"Astaga Romero! Apa yang kau lakukan?" tanya Leni saat kembali dan mendapati Romero berdiri dengan kaus berlumuran darah.
"Eleni! Bukankah kau seharusnya mencari bir?" jawab Romero dengan gugup.
Leni mendekat dan memperhatikan kaus yang basah oleh percikan darah."Aku tahu ada yang salah saat kamu memaksaku mencari bir."
Romero segera memegang bahu Eleni. "Biar aku jelaskan ini semua sayang."
Sementara itu Damian tertegun menyaksikan Eleni berbicara sendiri dengan dua suara. Begitu ia mendengar suara yang dikenalnya. "Eleni! Aku datang untuk menjemputmu," teriaknya.
Eleni langsung merespon. "Damian!" jawabnya lalu berlari menuju Damian. "Apa yang dia perbuat padamu."
"Ikut gua, keluar dari sini, Eleni."
Tiba-tiba Eleni mendorong tubuhnya sendiri ke lantai.
"Lepaskan aku Romero!" pinta Leni sambil meronta-ronta, seakan ada yang menahannya.
Kemudian suaranya berubah menjadi besar dan kasar."Jangan dengarkan! Dia berusaha mempengaruhimu, mereka memperdayamu bahkan melaporkanmu pada polisi sayang."
"Aku tahu itu Romero."
Jadi selama ini kamu berusaha menipuku, setelah semua yang aku lakukan?"
Eleni menitikan air mata. "Tidak Romero, aku sama sekali tidak pernah berusaha untuk menipumu. Aku hanya ingin lepas darimu."
Air mata Eleni terhenti dan matanya jadi melotot. "Bagaimana dengan kau, aku versus dunia, bagaimana dengan semua rencana kita?"
Suara Eleni kembali normal saat berkata. "Kau membebaskanku dari semua belenggu, namun, di saat yang sama kamu mengubahku menjadi seseorang yang tidak terkontrol. Aku takut lepas kendali dan terbakar bersama duniamu dan Damian datang dan menawarkan diri untuk menyelamatkanku."
Lalu suaranya jadi berat saat berkata. "Begitu teganya kau Eleni, melepaskanku hanya demi seorang abg bau kencur."
Mata yang dipenuhi rasa kekecewaan, mendadak menitikan air mata. "Maafkan aku Romero, maafkan aku yang tak bisa menjadi kuat sepertimu, maafkan aku yang kembali menjadi Eleni yang lalu, maafkan aku yang..."
Sebuah knalpot menghantam kepala bagian belakang, dalam sekejap tubuh Eleni rubuh ke lantai. Dengan napas terengah-engah, Jesika menatap tubuh di lantai tersebut. Ia menjatuh knalpot lalu dengan terseok-seok, mendekati Damian dan berusaha membebaskanya.
"Kenapa lo.."
"Gue berusaha menyelamatkan kita berdua," potong Jesika.
"Lo nggak tahu apa yang barusan lo lakukan Jes."
Jesika berhenti dari usahanya membebaskan Damian dan menatapnya dalam-dalam. "Bahkan setelah semua ini lo masih saja membela si Freak."
"Bukan begitu Jes tapi, lihat dia."
Jesika menoleh ke lantai dan tubuh yang baru saja dihantamkan knalpot olehnya masih bernapas. Ia menatap balik pada Damian dengan penuh ketakutan. "Apa yang harus gue lakukan?"
"Cepat cari sesuatu di tumpukan kardus sana buat motong rantai motor ini."
Tanpa pikir panjang Jesika langsung menyeret dirinya ke tumpukan kardus. Ia menjatuhkan semua kardus-kardus dan mengamati sebuah benda yang tercecer ke lantai, matanya fokus pada sebuah palu.
"Tahan Damian," perintah Jesika sesaat sebelum ia menghantamkan palu pada rantai motor yang mengikat tangan Damian. Perlu beberapa kali hantaman sampai rantai motor terlepas dan jatuh berhamburan
Sementara Damian mengerang kesakitan lalu bangkit dan membopong Jesika pergi. Mereka kembali menyusuri lorong yang terbuat dari tumpukan kardus, berusaha secepat mungkin menuju pintu keluar. Sebelum usaha mereka berhasil, lampu padam dan suasana menjadi gelap gulita. Damian menjulurkan tanganya meraba-raba sekitar sementara, Jesika menutup mulutnya dengan tangan, menahan rasa sakit akibat menyeret kakinya.
"LIHAT APA YANG TELAH KAU PERBUAT BOCAH SIALAN! KAU MELUKAI ELENIKU!"
"Damian," panggil Jesika dengan ketakutan.
"Tenang Jes, kita pasti keluar dari sini."
"Bagaimana jika kalau kita lawan dia? Dua banding satu."
"Nggak bisa Jes," bisik Damian.
"Kenapa?"
"Dengarkan baik-baik Jes, dari semejak dia nggak mau dipanggil Eleni, gua sudah curiga. Suara berat dan tingkahnya, yang kita hadapi bukan Eleni tapi pacarnya bernama Romero. Makanya tadi mengikuti kemauannya sebab, gua berusaha buat mancing Eleni muncul."
Jesika mencengkram pundak Damian. "Dasar freak!" geramnya.
"Gua nggak tahu apa yang terjadi sama Eleni tapi, ketika ia jadi Romero semuanya berubah, suara, tingkah dan kekuatanya bukan lagi seorang cewek. Jadi sekarang dia lebih unggul dari pada kita."
"Tapi gue baru saja..."
"Lo nggak ngerti!" potong Damian. "Eleni, satu-satunya harapan kita untuk lolos dari sini terbujur kaku di lantai."
Jesika berpikir sejenak, mencoba mengalihkan pikiran dari nyeri dan rasa takutnya. Ia bisa merasakan napas memburu Damian di keningnya, setiap hembusan napas itu melempar kekhawatiran tersembunyi. Jesika tahu kalau Damian sama takutnya dengan dirinya.
"Kenapa dia bisa sesakit ini?" tanya Jesika pelan.
"Gua nggak tahu Jes, terkadang orang yang kelihatan lemah, memendam kekuatan tersembunyi."
"Damian."