Ran berjalan kaki selama tiga hari menuju barat. Untungnya, jalan yang dia lalui sebagian besar hutan dan padang rumput. Jadi untuk mencari makanan sangat mudah. Ketika hari sudah gelap, Ran mencari sungai terdekat. Setelah sampai, dia mulai beristirahat dengan berbaring di pohon pinggir sungai. Matanya terpejam dan terbangun ketika waktu subuh.
Sebelum melanjutkan perjalanan, Ran membersihkan badannya terlebih dahulu dengan berendam di sungai itu. Sampai dirasa sudah bersih, Ran memakai kembali pakaiannya dan kembali berjalan kaki. Di tengah hari, Ran tiba di sebuah hutan yang cukup lebat. Saking lebatnya, jalan yang dia lalui sangat gelap. Seperti malam hari.
“Gelap sekali,” ucap Ran sambil terus berjalan kaki dengan tenang.
Dia berjalan sambil menundukkan pandangan. Tak berapa lama, terdengar suara geraman binatang. Ran berhenti lalu menengok ke kiri ke arah suara geraman itu. Suara gesekan semak-semak pun terdengar. Ran lalu bersiap menghunus katananya. Tetapi kemudian suara itu tidak terdengar lagi.
“Sepertinya di hutan ini banyak hewan buas.”
Ran mempercepat jalannya. Semakin masuk ke dalam, semakin gelap. Padahal, hari masih belum malam. Dia sekarang malah mengira bahwa dia tersesat. Sebab, sudah tiga jam berjalan dia masih belum keluar dari hutan ini.
“Tapi jalan yang aku lalu tidak ada yang sama. Tidak ada pohon, bebatuan, atau rumput yang sama yang aku lalui. Itu berarti aku tidak berputar-putar dan terus berjalan,” Ran berpikir.
Hingga satu jam kemudian, dia berhasil keluar dari hutan itu. Jauh di depan, dia melihat ada sebuah desa kecil yang rumah-rumahnya terbuat dari anyaman bambu. Desa itu hanya dikelilingi oleh tembok kayu setinggi tiga meter. Ketika Ran sampai di pintu gerbangnya, dia menengadah ke atas. Di sana terlihat ada seorang lelaki kurus, rambut keriting, pakaian lusuh, dan mata yang besar sedang memantau keadaan sekitar. Tangannya dia taruh di atas alis seperti sebuah tipi. Lalu perlahan dia mengok ke kiri dan ke kanan. Ketika menengok ke bawah dan melihat seorang pria dengan jubah cokelat, dia langsung terkejut.
“Hey, sedang apa kau di sana?” tanya pria itu.
“Aku hanya kebetulan lewat,” jawab Ran.
Dia langsung meloncat dan mendarat tepat di depan Ran.
“Dengar ya,” dia merangkul bahu Ran lalu melanjutkan, “Di luar sana, ada binatang buas yang siap memangsa. Kalau kau berjalan sendirian, kau bisa dimangsa.”
Ran hanya terdiam. Sementara pria itu memperhatikan Ran. Ketika dia tahu di balik jubah cokelatnya Ran ada katana, dia kembali terkejut.
“Kau seorang samurai?” pria itu meloncat ke belakang saking terkejutnya.
Ran hanya mengangguk.
“Itu berarti kau bisa bertarung?”
Sekali lagi Ran mengangguk.
“PAK KEPALA DESA!” teriak pria itu.
Tak berapa lama seorang pria tua dengan badan gemuk, wajah bulat, tompel di pipi kiri, dan rambut beruban muncul dari atas tembok kayu.
“Ada apa Sehar?” tanya pak Kepala Desa.
“Pak Pak Kepala Desa, kita menemukan seorang samurai,” Sehar tersenyum lebar.
Dengan cepat pintu dibuka dan Ran dipaksa masuk lalu pintu kembali ditutup rapat.
“Selamat datang di desa Toroto. Siapa namamu?” sambut kepala desa itu dengan senyuman lebar sehingga gigi ompongnya terlihat.
“Ran.”
Beberapa warga yang pakaiannya sudah lusuh pun berkumpul dan melihat Ran seperti sedang melihat malaikat.
“Kalian semua kenapa?” tanya Ran.
“Kami menunggu datangnya bantuan,” jawab salah satu warga perempuan.
“Bantuan?” Ran kebingungan.
“Sudah tiga bulan ini desa kami dihantui oleh hewan buas,” jelas kepada desa.
Ran hanya diam mendengarkan.
“Untuk itulah kami membangun tembok kayu ini. Sebab, hewan itu kadang memangsa hewan ternak dan sedikitnya ada tiga orang yang meninggal karena diserang oleh hewan buas itu,” jelas pak Kepala Desa.
“Aku baru saja keluar dari hutan yang sangat gelap dan sempat mendengar geraman hewan,” ungkap Ran.
Seketika semua warga terkejut.