Sengaja, kuusap debu tebal di kaca jendela kereta api berlogo Matarmaja. Nampak dari balik kaca itu, bagaimana kesibukan yang terjadi di Stasiun Pasar Senen Jakarta. Semua calon penumpang, bergegas menaiki kereta. Tak ingin mereka ketinggalan dan gagal mencapai kota tujuan. Waktu bagi para penumpang untuk bersiap, hanya beberapa menit saja. Sebelum akhirnya lokomotif ini, akan membawa jiwa raga kami semua tuk berpindah. Berhijrah dari kota ini, menuju kota tujuan kami selanjutnya.
Para calon penumpang kereta, banyak yang masih riuh di luar sana. Beberapa dari mereka di antarkan kemari oleh sahabat atau sanak keluarga. Mereka saling bersalaman dan berangkulan. Berucap pasti akan merindu setelah ini. Kondisi itu, nampak kontras denganku. Meski aku akan meninggalkan kota ini, bahkan mungkin untuk selamanya. Sepertinya, memang tidak akan ada siapapun di sini yang mengantarku. Apalagi menghambatku. Tuk pergi meninggalkan ibukota yang mulai penuh sesak oleh jutaan perantau ini.
Segera berduduk-duduk manislah aku di kursi kereta. Tepatnya, aku berada di gerbong bagian tengah. Sesuai nomor yang tertera di tiket yang kubeli di kereta api berkelas ekonomi. Kereta usang inilah yang akan mengantarku pulang. Dari kota perantauan, menuju kota tanah kelahiran. Di dusun mungil nan sejuk yang berada di ujung timur pulau Jawa sana.
Bel kereta telah bersungut-sungut menderu. Disusul arahan bagi segenap penumpang. Oleh suara perempuan khas stasiun-stasiun kereta di negeri ini. Rekaman suara wanita yang tak pernah menampakkan wajah aslinya—apakah ia cantik atau ia sebenarnya berwajah kejam. Keretaku bersiap lepas landas. Petugas stasiun di luar sana, kini berjalan menuju ujung lorong pembatas stasiun. Ia memegang bendera sandi keberangkatan kereta. Benda itu mirip raket bola pimpong. Kereta Matarmaja ini, memiliki rute dari stasiun Pasar Senen dan pemberhentian terakhirnya adalah di stasiun Kota Malang.
Sang masinis pun akhirnya menyeret rentengan ular besinya. Melalui kemudi yang dipegangnya, ia adalah orang yang paling berkuasa menggerakkan arah langkah kami bersama keretanya. Roda besi telah menyusuri bantalan rel berbahan baja. Tatkala kereta mulai bergerak. Ternyata banyak penumpang yang masih mondar-mandir di dalam gerbong. Mencari kursi paling tepat mereka. Sesuai nomor yang tertera di tiketnya. Jika di jalanan ibukota, bus Metro Mini adalah raja-diraja jalanan Jakarta. Namun di sepanjang pulau Jawa, kereta api adalah raja diraja jalanannya. Perjalananku kali ini, tak perlu berpeluh asap dan mendera kemacetan. Seperti saat aku berjibaku di Metro Mini—bus paling sensasional nan legendaris ibukota.
Akhirnya ... aku dapat tidur lelap di sepanjang perjalanku pulang!
Demikianlah harapanku, yang tak henti-hentinya bergundah. Capek, lelah dan kurang tidur. Selama beberapa hari ini. Musabab terus memikirkan tentang keputusan hijrahku. Karena aku masih saja takut dan ragu. Apakah aku akan benar-benar pulang dan menetap di kampung halaman. Tinggal selamanya di pedesaan tanah kelahiranku sana. Ataukah, aku hanya sekedar main, akan coba-coba terlebih dahulu dan akan kembali lagi ke Jakarta. Nyatanya, hari ini aku telah mantap dan nekat pergi selamanya dari kota ini. Semoga aku tak akan menyesali keputusan finalku ini. Untuk tidak lagi hidup di ibukota negara.
Aku telah bertahun-tahun hidup di ibukota. Bersekolah, berkuliah dan sempat pula mengais nafkah. Tiba-tiba hari ini aku memutuskan untuk pergi dengan misi tinggal di kampung selamanya. Meski sebelumnya, aku menyimpan sebersit keraguan. Karena tentu aku belum cukup berani menerima kenyataan. Aku dirundung rasa malu. Sebagai seorang pemuda yang pernah kuliah di kampus negeri kenamaan di ibukota. Namun tak pernah sampai lulus dan menjadi sarjana. Bukannya aku bersembunyi di zona nyaman metropolitan. Aku malah memilih pulang ke desa tanpa embel-embel sudah menjadi seorang sarjana. Berlabel pegawai dan berjas klimis yang bekerja di kantor-kantor mewah. Atau sudah menjadi karyawan di konglomerasi bergaji tebal seperti orang-orang perantau kebanyakan. Yang pulang ke kampung halaman dengan predikat sukses dan kaya. Untuk dipamerkan pada para tetangga dan sanak keluarga di tanah kelahiran.
Bismillah. Tanpa mengantongi semua itu. Aku tetap akan berhijrah dari kota ini. Bersiap menyambut asa depan. Entah dengan siapa dan bagaimana caranya. Aku akan bertahan hidup di desa. Dengan misi menggores peradaban baru di sana. Di tanah kelahiran tercinta.
“Permisi ... Mas,” ujar bapak paruh baya di hadapanku. Ia tiba-tiba datang menyadarkan lamunan asaku. Bapak itu berdiri tepat di depanku. Sibuk menata banyak sekali barang bawaan di tangannya untuk ia masukkan ke loker kereta.
“O, iya, silahkan Pak.” Kembali aku menatap ke jendela. Setelah menyahuti bapak itu basa-basi, berlagak sedang tidak merasa terganggu oleh kehadiran beliau.
“Maaf ya Mas ..., Maaf ya! Buk ... Ibuk ..., disini sepertinya Buk, nomor bangku kita yang benar!” seru Bapak paruh baya itu. Tatkala istri dan anak-anaknya masih bercelingukan mencari-cari kursi mereka.
Akhirnya, bapak paruh baya dan berkumis tebal itu duduk. Tepat di hadapanku. Wajahnya lumayan garang. Untuk ukuran pria penuh kata maaf. Istrinya pun dipintanya ikut menyusul duduk di sampingnya. Ibu paruh baya dan berkulit sawo matang itu kemudian ikut duduk dengan bayi mungil di pelukannya. Lantas disusul rombongan anak-anaknya yang lain. Ramai riuh sekali jadinya. Setelah mereka semua itu di sini. Wah, sudah pasti tak asyik lagi ini jadinya niat tidur berlelapku di kereta. Perjalanan di Matarmaja yang kuniati dengan tidur kini raib sudah. Ranselku tiba-tiba diacak-acak oleh salah satu anak mereka. Digeser-geser sampai menyelinap di kolong kursi kereta. Aku geram sekali. Lantas berusaha merangsek berdiri. Menaruh ransel itu di loker kereta. Meski sedikit kupaksa-paksa agar muat.
“Maaf ya, Mas ... anak saya yang satu ini memang suka jahil. Ayo minta maaf sama Om-nya,” paksa istri Bapak berkumis tebal. Ia berucap sambil mencubit pipi bocah lelaki mungil di sampingku yang menginjak-injak ranselku tadi.
“Mas Ki ..., ayo lekas minta maaf sama Om-nya,” tambah Bapak berkumis tebal sembari mengusap rambut anaknya.
“Maaf ya Om ...,” katanya.
“Iya Dek. Om maafin kok. Tak apa kok, Pak, Buk,” kataku. Anak itu lalu bersenyum tanda sukses pada kami semua. Sudah seperti mendadak hari raya idul fitri saja ini. Mendengar permintaan maaf mereka.
Di kereta kelas ekonomi seperti ini, kami memang hanya mendapatkan jatah kursi sempit yang saling berhadapan. Satu kursi panjang, diisi untuk tiga orang. Jadi, dua kursi panjang yang saling berhadapan, hanya cukup untuk enam orang. Tentu aku masih kebagian kursi. Karena salah satu anggota keluarga mereka adalah seorang bayi lucu yang masih di pelukan ibunya. Rombongan keluarga ini sungguh ekstrim meriahnya. Buatku yang bertipe introvert, kondisi ini cukup mengganggu. Selain bayi mungil dan bocah tengil di sampingku, ada dua anak gadis remaja mereka yang duduk saling berhadapan di ujung kursi kami.
Sungguh mengesalkan. Aku memang tak mudah akrab dengan orang yang baru kukenal. Sejak tadi aku hanya memalingkan wajahku ke jendela. Memandang kondisi di luaran sana. Meski, aku sedang berlagak terganggu dengan keluarga meriah ini. Sesungguhnya, diam-diam aku iri pada mereka. Aku sangat merindukan suasana hangatnya keluarga. Bisa berkumpul bersama keluarga—yang dilimpahi hari-hari penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan, seperti keluarga kecil bapak paruh baya dan berkumis tebal ini.
“Mas ...,” tegur tiba-tiba Bapak berkumis tebal sembari memegang ujung lututku. Sudah pasti aku kaget sekali. Segera kupalingkan wajahku ke beliau. Sedikit kupaksa bersenyum dan seraya berkata, “Iya Pak. Ada apa ya?”
“Keripik buah mas. Silahkan diicip-icip,” tawar bapak itu sembari mengulurkan panganannya kepadaku.
“Ohh, makasih Pak,” sahutku masih acuh.
“Silahkan, Mas. Tak apa. Dicoba. Enak, kok. Ini keripik buah khas kota kami. Kebetulan ini yang keripik apel. Buatan keluarga kami sendiri ini Mas. Dijamin halllal!” rajuk bapak berkumis tebal itu panjang kali lebar, sembari bersenyum-senyum sok manis pula. Aku tak enak juga dipaksa-paksa olehnya. Akhirnya kucomot juga, sekedar satu biji keripiknya.