya di sini,” tukas Riko.
“Kenapa nggak enak?” ujar Dinar. “Toh esensinya sama saja kan, Kak?”
Riko geleng-geleng. Duh, betapa keras kepalanya gadis ini, batinnya. Sesaat Riko terdiam, nampak menimbang-timbang. Lalu: Ah, aku tak mau menunda lagi, aku harus menyatakan maksudku meminang Dinar sekarang juga, putus hatinya.
Maka setelah menghela nafas berat Riko mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari saku celananya. “Ini hadiah untukmu, Din,” katanya sambil menyorongkan kotak kecil itu pada Dinar.
“Apa ini, Kak?” sedikit enggan Dinar menyambutinya.
“Bukalah…,” kata Riko.
Perlahan-lahan Dinar membuka kotak itu dan tampak berkilauan sepasang cincin emas. “Apa-apaan ini, Kak?” kening Dinar lipat tujuh.
“Aku ingin meminangmu, Din,” kata Riko pula. “Kalau kau mau, ayo kita segera menikah.”