BRUUUK...suara tas yang di lempar Eleni ke sebuah kardus kosong, sukses mengambil perhatian Romero yang kala itu sedang sibuk mengganti oli motornya. "Hari yang menyebalkan di sekolah sayang?"
Eleni menjatuh dirinya di sebuah sofa reyot yang busanya sudah tidak bisa lagi menahan berat tubuh. "Begitulah."
Romero mendatangi Eleni dan berjongkok di depannya, mengusap kedua tanganya pada lap di pundaknya dan melemparkan lap kotor penuh oli itu ke belakang. Ia memegang kedua lutut Eleni dan menggosoknya dengan lembut. "Ceritakan apa yang terjadi?"
"Pak Hebert bikin kesal di kelas dan membuat aku berakhir di ruang BP seharian," keluh Eleni sambil menggosok kedua matanya.
Romero mengecup lutut kiri Leni. "Bagaimana kalau kita beri orang tua itu sebuah pelajaran?"
Leni memicingkan kedua matanya pada Romero. "Dia guru matematika, kecuali kamu lebih pintar dari dia baru bisa beri dia pelajaran."
Romero bangkit dan kedua tanganya naik dari lutut menuju pinggang Eleni. Ia menatap sambil tersenyum tipis. "Kamu sungguh lucu tapi, bukan itu maksudku."
Jemari Eleni membelai lembut pipi Romeo. "Jadi apa maksudmu sebenarnya?"
Romero mendekatkan wajahnya. "Bagaimana kalau kita bakar rumahnya?"
Seketika wajah Eleni beku. "Aku rasa kita butuh sesuatu yang lebih mengasikan dari pada membakar rumah seorang guru matematika."
Romero tertawa, "ha..ha..ha..ha...Eleniku, kita hanya akan melempari rumahnya dengan molotov dan aku pikir itu lumayan mengasikan bukan?"
"Janji kalau kita cuma pakai molotov."
Romero mencium Eleni. "Aku janji kita akan cuma pakai molotov sayang."
"Kalau begitu aku mau ganti baju dan mandi dahulu dan kamu siapkan bomnya."
Romero berdiri dan mempersilahkan Eleni untuk mandi sementara, ia mengambil sebuah botol soda kosong lalu mengisinya dengan bensin dan memasukan potongan kain dari baju tak terpakai. Ia memutar-mutar botol itu sebentar, menatap pusaran bensin yang dibuatnya dan memasukan botol itu dalam kantung jaketnya.
Tidak lama Eleni sudah bersiap dengan jeans dan kaus berwarna hitam, rambut masih terlihat basah, namun ia tidak peduli dan langsung naik motor. Mereka berdua melesat dari sarang dan melaju kencang melalui jalanan yang sudah mulai gelap.
***
"Kamu yakin ini rumahnya?" tanya Romero
Eleni mengangguk.
Romero menurunkan standar dan turun dari motor sementara Eleni hanya duduk dan melihat apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya. Romero mengeluarkan korek dari kantung belakang dan mengambil sebatang rokok yang diselipkan di kuping kanannya. Ia mematik korek tersebut lalu menyalakan rokok, membuang asapnya ke atas. Berbalik dan menunjuk Eleni, memberinya sinyal agar jangan berkedip. Dikeluarkannya botol dari saku jaketnya lalu membakar sumbunya, Romero mempersembahkan botol dengan sumbu kain terbakar tersebut pada Eleni dengan mengacungkannya tinggi-tinggi lalu, melemparnya melewati pagar dan mengenai pintu rumah. Botol itu pecah dan menyebarkan api yang menari-nari pada bagian tengah pintu rumah.
"Lihat Eleni, ini untukmu," teriaknya sambil berbalik. "Terbakarlah kau di neraka Hebert karena telah membuat kesal pacarku."
Leni melihat dari atas motor, api itu membesar dan mulai merambat ke atap rumah. Perasaan takut menyeruak dengan cepat namun, bukan karena api yang tengah membakar rumah guru matematikanya, melainkan melihat Romero yang berjingkrak kegirangan. Ia tahu seberapa besar Romero mencintainya tapi, ia juga sadar bahwa dirinya tidak mampu mengendalikan lelaki di hadapannya.
"Romero!" panggil Eleni yang panik karena beberapa tetangga mulai keluar rumah.
Dengan cepat Romero berlari dan loncat ke motor, dalam hitungan detik mereka melarikan diri dari perumahan itu, di belakang orang-orang mulai mengerumuni rumah yang tengah dilahap api.
***