Romero dan Eleni

waliyadi
Chapter #37

Bab 32

Mata IPDA Tommy memperhatikan setiap tulisan kaligrafi yang terdapat di tembok, ia sama sekali tidak heran kenapa rumah ini tidak ada satupun foto Eleni maupun ibunya. Kemudian Abah muncul sambil membawa segelas air teh tawar. "Terima kasih, sebetulnya tidak perlu repot. Saya ke sini hanya untuk memastikan laporan yang tadi saya berikan betul adaanya?"

Abah memperhatikan kertas yang berada di atas meja, laporan yang menyebutkan Leni memiliki masalah psikologi karena pola asuh yang salah dan ia sudah berusaha untuk mengalihkan ini dengan menawarkan minuman. "Begini Pak, saya kurang mengerti dengan yang tertulis di laporan karena, bagi saya Eleni adalah anak yang normal hanya saja dia terpengaruh oleh seseorang."

"Kalau begitu kenapa Bapak tidak repot mencari Eleni saat dia pergi dari rumah?"

"Saya sudah menelponya berkali-kali tapi, tidak pernah diangkat," tegas Abah.

IPDA Tommy merasa tidak puas dengan jawaban itu. "Anak satu-satunya minggat dan usaha Bapak cuma nelpon dia saja? Tidak datang ke sekolah atau mencari tahu keberadaan Eleni selama ini dimana?"

Abah langsung terlihat gelisah. "Saya pikir Eleni pasti akan pulang dengan sendirinya suatu saat nanti, ini cuma problematika remaja saja."

"Atau Bapak berpikir Eleni tidak cukup berharga untuk bersusah payah dibawa pulang hanya karena dia seorang anak perempuan?"

Lidah Abah langsung kelu, ia serasa seperti dilempar setumpukan kotoran ke wajahnya sendiri sebab, apa yang dikatakan polisi muda di hadapanya adalah benar. Otaknya berusaha untuk mencari alasan yang logis sehingga, ia tidak akan terlihat bersalah. "Astagfirullah! Saya tidak berusaha keras mencari bukan berarti tidak sayang dengan anak. Saya membesarkan Eleni sendirian sedari kecil semenjak Uminya meninggal."

IPDA Tommy langsung menggelengkan kepalanya saat mendengarkan pembelaan Abah. "Saking cintanya sampai saat ini belum pernah menjenguk Eleni di kepolisian." Ia tahu tidak ada gunanya mengumpulkan informasi dari Abah yang selalu berusaha terlihat sebagai korban dari kasus Leni lalu merapikan berkas-berkas yang tadi dibaca Abah dan memasukan ke dalam tas. "Boleh saya lihat kamar Eleni?"

"Silahkan," sembari menunjuk ke atas.

Untuk ukuran kamar seorang anak perempuan memang terlalu standar karena, tidak ada apapun yang menunjukan kalau kamar ini dihuni anak perempuan kecuali sepasang sajadah dan mukena. IPDA Tommy merasa amat kosong saat berada di dalam kamar Eleni seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Membuka lemari dan laci lalu memeriksa kolong tempat tidur dan hasilnya nihil, tak ada apapun yang bisa menunjukan keseharian dan kepribadian seorang Eleni Salsabila. Berpaling pada Abah yang memperhatikan dari pintu. "Saya kira sudah cukup dan kalau ada apa-apa nanti tim dari kepolisian akan kontak Bapak."

Abah mengangguk dan menghantarkan IPDA Tommy ke luar.

Tiba-tiba IPDA Tommy menatap Abah. "Saya sudah lihat sekeliling dan kamar Eleni tapi, sama sekali tidak merasa ada remaja perempuan tinggal di sini." Kemudian naik mobil dan pergi bersama timnya.

Kata-kata IPDA Tommy membuat Abah malu, ia diam sambil melihat mobil polisi itu pergi jauh lalu melemparkan pandangan kesal pada warga yang berkerumun di luar pagar mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Reputasinya sebagai orang yang terkenal taat kini sudah tercoreng, berkat puteri semata wayangnya. Ia langsung masuk rumah dan mengunci pintu rapat-rapat, baginya ini semua adalah cobaan bukan buah kesalahannya.


***


Selanjutnya IPDA Tommy mendatangi sekolah Eleni dan bertemu langsung dengan Pak Hebert. "Saya sudah mendatangi orang tua Eleni dan tidak banyak yang didapat dari Ayahnya, maka dari itu saya mendatangi anda."

Pak Hebert tidak langsung menanggapi, ia terlalu sibuk membaca semua berkas penyelidikan. "Eleni yang membakar rumah saya?"

"Lebih tepatnya kepribadian dia yang bernama Romero."

Pak Hebert termenung sesaat, mencoba mengerti mengapa Eleni bisa mempunyai kepribadian ganda. "Eleni siswi paling cerdas di sekolah ini tapi, memang tidak punya teman dan cenderung sendiri."

"Ngomong-ngomong soal teman." IPDA Tommy mengambil berkas dari Pak Hebert dan memilih selembar. "Apa saya bisa ngobrol dengan temannya yang bernama Miriam?"

Pak Hebert terlihat bingung lalu membaca selembar berkas yang dipegang IPDA Tommy. "Sebentar saya cek dulu di bagian administrasi," katanya sambil bangkit dan pergi keluar, meninggalkan IPDA Tommy.

Sementara menunggu IPDA Tommy melihat-lihat arsip Eleni yang diberikan Pak Hebert tadi. Catatan nilai dan berbagai prestasi akademik menghiasi catatan tersebut lalu, pas foto ketika masih mengenakan hijab. Tatapan IPDA Tommy kemudian berubah ke jendela besar di ruangan tersebut, yang mengarah langsung ke lapangan. “Dimana kau Miriam?” tanyanya pada diri sendiri saat melihat anak-anak sedang berolah raga.

"Pak Tommy!"

Panggilan Pak Hebert mengaburkan lamunan IPDA Tommy. "Oh iya.."

"Bisa ikut saya sebentar."

IPDA Tommy pun bangkit dan mengikuti Pak Hebert. Mereka berjalan dengan dipelototi ratusan pasang mata. Semua orang yang melihat merek berdua berbisik.

"Ini daftar murid tahun ini dan saya tidak bisa menemukan satupun murid yang bernama Miriam."

Lihat selengkapnya