Jesika tidak tahu mana yang lebih sulit? Menguntit atau menebak kapan Eleni masuk sekolah. Sekarang sudah tiga hari semenjak pertama kali stalking dan ia butuh kehadiran Eleni untuk memperoleh informasi lebih banyak dari pada hanya sekadar sebuah bangunan di daerah Puncak. Pikiran Jesika melanglangbuana sepanjang kelas, mengingat segala sesuatu yang sudah diperolehnya selama ini, sampai suatu ketika ia teringat sesuatu. Cepat-cepat Jesika mencari secarik kertas foto copy dalam tasnya yang berisikan segala macam peralatan make up dan buku. Kertas foto copy dari ruang administrasi itu terselip di kotak bedak, bentukannya sudah tidak lagi karuan dan saat membukanya, tertulis alamat rumah Eleni. Alamat tersebut berbeda dengan yang ia temui di Puncak dan hanya satu cara mengetahui mana alamat rumah yang benar.
Selepas sekolah. Jesika langsung pergi, sengaja tidak mengajak Briana karena ia hanya akan mengeluh sepanjang waktu dan belum tentu pula mau berpura-pura menjadi teman Eleni. Jesika mendapati rumah Eleni di daerah Citeureup, sebuah daerah perkampungan dengan alunan suara masjid sepanjang waktu. Ia merapikan penampilannya di spion tengah dan untuk menambah keyakinan, Jesika sengaja memakai jilbab dan sebelum ia menapakkan kakinya di halaman rumah. Akal sehatnya memberitahu bagaimana jika Eleni benar-benar berada di rumah tersebut? Untuk sesaat Jesika mulai meragukan langkah ini dan terdiam dalam mobil. Ia hanya menatap rumah tersebut, melihatnya dari satu sudut ke sudut lain, sampai ketika matanya melihat pintu rumah. Tepat di bawah pintu rumah berserakan sandal dan sepatu pria saja, tidak ada sepatu sekolah maupun sepatu perempuan. Jesika akhirnya memberanikan diri untuk keluar dan memasuki halaman rumah Eleni.
"Assalamualaikum," sembari mengetuk pintu.
Tidak butuh waktu lama sampai seseorang dengan sarung dan kepala berpeci membuka pintu. "Walaikumsalam. Ada yang bisa dibantu?" tanya pria tersebut.
"Perkenalkan saya Hasannah, teman Eleni," balas Jesika dengan amat santun. "Kebetulan mau tanya apa Eleni ada?" Jesika bisa melihat ada yang salah saat menanyakan Eleni sebab, pria tua tersebut nampak membeku dan tidak tahu harus menjawab apa.
"Silahkan masuk dulu Nak Hasannah."
Jesika masuk dan duduk di kursi dengan tenang sementara matanya mulai bergerak mencari-cari informasi yang terdapat di rumah tersebut.
"Saya Abahnya Eleni," katanya sambil duduk. "Memangnya Eleni tidak sekolah?"
Pandangan Jesika langsung kembali pada Abah, "iya sudah beberapa hari Leni tidak masuk, kalau boleh tahu ada apa ya?"
Abah kembali diam. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi. "Eleni sudah tidak tinggal sama Abah lagi."
"Pindah kemana?"
Dan Abah pun kembali kebingungan, ia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan, "mau minum apa?"
"Oh, nggak usah repot-repot saya hanya sebentar saja cuma mau ketemu Eleni."
Ada jeda yang lumayan panjang di antara mereka. Abah masih saja berusaha mencari-cari alasan yang bisa membuat semuanya nampak normal, sementara Jesika mulai bosan dengan keadaan ini.
"Eleni minggat."
Perkataan Abah tersebut mengejutkan Jesika. "Maksudnya kabur dari rumah gituh?"
Abah mengambil napas panjang dan menghembuskannya seolah ada beban di pundaknya. "Abah dan Eleni sedikit beragumen, imbasnya ia keluar dari rumah."
Sebuah senyum tipis mulai nampak di wajah Jesika. "Kenapa Eleni jadi begitu? Bukanlah dulu dia anak baik-baik."
"Entahlah tapi, ini dimulai saat Leni berteman dengan seseorang. Ia mulai minta berhenti untuk diantar jemput lalu minta keluar malam. Apa Nak Hasannah kenal dengan teman Leni ini?"
Hanya ada satu nama yang terlintas dalam benak Jesika. "Nggak kenal dan setahu saya Eleni tidak punya teman banyak."
"Apa Leni sering cerita sama Nak Hasannah?"