Berdiri di pinggir jalan sambil menatap handphone, sebuah nama yang amat sangat familiar tertera di layar. Jarinya tidak bergerak dari nama tersebut, sebuah nama yang dibencinya namun kini dirindu karena tidak ada tempat untuk dituju.
Haruskah aku kembali, Abah? pikir Eleni Lalu menekan tombol home dan menatap gerbang sekolah. Pikirannya langsung teringat dia, cepat-cepat mencari nomornya dan mengirimkan whatsapp. Yang bisa dilakukannya kini hanya menunggu sampai sekolah selesai. Duduk di pembatas trotoar bagai pengemis yang sedang mengais rejeki, pandanganya menerawang jauh ke ujung jalan. Entah mengapa hari ini begitu sepi, biasanya banyak pedagang yang mangkal di luar gerbang. Getaran handphonenya mengalihkan perhatian dan sebuah whatsapps muncul.
"Ok," balasan dari Damian yang singkat dan tak sesuai harapan, jelas bukan pesan yang mampu berkembang jadi perbincangan yang menarik.
Sekali lagi pandangan Eleni menerawang, kali ini ia memperhatikan setiap sudut jalan mencoba mencari sesuatu menarik untuk diperhatikan. Untuk pertama kalinya ia tidak tahu harus berbuat apa dan harus kemana? Menghabiskan setengah jam sendiri di pinggir jalan seorang diri hingga suara bel terdengar.
Gerbang terbuka lalu anak-anak berhamburan dan mobil sedan itu keluar menghampirinya. "Masuk Len," ajak damian.
Leni membuka pintu dan duduk manis. "Terima kasih."
"Jadi tempatnya dimana?"
"Kalau mau kita bisa kemana dulu, baru ke tempat aku buat lihat motornya," kata Leni tanpa memandangnya.
"Ok lah kalau begitu, ada saran kita harus kemana dulu?"
Leni menoleh, "bawa aku kemana pun Damian."
Sebelah alis Damian terangkat lalu mengangguk dan menginjak pedal gas. Ia mengerti apa yang dimau Eleni dari raut wajahnya.
Leni mencoba untuk tidak memperhatikan Damian tetapi, godaan tersebut begitu besar sampai ia beberapa kali mencoba mencuri pandangan.
Damian mencoba memecah keheningan dengan menyalakan radio, sebuah lagu cinta mengalun dan menambah kikuk suasana.
"Apa kita akan ke sebuah mall atau cafe?" tanya Eleni.
"Emang apa yang bikin lo mikir begitu?" balas Damian.
"Entahlah, mungkin karena Damin yang terkenal pasti akan pergi ke tempat terkenal juga."
Kepala Damian menggeleng, sebuah senyum tipis nampak. "Kita sama sekali nggak akan ke tempat buat begaul."
Sekali lagi Eleni menegaskan. "Jadi kita akan kemana?"
"Bukannya tadi lo bilang terserah," ujar Damian.
Leni langsung diam dan menunduk dan Damian pun mengeraskan volume radio.
Eleni memandangnya, mencoba membaca situasi. Ia tahu bukan tipikal yang mampu membuat suasana ceria dan menyenangkan. Tidak seperti cewek-cewek lain yang mampu mengisi ruang dengan cerita mengenai hal-hal tipikal. Matanya sekarang tertuju pada dashboard, atau lebih tepatnya speedometer. "Kau tahu kalau jalan dengan kecepatan seperti ini, kemungkinan besar kita akan tiba dalam satu jam."
"Gimana lo bisa yakin?"
"Mudah kok, pakai rumus fisika kinematika," jelas Eleni.
Damian menoleh dan melemparkan raut heran, pertanda ia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Eleni.
"V sama dengan S dibagi T," sahut Leni.
"Gua lupa kalau lo adalah murid paling pinter satu sekolah," timpal Damian dengan senyum. "Tapi ada yang janggal? Lo kan nggak tahu kita mau kemana? So, gimana nentuin S?"
"Kamu bilang kita tidak akan ke mall atau cafe dan itu artinya tidak akan pergi ke tengah kota bukan?"
Damian tersenyum, "boleh juga."
"Ayolah Damian," balas Leni. "Ini Bogor, ada berapa tempat nongkrong di sini sih?"
Mata Damian menatap Eleni sebentar lalu kembali melihat lurus ke jalan. "Lo nggak bakal bisa nebak tempat apa yang bakal kita datengin."
"Apa itu sebuah tantangan?" tanya Leni
Damian menganggukan kepalanya.
"Kalau begitu beri aku tiga petunjuk."
Damian menurunkan kecepatan mobil. "Dua petunjuk, gua udah kasih yang pertama bukan."
"Bengkel mobil."
Damian langsung tertawa. "Salah dan itu satu kesempatan hilang."
Leni menyilangkan kedua lengannya, kemudian memutar otak dan memori mengenai Damian. Semua yang diketahui mengenai kapten baseball sekolahnya timbul namun, semua hal yang memberi petunjuk mengenai kemungkinan tempat yang Damian tuju tidak berlaku lagi sebab, mereka jelas tidak lagi berada di tengah kota. Ia mulai mencari petunjuk di dalam mobil, kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati berbagai tumpukan baju serta sepatu. Kemudian Leni melihat sesuatu yang menarik di bawah jok belakang, tumpukan handuk bersih.
"Kita akan pergi ke tempat dimana kamu akan basah?"
Senyum tipis muncul di sisi kiri bibir Damian. "Betul."
"Tadinya aku mau menjawab kolam renang tapi, secara logika kamu tidak akan mengajak seorang cewek ke kolam renang."
Damian mengalihkan perhatiannya dari jalanan ke Eleni, ia berusaha menahan senyum.
"Kamu butuh lebih dari pada kolam renang untuk mengesankan seorang cewek, sekarang yang ada di kepalaku adalah sebuah pantai tapi itu jelas tidak mungkin."
"Kalau begitu tebakannya apa Len?"
"Kita akan ke sebuah danau karena kamu terlalu gengsi untuk ke Ciliwung."