Dari Rumah Nidia, Riko pulang ke rumah orangtuanya dan langsung masuk ke kamarnya. Tak hiraukannya pertanyaan mama dan papanya: “Bagaimana Riko, apa wakuncarmu ke rumah Nidia tadi sukses?”
Riko langsung mengunci kamar. Dan untuk hari-hari berikutnya, selesai praktek pribadi di rumah pribadinya, Riko langsung ke rumah orangtuanya dan langsung pula masuk ke kamarnya. Melihat hal ini, tahulah kedua orangtua Riko, kalau anak sulungnya tak berhasil merebut hati Nidia.
“Bagaimana ini, Pa?” tanya sang mama.
“Ya udahlah Ma, kita sabar aja,” kata papa. “Kalau kita buru-buru kembali mencarikan Riko kekasih dan kembali nggak berhasil, hati Riko akan semakin remuk.”
Mama tak berkomentar. Ia hanya menghela nafas panjang. Ia prihatin. Sangat prihatin. Ia tak menyangka anaknya yang sukses sebagai dokter akan mengalami kepahitan demi kepahitan dalam bercinta.
***
Setelah melayani pasien yang terakhir di ruang praktek pribadinya, Riko melihat arloji, jam 8 tepat. Ah, sudah malam, batinnya. Pasien nggak bakal ada yang datang lagi. Maka Riko pun berkemas, membereskan peralatan prakteknya. Namun tatkala rampung berkemas, terdengar pintu ruang prakteknya diketuk, lalu pintu itu terbuka dan asistennya, Tina masuk, meletakkan kertas status pasien di atas meja kerja Riko.
“Masih ada pasien, Tin?” tanya Riko.
“Iya Dok, baru datang.” Tina keluar dari ruang praktek dan mempersilakan sang pasien masuk. Begitu pasien itu sudah ada di ruang pemeriksa, Tina menutup pintu.
Sejenak Riko membaca status pasien. Hem, pasien yang baru pertama kali datang ke tempat praktek pribadiku, batinnya. Lalu ia mengangkat wajah dan menatap sang pasien yang sudah duduk di kursi di seberang meja di hadapannya. “Apa keluhannya?” tanyanya.
“Nggak ada…,” kata pasien.
“Lho, kenapa Anda datang ke sini?” Riko sedikit marah, merasa dipermainkan.
“Begini Dokter,” kata si pasien. “Di tempat kerja saya, ada uang klaim untuk kaca mata. Saya ingin pakai kaca mata, tapi kok mata saya rasanya masih normal. Bisa nggak dokter memberi saya keterangan, bahwa mata saya min, jadi bila saya beli kaca mata di optikal, saya bisa dapat kwitansi yang bisa saya pergunakan untuk kliam ke tempat saya bekerja.”
“Oh begitu…,” Riko mengangguk-angguk, lalu membaca nama si pasien yang tertera di lembar status: Endri. Riko memperhatikan pasiennya lebih cermat; setitik keraguan menyembul di hatinya: Endri ini cewek beneran apa bencong, sih?
“Memang Endri kerja di mana?” tanya Riko kemudian.
“Salon Kecantikan Lulur Molek,” jawab Endri.
“Oo…,” Riko kembali mengangguk-angguk dan yakin kalau pasiennya kali ini seorang bencong, seorang waria.“Endri, saya nggak bisa langsung memberi surat keterangan, bahwa mata kamu min. Bagaiamanpun juga harus melalui pemeriksaan lebih dulu. Siapa tahu sesungguhnya mata kamu memang sudah minus, walau kamu merasa mata kamu masih normal.”
Endri diam.
“Mau kan mata kamu saya periksa lebih dulu?” Riko menatap Endri, minta ketegasan.
“Baik, Dok,” angguk Endri.
engan peralatan yang ada di ruang parktek pribadinya, Riko memeriksa mata Endri dengan cermat.
“Endri, ternyata mata kamu memang sudah minus,” kata Riko tatkala sudah kembali duduk di meja kerjanya. “Tapi memang baru ½.”
“Wah, kalau begitu saya memang sudah waktunya pakai kaca mata ya, Dok?” tanya Endri.
“Ya,” ucap Riko sambil menulis surat keterangan untuk Endri.
***
Perjumpaan dengan Endri adalah perjumpaan yang cukup berkesan bagi Riko, karena selama ia praktek sebagai dokter, baru kali ini ia menangani pasien seorang waria. Namun dengan bergulirnya waktu dan kesibukan kerja, hal itu pun segera terlupakan.
Tapi malam ini, di kedai bakso yang menjadi langganannya, secara kebetulan ia berjumpa lagi dengan Endri.
Tadi, pasien yang datang berobat ke tempat praktek pribdinya sangat sepi. Dari jam 4 sore sampai gelap mulai membentang hanya ada 2 orang pasien. Maka Riko menyuruh asistennya, Tina untuk berkemas; ia akan segera menutup ruang praktek pribadinya.
“Kok buru-buru sih, Dok?” Tina melihat arlojinya. “Masih jam 6.30 lho.”
“Sesekali Tin, tutup cepat,” ucap Riko. “ Feeling saya mengatakan, malam ini kok rasanya nggak akan ada pasien datang lagi.”
Tina menuruti perintah Riko. Dan saat Tina hendak pulang, Riko menawarkan jasa baik. “Tin, mau saya antar?” tanyanya.
“Wah, tumben Dokter baik hati?” kata Tina dengan nada canda.
“Yah, berbuat baik kan tiket untuk masuk surga,” ucap Riko balas bercanda. “Saya juga ingin masuk surga, lho.”
Sepulang dari mengantar Tina, Riko mampir ke kedai bakso langganannya. Dan di sinilah ia berjumpa dengan Endri.
Awalnya Riko bersikap tak acuh dengan keramaian kedai bakso itu, toh memang kedai bakso itu hampir tak pernah sepi. Tapi tatkala beberapa saat kemudian beberapa anak yang ada di kedai bakso itu ribut menyebut-nyebut nama Endri—ada yang minta nambah makan bakso, ada yang minta nambah minumannya, tapi ada juga yang bilang sudah kenyang—Riko pun terusik. Lalu dengan seksama ia menatap sosok yang dikerubuti bocah-bocah yang nampaknya rata-rata berusia 10 tahun itu. Ia pun segera mengenali, Endri itu adalah waria yang periksa mata ke tempat praktek pribadinya beberapa waktu yang lalu. Penampilan Endri memang tampak lebih keren dengan mengenakan kaca mata, tapi Riko tidak lupa pada raut wajahnya, tidak membuat Riko pangling.
Kemudian Riko buru-buru menghabiskan baksonya. Dan setelah membayar, ia segera menghampiri Endri.
“Endri…,” sapanya ramah.
Sesaat Endri menatap Riko dengan cermat. Lalu: “Dokter Riko…,” serunya, riang.
Diam-diam Riko menghela nafas lega, karena Endri masih mengenalinya. “Saya lihat, kamu dikerubuti beberapa anak. Siapa mereka. Ndri?” tanyanya kemudian.
“Mereka anak-anak saya,” senyum Endri.
“Anak?” kening Riko lipat tujuh. “Kamu punya anak?”
Endri tersenyum. “Anak angkat, Dok,” jelas Endri. “Mereka itu anak-anak yatim piatu, penghuni Panti Asuhan Welas Asih. Karena saya sering mengunjungi panti asuhan itu, lama-lama saya akrab dengan anak-anak itu. Sehingga saya menganggap mereka sebagai anak-anak saya.”
“Mm…,” Riko mengangguk-angguk, memahami. “Oya, kalau boleh tahu, apa kamu donatur tetap di panti asuhan itu?”
“Iya,” angguk Endri.
Sesaat Riko terpana. Hem, selama ini aku selalu memandang para waria dengan konotasi negatif, batinnya. Tapi apa yang telah dilakukan oleh Endri, membuat aku harus mengubah perspektif itu!
“Endri, tadi kamu ke sini dengan anak-anakmu itu naik apa?” tanya Riko kemudian.
“Jalan kaki, Dok.” jawab Endri. “Enak rame-rame.”
“Memang panti asuhan itu di mana?”
“Dekat, Dok. Dengan jalan kaki, paling-paling cuma 15 menit dari sini,’ terang Endri.
“Oo…,” Riko kembali mengangguk-angguk. “Kalau pulang nanti saya antar dengan mobil saya, mau?”
“Anak yang ikut saya banyak lho Dok, enam orang” tukas Endri. “Memang mobilnya dokter apa?”
“Grand Livina, sih,” ucap Riko. “Tapi dengan sedikit berdesakan, bisalah anak-anak itu diangkut semua.”
“Okelah, Dok,” ujar Endri.
Sejak itulah—bila ada waktu luang—Riko jadi rajin mengunjungi Panti Asuhan Welas Asih. Dan dari sini pula ia mulai akrab bergaul dengan Endri. Tidak! Riko tidak jatuh cinta pada Endri. Ia masih lelaki yang sejati. Baginya, bergaul akrab dengan Endri hanyalah sebagai selingan, sebagai pelipur hatinya yang sedang lara. Tapi bagi kedua orangtuanya, bagi mama dan papanya, hal ini tentu sangat mengkhawatirkan.