Keesokan harinya di sekolah.
Jesika sengaja mengajak ngobrol Damian di parkiran, ia menceritakan semua rencananya secara detail.
"Itu gila Jes!"
"Setelah apa yang dia lakukan sama aku?"
"Kita urusan sama geng motor dan polisi! Apa kamu sudah hilang akal, cuma buat balas dendam!" geram Damian.
"Yang kita perlukan cuma motornya, terus kita datang ke polisi dan bilang ini motor bodong."
Damian melotot. "Nggak semudah itu Jes!"
"Karena kamu suka sama si Freak kan?"
"Bukan itu," sergah Damian
Jesika menaikan satu alisnya. "Ayolah Dams, butuh berapa ciuman?"
Damian berbalik dan memegang kepalanya. "Aku kira kita sudah lupain hal itu! Dan ciuman kemarin itu cuma...."
"Cuma apa?" potong Jesika, "Cuma napsu sesaat? Cuma khilaf?"
Damian menatap Jesika dengan raut wajah penuh kebingungan. Kedua matanya memicing seolah melemparkan kata-kata tak bersuara pada Jesika. Hening melanda dan keduanya saling menunggu untuk memulai. Jesika dengan arogan menanti pembelaan sementara, Damian tidak mampu mengeluarkan semua yang ada di kepalanya. Pada akhirnya Damin memutuskan masuk kelas, meninggalkan Jesika diparkiran.
"Pilih dia atau aku!" teriak Jesika.
Damian tidak mengindahkan ancaman Jesika dan terus berjalan dan tiba-tiba saja Bobby menghampirinya dan merangkul.
"Tadi apaan?"
"Lo pasti udah tahu dari Briana," balas Damian dengan nada malas.
"Oh, tentang itu kalau menurut gua sih mending kita ikutin aja."
Seketika Damian berhenti dan menatap dengan wajah sedikit kesal. "Yang bener aja Bob!"
Bobby langsung menarik Damian ke salah satu sudut. "Damian dengerin gua! Tahukan gimana Jesika? Dia nggak bakal berhenti sampai dapetin apa yang dimau dan itu artinya kalau dia nggak bisa dapetin kita, buat nolongin usaha balas dendamnya. Jesika bakal rekrut orang lain yang kita nggak tahu."
"Bukannya itu jauh lebih baik dari melibat diri untuk urusan anak kecil seperti ini?"
"Lo nggak ngerti Dam! Gimana kalau Jesika sampai rekrut preman buat nolongin dia? Urusannya bakal jauh lebih gede tapi, kalau kita setuju buat bantuin dia. Kita bisa pastiin rencana mereka nggak kemana-mana, gua bisa jagain Briana dari hal-hal yang nggak diinginkan." Bobby menatap Damian dalam-dalam untuk menanti persetujuannya, "gua tahu lo jadian sama Jesika Cuma buat status tapi, gua benar-benar sayang sama Briana. Sebagai teman, gua minta bantuan lo banget."
Damian berusaha meloloskan diri dari tatapan mengiba Bobby dengan mengalihkan pandangan menuju langit-langit. Akan tetapi Bobby tidak bergeming dari hadapannya, membuat dirinya merasa amat salah tingkah. "Ingat! Kita cuma perlu dapetin motornya terus kasih ke polisi, gua nggak mau lebih dari itu."
Bobby memeluk Damian. "Thanks bro."
Damian tersenyum dan memberikan sebuah tinju ke dada Bobby, kali ini ia yang merangkul Bobby dan menyeretnya ke dalam kelas.
Semua anak sudah di bangkunya masing-masing dan mereka terlihat amat bosan, beberapa anak langsung mengeluarkan handphone, begitupun Damian. Ia terlihat berpikir sebentar sebelum menuliskan sesuatu di whatsapp dan mengirimkannya.
Jesika langsung tersenyum saat membaca pesan whatsapp dari Damian, ia menoleh pada Briana. "Damian setuju," serunya lalu melihat ke depan, tepat ke bangku Eleni dan bergumam "sudah saatnya lo jatuh freak!"
Tiba-tiba Pak Hebert datang dan membuat semua anak langsung mengeluarkan buku tugas mereka, pandangan Pak Hebert langsung tertuju pada Eleni. "Tumben kamu masuk?"
"Iya Pak..he..he..he," jawaban Eleni membuat seisi kelas memperhatikannya.
"Coba kamu tulis tugas kemarin di papan tulis," perintah Pak Hebert.
Pelan-pelan mulai terdengar suara tawa anak-anak karena, mereka tahu Eleni sudah pasti tidak mengerjakan tugas. Tanpa memperdulikan mereka semua Leni maju ke depan, ia menyalin soal dari buku tugas dan mulai menguraikan semua jawaban hanya dalam beberapa detik lalu, dengan santai kembali ke bangkunya. Semua anak-anak yang tadi menertawakannya lupa bahwa, Eleni adalah murid terbaik di sekolah ini, melepaskan jilbabnya bukan berarti juga melepaskan otak.
"Senang mengetahui masih ada Eleni lama yang tersisa."
Kata-kata Pak Hebert itu membuat Leni kesal, ia amat membenci dirinya yang terdahulu. Tidak ada yang lebih baik dari pada Eleni sekarang, mendengar hal tersebut di hadapan semua anak-anak membuat dirinya geram. "Tidak Pak Hebert, Leni yang lama sudah mati."
Sontak semua anak-anak langsung ribut dan saling melihat, melemparkan pertanyaan 'tadi dengar itu?' dalam pandangan mereka. Sementara Pak Hebert membeku di depan kelas, ia berusaha terlihat untuk mampu menguasai keadaan namun, keahliannya hanya sebatas pelajaran Matematika bukan masalah perilaku remaja.
"Bapak rasa kamu tahu dimana ruang BP."
Leni tersenyum mendengarnya, ia bangkit dan pergi keluar kelas dengan riang seolah perintah Pak Hebert adalah sebuah hadiah.
Pak Hebert memukul papan tulis dengan tangannya untuk mendapatkan perhatian semua murid. "Sudah! Sekarang kamu ke depan, jabarkan soal berikutnya," tunjuknya pada seorang murid lelaki di jajaran paling belakang.
Kelas 12-A tidak mampu memusatkan pikirannya pada pelajaran Pak Hebert dan pelajaran lainnya, mereka sibuk bergosip dan saling membalas di group whatsapp masing-masing. Berita mengenai kelakuan Eleni menyebar dan menjadi trending topik. Saat bel istirahat tiba, semua anak-anak kelas 12-A menjadi incaran anak-anak lain yang mencoba mencari kebenaran berita mengenai Eleni.