Ruang kosong terasa di dada saat terbangun dan Eleni sadar Romero sudah tidak ada lagi dalam pelukannya. Ia bangkit dari kasur lapuk dalam ruang loket yang dijadikan kamar. Sepanjang mata memandang tidak nampak Romero, lalu keluar dan mencari-cari.
Pintu geser terbuka dan Romero terlihat seperti membawa sebuah bungkusan. Ia mengangkat bungkusan. "Sarapan."
Eleni membuka bungkusan tersebut dan mendapati dua buah nasi uduk. "Kamu tidak usah repot-repot, lagian aku sudah hampir telat untuk sekolah."
Kedua tangan Romero melingkari pinggang Leni. "Bagaimana kalau kau menghabiskan hari ini dengaku? Kita akan begal, melempar botol dan melakukan apapun yang kita mau."
"Entahlah Romero. Aku ada ulangan hari ini."
Romero menempelkan keningnya di kening Leni. "Kalau kamu sampai tidak sekolah siapa yang akan marah? Siapa yang akan peduli?"
Leni menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyum karena sadar tidak lagi memiliki kewajiban untuk bersekolah. Sudah tidak ada Abah dalam hidupnya. "Kamu tunggu, aku mau mandi dulu."
Romero mengais-ngais box berisikan pelek motor, dan menemukan sebuah pelek berbentuk cekungan yang bisa dijadikan piring, kemudian ia mengambil dua botol soda dari lemari es, lalu menyeret kotak kayu. Merangkai semuanya seolah-olah itu adalah meja makan, sentuhan terakhirnya adalah sebuah lampu belakang motor yang ditaruh di atas potongan besi dan meletakkannya di antara pelek yang dijadikan piring nasi uduk.
"Ahh, so sweet," kata Eleni sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Romero mempersilahkan Eleni duduk. "Sarapanmu sayang."
Leni melihat lampu motor di tengah meja. "Bukankah ini seharusnya jadi lilin?"
Jari telunjuk Romero terangkat, "tunggu dulu sayang," lalu menarik kabel dari lampu tersebut dan mengaitkannya pada sebuah aki. "Sudah sempurna?" tanyanya saat lampu motor itu menyala redup bagai lilin.
"Sempurna," balas Leni.
Mereka berdua menyantap nasi uduk dengan saling melihat satu sama lain, berkali-kali saling melempar senyum. Tidak ada sepatah kata pun diantara mereka hanya saling melihat dan saling mengerti. Seperti saat di rumah dengan Abah namun, tidak ada kesunyian walaupun tanpa kata. Ketika setiap butir nasi sudah habis, Romero meniup lampu motor seolah itu adalah lilin sungguhan, padahal tangan satunya menarik kabel dari bawah dalam sekali tiupan lampu motor itu mati.
"Sekarang apa?"
"Kita akan cari kebutuhanmu," jawab Romero.
***
Mereka keluar sarang dan menuju Bogor. Romero memilih sebuah minimarket di jalan Djuanda tepat di samping kantor pos, sebelum masuk ia membisikan sesuatu pada Eleni.
"Super satu, sama Lucky Strike ada?" pinta Romero pada penjaga kasir. Sementara ia dan pejaga kasir sibuk mencari merk rokok. Eleni berkeliling minimarket dengan tas jingjing besarnya.
Mata Romero segera menangkap sesuatu yang akan membahayakan Eleni, yakni salah seorang pegawai minimarket kedua yang baru saja masuk membawa stok minuman ringan baru. Saat pegawai yang berada di kasir mendekat memberikan rokok, Romero menarik kerahnya dan mengacungkan sebuah pisau lipat. "Lo suruh temen lo balik ke dalam buat ambil sesuatu atau aku gorok lehermu."
Pegawai itu mengangguk setuju, "Her, ambilin sepack Lucky Strike di gudang," teriaknya.
"Bagus," kata Romero, ia memasukan uang dua puluh ribu ke dalam kantung pegawai tersebut, "ambil kembalianya." lalu berlari ke arah Eleni di bagian rak majalah dan menariknya keluar.
"Nih," kata pegawai kedua sambil memberikan sepack rokok Lucky Strike tapi, pegawai yang berada di kasir diam dan hanya melotot ke arah luar.
***