"Ini biar adem dikit." Briana menyodorkan sebuah teh botol dingin.
Jesika menerima dan langsung menyedot hingga setengah habis lalu pelan-pelan berkata, "apa mereka masih ngeliatin gue?"
Briana melirik ke sekeliling kantin. "Damian keluar kelas ngejar dia dan tentu saja semua anak bakal ngomongin itu."
Semburat urat timbul di sekeliling telapak tangan Jesika saat, ia mengenggam teh botol sekuat tenaga, sementara wajahnya berusaha untuk terlihat datar.
"Tenang Jes, ini bukan waktu yang tepat untuk marah."
"Gue nggak marah," dengan nada nyolot.
"Kalau begitu biar gua amankan ini." Briana mengambil teh botol Jesika dan menaruhnya di sisi meja.
"Gimana caranya Damian bisa kepincut sama si Freak?"
"Hemmm...namanya juga cowok, ada yang bagusan dikit, belok dah."
Jesika semakin panas mendengarnya."Gue nggak sabar buat kasih pelajaran buat itu freak!"
Briana mendekat, menempelkan bahu agar bisa berbisik. "Jadi udah ada rencana kapan mau ke polisi?"
"Secepatnya!" sambil menunjukan handphone.
"Tapi Jes, itu rekening Damian."
"Gue tahu dan gue bakal bilang kalau motor itu dibelikan oleh mantan pacar."
Briana mengangguk. "Oh begitu, terus alasan Damian mau beli motor curian apa?"
"Damian hanya remaja naif yang terpaksa membeli motor murah demi pacarnya. Gue udeh mikirin semua skenario waktu di dalam kelas."
Briana memegang bahu Jesika. "Lo yakin Damian nggak bakal keseret?"
Jesika melirik. "Bri! Polisi pasti seneng karena gue udah kasih kasus yang gampang dan dilirik banyak media."
Satu alis Briana terangkat. "Dilirik banyak media?"
Sebuah senyuman muncul di wajah Jesika. "Gue minta bokap, buat hubungin relasinya di media."
Briana membalas senyuman Jesika. "Pinter lo."
"I know that," balas Jesika sambil menatap meja di dekat toilet, tempat dimana Eleni biasa makan siang. "Jadi lo mau ikut?"
"Kemana?"
"Seperti yang gue bilang sebelumnya, secepatnya ke polisi."
"Waduh, nggak bisa abis pulang sekolah?"
Kedua mata Jesika menyipit. "Revenge can't wait." Lalu bangkit dan meninggalkan meja.
Briana terburu-buru membayar semua makan siang dan teh botol, lalu mengejar Jesika.
***
Dengan bantuan pembantu rumah, Jesika membawa motor curian itu ke kantor polsek Bogor. Ia melaksanakan semua skenario, berakting seperti orang yang merasa dirugikan sekaligus ingin membantu pihak kepolisian dengan melaporkan barang curian sementara, Briana yang menemaninya turut memasang wajah prihatin.
Pihak polsek tentu saja merasa amat terbantu dengan pelaporan barang curian, bagi mereka apapun alasan Jesika membeli motor tersebut, ini mengurangi beban kerja. Pihak polres membuatkan berkas dan berjanji akan segera menghubungi Jesika setelah melakukan pengecekan terhadap barang bukti. Sedikit yang polisi ketahui, jika motor yang dihantarkan oleh Jesika akan membawa pada kejahatan yang selama ini jadi misteri di kota ini.
Setelah dari polsek Jesika menyambangi kantor Tribun Bogor, ia sudah memiliki janji dengan salah satu relasi ayahnya dan lagi-lagi Jesika mengeluarkan kemampuan aktingnya. Sang relasi membantu dengan memberikan salah satu reporter untuk meliput kasus ini.
"Sekarang apa lagi?" tanya Briana setekah menutup pintu mobil.
Jesika memakai kacamata hitamnya dan mengecek penampilan di spion, sebelum menoleh pada Briana dan berkata. "We just wait and see."
Briana mengangguk. "Ok, by the way.."
"Ada apa lagi?" potong Jesika yang curiga Briana akan menanyakan sebuah hal yang menyangkut skenarionya hari ini.