Dua hari setelah party di Damian.
Jesika mulai mengatur strategi dengan bertingkah sebagai korban, ia bercerita pada siapapun yang mau mendengarkannya bagaimana Eleni mencoba merebut Damian. Betapa terobsesinya Eleni sampai-sampai menghabiskan berlembar-lembar buku hanya untuk menuliskan nama Damian. Jesika juga tidak lupa menambah penyedap, dimana dirinya hampir saja ditabrak motor Eleni, ketika akan melabraknya. Sementara itu hubungan dengan Damian tengah merenggang, Jesika sengaja membatasi komunikasi agar Damian merasa bersalah. Tidak berhenti sampai di situ saja, Jesika pun menghasut anak-anak agar membully Eleni di sosial media.
Berbagai upaya yang dilakukan Jesika untuk membalas, ternyata malam membuat nama Eleni semakin melambung. Semua anak-anak semakin penasaran dengan Eleni, semakin sering Jesika mengungkit nama Eleni, maka semakin tinggi pula namanya di sekolah. Rasa penasaran anak-anak pun semakin menjadi-jadi semenjak Eleni jarang masuk sekolah. Anak-anak bertanya-tanya seperti apa rupa Eleni dulu sebelum menjadi bahan perbincangan.
Jesika yang merasa kebingungan karena, usahanya tidak membuahkan hasil nampak lesu hari ini. Ia hanya memutar-mutar senduknya sambil mengamati meja kantin di dekat toilet yang kosong. "Akhir-akhir ini dia jarang masuknya?"
"Mungkin dia sakit atau ada urusan keluarga."
Jesika menatap Briana. "Gue udah cek di ruang guru dan nggak ada informasi apapun. Absennya murni bolong tanpa pemberitahuan atau izin dan itu nggak normal banget buat orang seperti dia."
Briana sekarang ikut menoleh pada meja di dekat pintu toilet itu, matanya memicing dan berpikir akan segala kemungkinan.
"Gue udah stalking sosial medianya, semua data di ruang administrasi udah di baca," kesal Jesika. "Sampai detik ini nggak ada satupun hal yang terbesit di kepala kenapa dia jadi jarang masuk. Satu-satunya tempat yang belum gue kroscek cuma rumahnya."
"Sekarang giliran lo yang terobsesi sama dia."
Mulut Jesika langsung terbuka lebar, "menurut lo gue terobsesi? Soory Bri, mana ada gue terobsesi sama freaks! Satu-satunya jalan menjatuhkan dia cuma mengerti kenapa dia bisa berubah dan gue harus ngumpulin secuil demi secuil informasi mengenai cewek murahan itu."
"Kenapa nggak lo telpon aja rumahnya sekarang, bilang aja dari guru BP."
"Pinter banget lo," balas Jesika. Kemudian mengeluarkan handphonenya dan kertas foto copy yang sudah dilipat-lipat, yang tidak lain adalah data diri Eleni dari ruang administrasi. Matanya beralih dari kertas ke layar handphone untuk memencet nomor dan suara panggilan pun terdengar. "Halo dengan orang tua Eleni?" tanya Jesika dengan suara yang dibuat sedewasa mungkin.
Dari ujung telepon terdengar suara berat seorang pria. "Iya betul, ini dari mana?"
"Saya guru BP mau tanya apa Eleni ada di rumah? Karena sudah dua hari tidak masuk tanpa kabar." Hampir saja Jesika tertawa, beruntung Briana segera mengingatkannya untuk diam.
Awalnya hanya tidak ada jawaban apapun dari ujung telepon walau, napas berat jelas terdengar oleh Jesika yang kebingungan. "Maaf Bu, Eleni sudah tidak tinggal dengan saya lagi, coba telepon langsung ke nomor dia." Lalu telepon pun diputus.
Jesika menatap Briana dengan raut penuh tanda tanya, "Si Leni ternyata udah nggak tinggal sama orang tuanya lagi."