Roommate

Kurayui
Chapter #2

II

Davin berjalan-jalan di tengah taman, bunga warna-warni bermekaran. Ia terus menyusuri jalan setapak di tengah taman, hingga sampai pada bagian tengah taman yang berbentuk lingkaran. Davin menghentikan langkah dan menelengkan kepala, memperhatikan seorang gadis yang mengenakan gaun putih dan sedang berjongkok di dekat rerimbunan perdu bunga zinia. Kening Davin berkerut, ia masih mengamati gadis yang memunggunginya itu, kemudian tersenyum sembari menggelengkan kepala, lalu berjalan mendekati si gadis.

 

Ranti duduk di tepi ranjang. Ia mengamati Davin yang sedang terbaring dan memejamkan mata. Senyum terkembang di wajah Davin yang sedang terlelap, membuat Ranti ikut tersenyum. “Anakku yang tampan. Kamu sebenernya lebih pantas jadi idol daripada jadi pembalap.” Ranti berbicara pada Davin yang masih terlelap.

Ndak! Ndak! Aku ndak mau anakku jadi idol. Kehidupan artis terlalu banyak tuntutan.” Ranti kembali berbicara, kemudian menghela napas panjang. “Apa ndak bisa kamu bermimpi hal yang sederhana aja, Nak? Jadi atlet sepak bola, misalnya? Omma akan lebih tenang dan ndak akan menghalangi. Impianmu untuk jadi pembalap bener-bener membuat omma khawatir.”

Ranti kembali menghela napas, masih mengamati Davin yang terlelap. Remaja berusia 16 tahun itu kembali tersenyum, senyum yang lagi-lagi sukses membuat Ranti ikut tersenyum. Ranti mengulurkan tangan kanannya, hendak menyentuh wajah Davin, tapi tiba-tiba Davin membuka mata. Davin terbelalak, terkejut melihat Ranti ada di dalam kamarnya.

Omma?!” pekik Davin seraya bangkit dari tidurnya dan duduk.

“Maaf. Omma mengejutkanmu?” Ranti menarik kembali tangannya.

“Sejak kapan Omma di sini?!”

“Baru aja. Kamu tersenyum dalam tidurmu. Mimpi indah ya? Ah! Maaf. Omma mengacaukannya.”

“Ngapain Omma di sini?” Davin masih dengan ketus.

“Anakku benar-benar marah kah? Karena omma-nya ini mengacaukan mimpi indahnya?”

“Langsung ngomong aja!”

“Baiklah.”

“Pakai bahasa biasa aja. Nggak usah berlagak kayak orang Korea. Kita di Indonesia.” Davin memprotes tingkah mamanya yang mendadak berlagak sopan dan berbicara formal seperti orang Korea.

Aigo!” Ranti tetap berbicara dengan logat bak orang Korea. “Anakku benar-benar marah. Begini, omma udah menimbang permintaanmu.”

Kening Davin berkerut mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Ranti.

Omma setuju dengan barter yang kamu tawarkan. Walau berat, omma pikir udah waktunya omma ngambil keputusan secara adil. Omma harus memperjuangkan mimpimu, juga mimpi Vini. Omma mohon, bantu Vini ya. Gantiin dia sampai terapinya selesai. Omma ndak akan menghalangi mimpimu untuk jadi pembalap motor cross. Jika kamu butuh tunggangan baru, motor  baru, Omma akan merundingkannya dengan appa[1]mu.”

Davin terkejut. Ia merasa tak senang mendengar keputusan sang mama.

Omma setuju dengan syarat yang kamu minta, jadi kamu harus bersiap menjadi Vini. Ina akan ke sini besok. Kita akan membeli segala keperluan untukmu selama menjadi Vini.”

Omma....”

Ranti meletakkan tangan kanannya di pundak kiri Davin. “Laki-laki sejati tidak akan ingkar pada ucapannya, kan? Omma setuju, jadi tolong konsekuen dengan ucapanmu. Orang itu yang dipercaya dan dipegang adalah omongannya. Kamu paham kan, Nak? Jadi, mari kita sama-sama berjuang.” Ranti memeluk Davin dan mengelus punggung anak sulungnya itu. “Gomawo[2], Tae Joon-aa,” bisiknya menyebut nama Korea Davin.

***

Mulut gadis yang wajahnya dihiasi kacamata bulat itu ternganga, ia mengamati Davin dari atas ke bawah. “Oppa... Oppa yakin mau gantiin Vini?” tanyanya setelah bisa mengendalikan diri dari keterkejutan.

“Kita kan seumuran! Ngapain kamu ikutan manggil oppa?!” Davin protes dengan wajah sewot.

Ina—gadis berkacamata bulat—tergelak dan berkata, “Niruin Vini aja.”

Omma merasa beruntung karena Ina juga diterima di sekolah yang sama dengan Vini. Ina bisa bantu kita.” Ranti dengan wajah berseri.

“Tenang Tante, aku dan Vini kan soulmate, rahasia kalian aku jamin aman. Aku pasti bantu!” Ina menunjukkan senyum lebarnya. Davinia yang duduk di atas kursi roda tepat di samping kirinya turut tersenyum.

“Soulmate?” gumam Davin mencibir membuat Davinia dan Ina kompak menatapnya. “Cewek memang aneh!” rutuknya.

“Cowok juga sama kali!” Ina balik meledek. “Welcome to the girls world!” imbuhnya lengkap dengan sebuah cengiran lebar di wajahnya bermaksud mengolok Davin.

Davin menghela napas panjang, menggerutu dalam hati, menyesali tawaran barternya pada sang mama. Ide itu tiba-tiba muncul dan ia iseng mengutarakannya karena yakin mamanya tak akan menyetujui permintaannya, tapi ia salah perhitungan. Sebagai lelaki sejati, ia tidak akan mengikari ucapannya dan akhirnya setuju menggantikan Davinia, demi mimpinya.

“Jadi, hari ini kita akan belanja?” suara Ina membuyarkan lamunan Davin. “Kita harus beli wig dan beberapa baju untuk Davin.”

“Jangan yang cewek banget!” Davin protes.

“Ina ngerti kok seleraku, Omma juga.” Davinia membanggakan dua perempuan yang ada bersamanya di ruang keluarga.

“Beberapa kaos dan hem cukup, kan?” tanya Ranti.

“Ya ampun, Tante! T-shirt dan kemeja gitu lho biar keren! Kaos dan hem?” Ina terbahak. “Aku heran sama Tante, kolot gitu kok bisa dapet suami orang Korea ya?”

Lihat selengkapnya