Miriam sudah duduk di meja kantin, ia nampak tidak sabar menanti Eleni. Jarinya mengetuk-ngetuk meja seakan sedang menabuh drum, sementara matanya terus melihat ke arah pintu masuk kantin. Ia berdiri dan melambaikan tangan pada Eleni, menyuruhnya untuk segera duduk.
"Kemana aja lo!" desak Miriam saat Eleni menghampirinya.
"Aku ada kok dari pagi," Jawab Leni sambil mempersiapkan bekalnya, kali ini ia tidak lupa membawa dua senduk.
Miriam langsung mengambil satu senduk penuh nasi goreng dan sebelum menyuapkan. "Maksud gua adalah kemana aja lo Sabtu malam kemaren? Sementara gua ajeb-ajeb, lo malah menghilang dan gua butuh detail tentang siapapun itu yang ajak lo jalan-jalan," lalu menyuapkan satu sendok penuh nasi goreng, rahang Miriam bergoyang kencang antara mengunyah dan menunggu jawaban Leni.
"Jadi waktu aku lagi cari kamu tiba-tiba aja ketemu sama cowok keren ini," kata Miriam sambil menahan senyum. "Kita ngobrol terus naik perahu angsa di danau, terus dia ajak aku ke tempatnya."
"Apa!" hampir saja Miriam memuntahkan nasi gorengnya. "Lo mau aja diajak sama cowok yang baru dikenal ke tempatnya?"
"Sabar Mir, jadi aku diajak ke tempat dia kerja sekaligus tinggal dan tidak ada apapun, aku langsung pulang begitu lepas tengah malam." Eleni sengaja tidak menceritakan bagian dimana Romero adalah penadah, terlebih ketika ia melihatnya mandi. Miriam memicingkan mata dan nampak berpikir keras. "Tunggu dia punya tempat kerja? Leni, memangnya cowok ini bukan anak sekolahan?"
"Begini, kalau aku lihat sih, sepertinya dia jauh di atas kita. Mungkin sekitar 20an tapi Romero itu dewasa banget, sekalipun di tempatnya aku sama sekali tidak diapa-apakan."
Masih memicingkan mata. "Apa om-om ini tipe religius? Siapa tahu dia sedang cari jodoh dan lihat lo langsung dah."
Leni langsung cemberut. "Bukan om-om Miriam!" protesnya. "Romero masih muda banget, perutnya saja sama dengan Damian terus naik motor dengan merk cafe racer, pakai jaket kulit dan jeans."
Miriam menaruh senduknya dan mulai berpikir untuk apa cowok berandalan jalan dengan cewek seperti Eleni. "Itu sama sekali nggak bagus Len, percaya sama gua. Biasanya tipe-tipe kaya begitu bawa pengaruh buruk."
"Yang bener?"
Miriam mengangguk.
Leni berpikir sambil menggigit senduk. "Jadi aku harus bagaimana kalau dia datang lagi?"
Miriam mengambil senduk dan menunjuk Eleni. "Lo harus acuhin dia, biar dia kapok datangin lo."
"Haruskah?" sambil melihat ke meja di ujung dimana Damian dan kawan-kawannya sedang makan.
Miriam menggenggam tangan Leni. "Ayolah Len, lo bisa dapetin jauh lebih baik dari pada Damian dan siapa namanya?"
"Romero," balas Leni sedih.
"Ya itu dia si Romero. Bad boy bring nothing good! Ingat itu."
Dengan berat hati Eleni setuju dengan Miriam, walaupun berharap Romero bisa menjadi pacarnya namun, petuah Miriam dirasa benar juga. Miriam mulai bercerita mengenai apa yang dilewatkan Leni Sabtu malam kemarin, cerita-ceritanya untuk sesaat bisa menghibur dari kenyataan bahwa ia harus memutuskan hubungan dengan satu-satunya cowok yang menghampiri.
Seperti biasa mereka berpisah saat jam istirahat habis. Eleni kembali ke kelasnya dan larut dalam lamunan memori akan sarang si laba-laba, terlebih ketika mengingat Romero mandi dan ketika Romero membelai lembut pipinya. Semua lamunan tersebut tanpa sadar menghantarkannya menuju jam terakhir. Leni merapikan semua bukunya dan berjalan keluar dengan malas, ketika berada di parkiran ia melewati Jesika yang sedang dikerubuni anak-anak, wajahnya nampak kesal saat bercerita pada anak-anak.
"Ada masalah freak?" tanya Jesika ketus saat sadar Leni menatapnya.
"Tadi pulpenku di kelas hilang, jadi siapa tahu kamu yang ambil tapi, tidak apa-apa soalnya itu lebih murah dari cukuran ketek." Kemudian Eleni berlalu sambil tersenyum.
Mulut Jesika langsung terbuka lebar. "Itu nggak benar, gue nggak pernah ambil itu cukuran. Benarkan Bri?"
Briana bingung dan diam karena dia sendiri tidak yakin kalau Jesika tidak mengutil, sebab bagaimana mungkin cukuran tersebut bisa ada di kantung cardigan dengan sendirinya.
"Bri!" desak Jesika. "Gue beneran nggak klepto, ada orang lain yang masukin cukuran itu ke kantong," teriaknya pada semua orang disekitaran.
Damian memeluknya. "Its okay Jes, kita semua percaya sama kamu."
Sementara anak-anak lain terlihat bingung sebab, mereka percaya Jesika mengutil cukuran tersebut untuk sekadar bersenang-senang, sayang nasibnya buruk sehingga ketahuan oleh sekuriti. Pelan-pelan anak-anak mulai membubarkan diri menjauhi Jesika dan Damian, termasuk Briana yang pergi menjauh dengan Bobby. Sementara Jesika menangis terisak-isak dalam pelukan Damian, seraya terus berkata. "Bukan aku...bukan aku..bukan aku."
***
Miriam berlari menyeberangi jalan. "Lo liat nggak di parkiran si Jesika nangis?" tanyanya sambil terengah-engah pada Leni.
Kedua bola mata Leni memutar. "Tahu banget, soalnya tadi aku nyinyir sama dia soal cukuran di Carrefour."
"Keren banget Len," puji Miriam sambil mengajak high five.
Eleni langsung membalas high five Miriam dan berkata. "Siapa dulu gurunya."
Miriam langsung pura-pura tersipu malu. "Ah, bisa aja lo."
Ketika pandangan Eleni tertuju pada gerbang sekolah di seberang, ia pun membeku karena di sanalah Romero duduk di atas motornya. Hatinya bergejolak karena petuah Miriam untuk mengacuhkan cowok tersebut akan tetapi, di saat yang sama gairahnya memuncak melihatnya menatap balik dengan tatapan tajam. Beberapa helai rambut depannya terjuntai dan bibir itu memegang erat sebatang rokok yang tidak dinyalakan.
"Jadi itu orangnya?" tanya Miriam menyadari Eleni membeku, pandanganya terpaku ke seberang.
Eleni hanya mengangguk pelan.
Miriam memegang pundak temannya seraya berkata. "Ingat! Bad boy bring nothing good." Kemudian naik angkot meninggalkan Leni, ia sadar bahwa ini adalah tugas yang harus dilakukan sendiri tanpa bantuanya.
Begitu Miriam pergi. Leni langsung berjalan seolah tidak melihat apapun ia tahu tidak akan bisa menolak Romero kalau sudah di depan mata. Tanpa disadari Romero menyusul, membawa motornya dengan pelan di belakang Eleni. Sesekali Romero membuat motornya meraung-raung untuk menarik perhatian.
Langkah Eleni terhenti dan tanpa melihat ke belakang. "Bagaimana kamu tahu aku sekolah di sini?"
"Dari seragam sekolah yang Sabtu lalu kamu pakai."
Eleni menyadari pertanyaan bodohnya dan mulai membuat strategi, ia pun kembali berjalan. "Ada apa ya datang ke sini?"
"Mau ketemu kamu." Jawab Romero sambil mendorong motor dengan kedua kakinya.
"Masalahnya, aku mau tidak ketemu kamu?"
Jidat Romero langsung berkerut. "Memang kenapa kamu nggak mau ketemu aku?"
Eleni kembali berhenti karena sulit baginya mencari-cari alasan sambil berjalan. "Karena kamu bukan orang baik-baik."