"Lo yakin polisi bilang begitu?"
Bobby mengangguk. "Iya, Briana bilang itu waktu kita whatsappan semalam."
Damian mengalihkan pandangan pada anak-anak yang baru saja datang dan melewati gerbang sekolah. "Siapa saja yang tahu ini?"
Bobby mengangkat jarinya, "Lo, gua, Briana dan Jesika."
Damian kembali menatap Bobby.
"Relaks Dams, Briana bilang kita nggak bakal keseret dan Jesika sudah pasti pakai pengacara dari bokapnya."
"Bukan gua yang harus dikhawatirkan."
Bobby memicingkan mata, "siapa?"
Damian kembali mengalihkan pandangan.
"Yang benar saja Damian?"
"Kenapa begitu?" kali ini raut wajah Damian jadi serius.
Bobby menelan ludah. "Maksud gua, ini bukan urusan lo. Apa hubunganya lo sama dia?"
"Kita menjebaknya Bob!"
"Dia jual motor curian! Cuma masalah waktu saja sampai ada orang yang tahu dan dia tertangkap."
"Eleni nggak bersalah!"
Sontak Bobby kaget, seolah baru saja mendengar petir menggelegar. "Demi Tuhan! Kenapa lo jadi nggak rasional begini?"
Damian diam, hanya sebuah tatapan kosong yang ia berikan pada Bobby.
Bobby sudah menjadi teman Damian semenjak pertama kali masuk, menemaninya melalui berbagai latihan dan pertandingan baseball. Ia kenal betul dengan tatapan kosong yang dilihat hari ini sebab, terkahir kali melihat tatapan kosong tersebut saat tim baseball mereka kalah di pertandingan tingkat provinsi. Damian memberikan tatapan kosong pada tim lawan yang mengangkat piala, sebuah tatapan yang mengindikasikan betapa ingin sekaligus kecewa.
"Harusnya gua tahu." Kata Bobby pelan. "Lo suka dia tapi lo nggak bisa dapetin dia."
Damian menggeleng. "Gua udah nyerah buat dapetin dia tapi, gua nggak bakal nyerah buat selamatkan dia."
Bobby memegang kuat bahu Damian, "bangun bro! Lo nggak bisa menyelamatkan Eleni, ingat dia punya pacar anak geng motor!"
"Itu alasan yang payah supaya gua cuma diam dan lihat dia terpuruk."
"Sial Dams! Kenapa sih lo harus selalu jadi anak baik?"
Damian menepis tangan Bobby dan mundur. "Whatsapp gua secepatnya kalau ada update dari Briana," katanya sambil berlari pergi.
"Lo nggak bisa selamatkan dia, Damian!" teriak Bobby namun, sahabatnya terus saja berlari.
Damian bergegas masuk kelas dan mendapati meja Eleni masih kosong, ia kembali keluar dan mencari tempat sepi untuk menelpon. Hasilnya nihil tidak ada suara dari ujung telepon, Eleni tidak mengangkat.
"Eleni. lo dimana?" kemudian menekan tombol sent.
Kedua bola mata memperhatikan tanda centang untuk berubah jadi biru, setelah beberapa lama tanda centang itu tidak berubah sama sekali. "Sial!" kesalnya.
***
"Wow, dia pantang pantang menyerah," kata Miriam ketika melihat handphone Eleni.
"Aku tak tahu harus bagaimana, Mir?"
Miriam merebut handphone.
"Jangan Mir!" desak Leni sambil berupaya merebut kembali handphonenya.
Secepat kilat Miriam, memutar tanganya ke belakang. "Tenang Len, biar gua urus ini."
"Tapi..."