"Thanks banget Dam, udah mau ngelakuin ini."
Damian meninju bahu kiri Bobby. "Anything bro," balasnya dengan senyum, "lo siap?"
Bobby mengangguk, kemudian memutar kunci mobil. "Jadi kita ke arah Tajur?"
"Iya, lurus saja sampai mau ke Puncak."
"Jauh juga rumah dia."
"Gua nggak yakin itu rumah dia, soalnya kemarin malam nggak kelihatan jelas."
Bobby menoleh, "jadi kemarin itu lo cuma anterin dia aja?" herannya.
Damian membalas tatapan Bobby. "Emang lo ngarep apaan?"
"Wah, rada aneh kalau Damian nggak memanfaatkan keadaan, apa lagi sama cewek cantik."
Damian membuka jendela dan melihat ke luar, ia membiarkan angin membuyarkan rambutnya. " Gua nggak mau manfaatin dia," katanya datar.
"Serius?"
"Yep!"
Bobby menggelengkan kepalanya saat mendengar itu. "Lo nggak ada felling-kan sama dia?"
Damian diam sejenak lalu menggigit telunjuknya, sambil mengamati ke luar jendela. "Lo inget kalau setelah ini kita bakal menghancurkan masa depan dia?"
"Tenang Dams, dia nggak bakal kenapa-napa. Kita semua sudah setuju kalau peran dia hanya pacar yang dimanfaatkan."
"Yakin?"
"Palingan dia cuma dijadikan saksi saja," balas Bobby, kemudian menatap sahabatnya. "Yang penjahat itu pacarnya, bukan dia."
Mobil mereka berhenti di lampu merah persimpangan Cisarua. Bobby fokus pada lampu merah.
Sementara Damian terus melihat ke luar jendela. Pandangannya beralih pada kaca spion, menatap dirinya dengan rambut berantakan tertiup angin. "Bob, menurut lo kenapa si Leni bisa jadian sama cowok kaya gituh?"
"Seperti yang gua tadi bilang, dia cuma dimanfaatin aja. Kita tahu seperti apa dia sebelum jadian sama cowok itu," jelas Bobby dengan mata fokus ke lampu merah.
Damian langsung berbalik, "maksud lo?"
Pertanyaan Damian membuat Bobby mengalihkan perhatian dari lampu merah. "Pas dia masih cupu-cupunya, apa lo pernah sedikit pun tertarik sama dia?"
Damian berpikir sebentar dan ketika ia membuka mulut.
"Pastinya nggak!" potong Bobby. "Dan jreng-jreng cowok ini suka sama dia, kalau bukan buat dimanfaatin, ngapain juga jadian sama cewek cupu berjilbab?"
Lampu lalu lintas berubah dari merah ke kuning dan dalam sekejap menjadi hijau.
"Belok kiri," tunjuk Damian. "Mungkin cowoknya bisa lihat apa yang gua nggak bisa lihat."
Bobby membanting stir ke kiri, sesuai dengan petunjuk Damian. "Contohnya?"
"I dont know....tapi dia jadi cantik dan seksi setelah jadian bukan?"
"Well.....siapapun cowok itu, dia punya indera keenam buat bisa nentuin cewek mana aja yang bisa dimake over."
"Gua jadi penasaran banget sama cowoknya."
"Kenapa? Mau lihat saingan lo kaya gimana?"
Damian melempar pandangan malas, "please Bob! Gue cuma mau tahu aja cowok bisa merubah cewek cupu jadi hot itu, kaya gimana?"
Bobby memutar kedua matanya, "ayolah Damian! Nggak ada yang bisa kalahin lo. Kapten tim baseball, pitcher terbaik antar sekolah seJawa Barat, diajakin masuk tim nasional, dan apa gua lupa bilang ada tawaran beasiswa buat atlet berprestasi?"
"Tapi itu semua nggak bisa bikin cewek sampai rela buka jilbab."
"Serius Damian?" sekarang giliran Bobby yang memberikan pandangan malas. "Masa mau membandingkan diri lo, sama seorang cowok yang konon anggota geng motor dan seorang penjahat."
Damian tidak menjawab, ia kembali melihat ke luar jendela. Bobby menggelengkan kepalanya, mendengar kata-kata sahabatnya tersebut.
Mereka terus berkendara sampai pada pertengahan Cisarua, ketika Damian memberikan petunjuk untuk belok dan masuk ke dalam sebuah jalan. Mobil mereka berhenti di depan sebuah gerbang besi.
Bobby menatap Damian. "Beneran si Leni tinggal di sini?"
Tapi Damian tidak membalas, ia keluar mobil dan mencari-cari bel. Saat tidak menemukan bel maupun alat lain untuk memanggil siapapun yang berada di dalam, ia membuka sebuah celah yang biasa untuk memasukan paket maupun surat-surat. "Eleni!" teriaknya.
***
"Lalat-lalat itu sudah datang."
"Aku tahu," balas Eleni. "Seperti yang sudah aku bilang..."