Pagi itu, ia turun perlahan dari kamarnya, berjalan pelan melalui ruang tengah dimana piring makan malam tadi belum dibereskan, kemudian menuju ruang tamu sampai dengan halaman. Abah sama sekali tidak terlihat nampaknya, ia sudah pergi kerja sedari subuh. Untuk pertama kalinya Leni menjejakan kaki keluar dari rumah seorang diri, tanpa disadari sebuah senyuman merekah, menghiasi wajahnya dalam perjalanan ke sekolah.
Dengan mantap ia memandang gerbang sekolah, tidak lupa melempar senyum pada beberapa anak yang berpapasan. Membuat semua anak-anak langsung keheranan dengan tingkah lakunya. Seperti biasa Leni duduk di meja paling depan namun, pagi ini ia menyempatkan diri untuk menyapa seorang. Cowok yang biasa duduk di sebelah Eleni ini tak percaya kalau sedang disapa, sebab setahun penuh duduk di sampingnya tidak pernah sekalipun Leni menyapa.
Sepanjang jam pelajaran suara Leni memenuhi ruang kelas, ia kerap mengajukan pertanyaan dan berdebat dengan guru perihal pelajaran. Semua anak di kelas 12-A saling bertukar pandang, sementara Jesika dan Briana saling melotot. Pak Hebert adalah guru yang paling tanggap terhadap perubahan Eleni, ia menghabiskan jam pelajarannya dengan menantang Leni untuk memecahkan beberapa soal sulit.
***
"Kayaknya ada yang lagi bahagia nih? Dari tadi gua perhatikan wajahnya sumringah banget hari ini."
"Masa sih," balas Eleni sambil menyiapkan kotak bekalnya. "Hari ini aku bawa nasi goreng spesial loh," membuka kotak bekalnya dan menunjukan nasi goreng lengkap dengan sosis, tomat dan selada.
Miriam mengusap telapak tanganya sembari menjulurkan lidah seolah hendak mencicipi. "Lo emang tahu apa yang gua mau." Lalu mengambil sesenduk penuh nasih goreng dan langsung memakan dengan sekali suap.
"Enak?"
Miriam mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi, tidak lupa kepalanya mengangguk keras. Setelah berhasil menelan, "jadi apa nih yang bikin lo kelihatannya bahagia banget?"
Dengan bangga Eleni berkata. "Hari ini kita nongkrong dimana? Soalnya aku sudah bebas, tidak dijemput Abah lagi."
Miriam langsung menyalami,"selamat anda sudah jadi berani." Ia kembali mengambil sesenduk penuh nasi goreng, sebelum memakannya,"kebetulan hari ini gua ada acara di Puncak."
Leni terlihat bingung dan menanti Miriam selesai mengunyah nasi goreng.
"Jadi temen gua di Jakarta sweet seventen getuh dah dan lo sama gua diundang ke partynya."
"Puncak?" tanya Eleni dengan sedikit khawatir.
Miriam menepuk-nepuk dadanya karena menelan terburu-buru. "Tenang semalaman gua udah googling, naik umum dari sini ke Puncak dan baliknya kita tinggal nebeng siapapun yang satu arah."
Eleni tidak berkata apapun dan hanya menganggukan kepala. Ia menghabiskan jam istirahatnya dengan mendengarkan Miriam bercerita mengenai teman-temannya, bagaimana mereka kerap nongkrong di seantero Jakarta dan pernah hampir ditangkap karena mencoba ganja. Leni takjub dengan kemampuan Miriam bercerita banyak dan bagaimana ia pernah mencoba semua hal dengan teman-temannya.
***
Miriam sudah menunggu di depan gerbang, mencari-cari Eleni di tengah kerumunan anak-anak yang bergerumul pulang. Ia tahu ada yang tidak beres padahal harus cepat-cepat pergi, agar tidak kemalaman. Miriam kembali masuk sekolah dan menemukan Eleni sedang diam di pojokan.
"Gua nungguin dari tadi di depan sementara lo malah asik cuci mata."
"Maaf, aku jadi lupa gara-gara Damian," kata Leni tanpa melihat Miriam, pandanganya fokus ke parkiran.
Miriam mengikuti pandangan Leni dan mendapati Damian sedang berganti dari seragam sekolah ke seragam tim baseball. "Ok, pertunjukan selesai," ucap Miriam sambil menarik tangan Eleni pergi.
Mereka naik angkot 06 dan memilih untuk duduk di bangku belakang. Miriam membuka percakapan mengenai apa saja yang dilihat Eleni di parkiran. Sepanjang jalan Eleni sibuk menjawab semua pertanyaan Miriam yang tak kunjung habis. Hingga pada satu topik mengenai hari Jumat ini karena, Eleni tiba-tiba saja teringat sesuatu.
"Mir, aku lupa bilang kalau Jumat ini merupakan awal dari long weekend, arus menuju Puncak pasti membludak dan polisi akan memberlakukan one way."
Kedua alis Miriam terangkat. "Jadi sekarang kita harus gimana?"
Leni berpikir sejenak lalu berkata. "Mau tidak mau, kita harus menunggu sampai jam empat sore dimana one way resmi ditutup."
Miriam menghela napas. "Baiklah, kalau begitu windows shopping dahulu di Botanical Square." Dan Miriam pun langsung menstop angkot begitu mereka melintasi Botanical Square.
***
"Menurut lo cocok nggak?" tanya Miriam menunjuk ke sebuah mini dress di etalase.
Eleni nampak berpikir. "Sepertinya cocok buat kamu."
Miriam kemudian menarik tangan Eleni, menuntunnya masuk ke butik. Ia mendekati seorang penjaga, "Mbak boleh fitting dress yang di pajang itu, " tunjuknya pada mini dress berwarna merah.
Perempuan dengan office suite plus nametag bertuliskan pramuniaga tersebut mengiyakan dan pergi ke belakang. Ia kembali dengan membawa mini dress merah dalam gantungan. "Silahkan, kamar gantinya di sebelah sana."
"Makasih Mbak" balas Miriam dan langsung menuju kamar ganti dengan Leni menguntitnya.
Leni menarik price tag mini dress tersebut. "Miriam ini harganya satu juta!"
Miriam melirik Leni dengan senyum tipis lalu mencoba mini dress tersebut. "Bagaimana?" tanyanya sambil berputar-putar dalam kamar ganti, membuat bagian bawah dress tersebut mengembang. Ia kemudian mengambil handphone dari dalam tas. "cepetan foto," pintanya pada Eleni.
Tanpa banyak tanya Leni melakukan perintah Miriam ia mengambil belasan foto dalam berbagai pose lalu mengembalikan handphone pada Miriam.
Miriam mengecek setiap foto jepretan Leni dan memilih salah satunya untuk di upload ke instagram. "Hastag prom goal, amazing dress, princess wannabe and uploaded. Ok, let's out," menarik Miriam ke luar kamar ganti lalu mencari penjaga butik tadi yang sekarang nampak sedang berada di kasir. "Permisi, pinggangnya kekecilan ada satu nomor di atas?"
"Maaf, kami hanya punya satu nomor," jelas penjaga tersebut dengan senyum selebar mungkin.
Miriam memberikan ekspresi kecewa teramat sangat. "Oh, kalau begitu nggak jadi dah Mbak." Ia kembali ke kamar ganti dan mengembalikan mini dress tersebut.
Saat berjalan ke luar butik Leni berbisik pada Miriam. "Kamu genius banget."
Miriam menatap Leni dan berkata. "Sekarang giliran kamu, ayo pilih yang mana?"
Mata Eleni langsung bergerak mengeliling lantai satu Botani Square dan berhenti pada sebuah butik hijab. "Yang itu." Mereka pun menuju butik dengan nama As-Salam. Leni memilih sebuah kaftan berwarna putih dengan hiasan swarovski di bagian dada, ia mencoba kaftan tersebut dalam ruang ganti. Miriam mengarahkan gaya sebelum ia memfoto Leni dalam kaftan berbalut swarovski itu. Setelah puas berfoto-ria dalam kamar ganti, Leni membawa kaftan pada penjaga butik dan melakukan apa yang Miriam lakukan di butik sebelumnya. Sambil menahan tawa Leni dan Miriam keluar dari butik As-Salam. "Ternyata ini menyenangkan."
"Gua tahu lo bakal bilang begitu."
Mereka bergerilya dari butik lantai ke butik lainnya, saling bergantian memilih mana yang akan dijadikan korban. Miriam memilih sebuah butik untuk ibu-ibu yang berada dekat dengan pintu masuk Carrefour. Mereka sibuk memilih dress paling norak untuk dicoba, ketika akan pergi kamar ganti. Eleni diam dan sebuah ketakutan nampak di wajahnya, ternyata Jesika dan Briana terlihat dari dalam butik sedang berjalan menuju Carefour. Melihat hal ini Miriam membuat Miriam bertekad untuk tidak akan menjadikan hari ini kelabu bagi Leni. Ia segera menaruh dress kembali ke hanger dan membawa Eleni keluar mengikuti Jesika dan Briana.
"Miriam, kita mau apa sampai menguntit mereka segala?" tanya Leni yang kebingungan sekaligus ketakutan.
"Lo lihat saja, kita bakal kasih perghitungan buat mereka."
Eleni menggelengkan kepala. "Tidak Mir, aku tidak mau ada masalah."
Jesika berusaha menenangkan Eleni yang terlihat amat panik dengan memegang kedua bahunya. "Tenang Len! Gua ada rencana buat bikin mereka malu dan lo nggak perlu takut." Sebelum pergi dari balik tumpukan handuk yang sedang sale, Miriam memerintahkan Eleni untuk tetap diam di situ. Ia bergerak ke arah Jesika dan Briana yang hanya membeli minuman ringan dan sedang membayar di kasir. Miriam berpura-pura mengantri di belakang mereka, diam-diam tangannya memasukan sesuatu ke dalam saku cardigan Jesika. Sebuah cukuran berwarna kuning yang dia ambil tadi dari rak samping kasir. Pelan-pelan Miriam pergi dari antrian kasir dan kembali menuju balik tumpukan handuk. "Sekarang lo perhatiin baik-baik."
Degup jantung Eleni meningkat, semua perasaan bercampur aduk antara takut, tegang dan gelisah saat melihat Jesika berjalan keluar kasir. Suara alarm berbunyi ketika Jesika melewati gerbang kasir. Briana terlihat bingung sementara, Jesika nampak mencari-cari apa yang membuat gerbang tersebut mengeluarkan alarm. Petugas Carrefour datang, pertama mereka memeriksa keadaan dan hanya mendapati Jesika memegang botol minuman ringan. Seorang petugas mengamati Jesika dan berbisik pada perempuan petugas kasir, ia meminta izin untuk memeriksa tubuh Jesika. Perasaan Eleni yang tadinya tidak karuan langsung menjadi bahagia, ketika melihat petugas kasir tersebut menemukan cukuran di saku cardigan Jesika. Senyum lebar langsung menghiasi wajah Eleni ketika Jesika dikerubuni petugas dan ia memeluk Miriam tepat sebelum Jesika digiring oleh para petugas Carrefour.
"Ini bakal jadi gede pas hari Senin," kata Miriam dengan penuh keyakinan.
Eleni mengangguk dan bibirnya merekah, menunjukan senyum terlebarnya.
Sambil menahan tawa keduanya pergi dari balik tumpukan handuk, berusaha terlihat senormal mungkin karena kerumunan orang masih banyak di area kasir. Begitu sampai di pintu keluar Botani Square kedua melepaskan tawa yang sedari tadi ditahan. Bahkan Miriam hampir saja jatuh tersandung akibat tertawa terbahak-bahak, beruntung Eleni dengan sigap menahannya.
***
Berdua naik angkot 03 menuju depan gedung Setya Jaya Ban untuk menanti kendaraan menuju Puncak. Miriam segera menghampiri seorang pria lusuh yang langsung berteriak, "puncak..puncak" pria tersebut adalah kenek dari trayek Bogor-Puncak. Ia memastikan kalau mobil minibus butut tersebut adalah sebuah kendaraan yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Setelah yakin, mereka berdua langsung masuk dan duduk di kursi tengah, kendaraan yang Miriam ketahui dari google bernama L300 tersebut merupakan sebuah mobil Mitsubishi biasa yang sudah puluhan tahun di pakai. Jok tengah yang mereka duduki sudah tidak mulus lagi, kulitnya sudah banyak terkelupas dan dasarnya langsung rangka besi. Setiap jendela dibuka lebar-lebar sebab tidak ada ac dalam L300 ini. Penumpang menuju Puncak ini pun banyak membawa barang, ada yang membawa ayam ada pula yang menaruh beberapa kardus mie instan di atap mobil.
Saat L300 mulai penuh, Miriam melirik Eleni sebab mereka terjepit. Kedua penumpang yang duduk di pinggir kiri dan kanan, merupakan bapak-bapak bertubuh besar dengan tubuh berkeringat yang mengeluarkan bau tak sedap. Eleni membalas lirikan Miriam dengan sebuah senyuman, kemudian menutup hidungnya dengan hijab. Sopir mulai menyalakan mobil dan ketika berjalan, kedua gadis tersebut menyadari bahwa L300 yang mereka tumpangi tidak datar, karena bagian belakang lebih rendah dari bagian depan, imbas bertahun-tahun dipakai naik tanjakan Puncak.
Miriam mencoba menikmati perjalan di sore hari ini, ia menutup kuping dari suara bising L300 dengan headsetnya sementara, Leni lebih memilih untuk memperhatikan jalanan di depannya. Perjalanan ini tidak seperti yang mereka kira, jauh dari pada nyaman. Jalanan menanjak dan berkelok dibarengi kondisi L300 yang sudah bobrok membuat punggung mereka pegal-pegal.
Tiba-tiba kenek mencolek Miriam yang sedang asik dengan headsetnya, "iya Bang?"
"Turun depan Neng sebentar lagi," kata si Kenek yang sudah diwanti-wanti oleh Miriam sedari awal untuk memberitahu kalau sudah mau sampai.
Mereka berdua turun di jalanan besar. Miriam mengecek handphone memastikan mereka berada sesuai dengan google maps, ia berjalan sedikit ke depan dan melihat spanduk serta papan-papan yang terpasang di sepanjang jalan itu. "Nah, tuh dia," tunjuknya pada sebuah papan petunjuk jalan.
"Taman wisata matahari," leni melafalkan apa yang dibacanya pada sebuah plang besar dengan logo departemen store yang kebetulan bernama-sama dengan tempat ini. "Pintu masuk utama," sambil melihat ke arah yang ditunjukan tulisan berwarna merah tersebut.
"Yuk," ajak Miriam dan mereka pun segera menuju jalanan pintu masuk utama. Jalanan pintu masuk ini besar karena diperuntukan untuk mobil, saat hari sudah semakin gelap dan sama sekali belum terlihat tempat bernama Taman Wisata Matahari.
"Mir, masih berapa jauh lagi?" tanya Leni sambil memegang kedua dengkulnya.
Miriam langsung memperhatikan layar handphonenya. "Sebentar lagi, kalau di handphone sih tinggal 800 meter lagi."
Leni memicingkan mata ke arah depan, mencoba melihat dalam keremangan magrib yang sudah tidak bisa diharapkan utnuk melihat jelas. Ia bangkit kemudian kembali berjalan, alunan azan yang sayup-sayup terdengar mulai jelas. Eleni melihat ke sekitar jalanan itu, ia sedang mencari mushola namun, tidak menemukannya yang ada hanya sekumpulan kios yang sudah tutup.