Lama ia menatap wajah perempuan itu, disentuhnya pipi dan bibir lalu pelan-pelan mengoreskan gincu kemudian disusul bedak. Bibirnya kembang-kempis meratakan goresan gincu lalu ditatapnya dalam-dalam perempuan di hadapannya. Rasa puas menghinggapi dada, ia lalu melepaskan kuncir kuda dan mengacak-ngacak bagian kiri dan kanan rambut. "Aku bisa seperti mereka." Katanya sambil melihat lekat-lekat dirinya di cermin.
"Eleni apa makan malam sudah siap?"
"Sudah Abah." Teriak Eleni dari dalam kamar. Ia lekas menghapus semua make up dan kembali menguncir rambutnya lalu turun ke ruang keluarga.
"Sudah sholat insya?" tanya Abah sambil memberikan piring.
Leni mengangguk pelan, "sudah." Kemudian menerima piring dan mulai mengisinya dengan nasi dan lauk pauk.
"Ehem...kamu lupa?"
Leni sedikit kaget, "maaf Abah." Ia langsung menaruh senduk dan garpu, kemudian memanjatkan doa.
Tidak ada suara selain decitan senduk dan garpu yang mengenai dasar piring. Ruang itu terasa hampa namun, berisi dua orang manusia yang saling berhadapan.
"Bagaimana sekolahmu tadi?"
Leni terus saja memotong-motong makanan di piring, ia tidak menghiraukan pertanyaan Abah.
Abah kembali berdeham untuk menarik perhatian anaknya.
Pandangan Leni langsung beralih dari piring menuju Abahnya tapi, dia tidak mengerti apa yang diingin oleh Abah.
"Bagaimana sekolahmu tadi?" ulang Abah.
"Oh..." Lalu kembali menurunkan pandangan ke piring. "Seperti biasa Abah, tidak ada yang aneh."
"Nilai-nilai kamu bagaimana?"
"Tetap bagus, insyaalloh terjaga."
Abah mengangguk dan melanjutkan makan malam. Sekarang hening kembali melanda di antara mereka.
"Aku duluan Abah, masih ada tugas kimia yang belum selesai."
Abah kembali mengangguk.
Eleni menaruh senduk dan garpuknya sepelan mungkin tanpa menimbulkan suara dentingan. Ia beranjak dari meja makan dan kembali naik ke kamar.
Sepintas Abah meliriknya naik ke kamar.
Ia duduk termenung melihat layar smartphonenya, jarinya mengelus-ngelus sebuah foto. Dengan cepat ia beralih dari satu foto ke foto lain, tanpa disadari malam sudah larut dan satu-satunya yang mengalihkan perhatian Eleni adalah tanda kedip habis baterai. Segera ia mencolok smartphonenya dan menunggu dengan sabar hingga terisi penuh. Ketika sudah terisi penuh, Eleni akan kembali mengamati semua foto-foto itu hingga baterai kembali terkuras atau hingga ia merasa mengantuk.
***
Eleni sudah terbiasa untuk bangun subuh, karena harus sholat subuh setelahnya membereskan keperluan sekolah dan membuat sarapan. Mengatur dua piring dan mengisinya dengan nasi. Tidak lama Abah datang dan duduk, dengan sigap Eleni mengikuti. Tidak ada suara diantara mereka, hanya selentingan senduk dan garpu yang mengenai dasar piring.
Setelah sarapan Leni membersihkan meja makan dan mencuci piring lalu bergegas kembali ke atas. Dengan cekatan ia memasang jilbab, memastikan bagian dadanya tertutupi kemudian turun karena Abah sudah menanti di mobil. Alunan ayat-ayat mengisi mobil saat Abah memutar radio islami kegemarannya. Sementara itu, pandangan Eleni terbang jauh ke luar, mengawang di antara khayalan dan realita. Lamunannya berakhir saat matanya menatap gerbang sekolah, ia mencium lengan Abahnya seraya pamit, "Leni sekolah dulu."
Pelan-pelan berjalan menuju gerbang, sambil sesekali melihat ke belakang memastikan Abah sudah pergi. Setelah yakin bahwa Abah sudah tidak ada, ia menghentikan langkahnya berdiam di satu sisi gerbang untuk menanti. Beberapa anak memperhatikan namun, Leni tidak perduli, tetap saja berdiri di satu sisi gerbang karena baginya tidak ada matahari pagi yang mampu menghangatkan batin dari pada melihatnya. Setelah beberapa saat akhirnya yang dinanti muncul, hatinya bergejolak setiap kali yang dinanti melintasi. Eleni menatap jauh ke bawah, saat ia melintas dengan teman-temannya lalu, cepat-cepat menaikan pandangan ketika ia sudah berjalan cukup jauh. Sekarang hangat sudah hatinya.
***
"OMG, gue nggak tahu sampai kapan kita harus pura-pura nggak tahu kalau freak itu nunggu lo setiap pagi di depan gerbang."
"Ayolah Jes, apa yang salah sama itu?"
Jesika langsung melotot, tapi tak menghentikan langkahnya. "Menurut kamu yang di belakang itu wajar!"
Damian melirik sambil menyunggingkan senyum. "Beib, aku dapet puluhan whatsapp setiap hari dari nomor nggak dikenal dan yang di belakang itu jauh lebih baik dari pada setiap hari ganggu minta kenalan."
"Oh, baiklah kalau begitu, but still creep me out." Kesal Jesika. Ia memberikan ciuman kecil pada Damian, saat mereka berpisah menuju meja masing-masing.
Bri yang sudah terlebih dahulu duduk langsung mengerlingkan matanya, "duh ileh, kaya mau kemana aja dah."
"Kan biar romantis." Balas Jesika dengan manja lalu duduk di mejanya dan mengeluarkan berbagai peralatan make up.
Bri menatap semua kosmetik itu dan merasa heran karena tidak ada buku, "emangnya lo udah ngerjain peee...e..errr?
Jesika langsung berpaling pada Bri, "emang ada getuh?"
Sekali lagi Bri mengerlingkan matanya.
Jesika pun terkejut. "Oh, shit!"
"Selamat pagi anak-anak." Sapa Pak Hebert.
Wajah Jesika langsung panik saat mengetahui Pak Hebert sudah memasuki kelas, sementara Bri langsung siap sedia dengan buku terbuka di atas mejanya. Ia melirik seisi kelas yang melakukan hal sama dengan Bri, secepat kilat Jesika mengeluarkan buku dan membuka pada catatan minggu lalu.
"Ok, buka PR kalian. Saya mau lihat." Perintah Pak Hebert dan matanya berpindah dari satu meja ke meja lain, berharap menemukan sesuatu.