Davin menatap kartu di tangannya. Usai mendapatkan kartu nomor kamar, ia celingukan mengamati sekitar. Mencari senior yang akan menjadi roommate-nya.
“Vini!” Ina menepuk punggung Davin. Membuat remaja laki-laki yang sedang menyamar menjadi perempuan itu kaget. “Kaget ya? Maaf.”
Davin tetap bungkam, tapi wajahnya berubah cemberut.
“Kamu tahu? Kita satu kelas loh! Alhamdulillah banget, kan?” Ina dengan wajah berbinar.
Mata sipit Davin melebar. Binar bahagia menghiasi wajahnya. Di dalam hati ia pun mengucap syukur, lega karena berada di kelas yang sama dengan Ina.
“X-F. Nanti kita duduknya deketan aja ya. Kamu di belakangku. Gimana?”
Davin menganggukkan kepala tanda setuju.
“Oke! Trus roommate-mu udah ketemu?”
Davin menggeleng.
“Aku juga belum. Ya udah, nanti kita ketemu lagi ya. Aku mau cari roommate-ku dulu.” Ina pergi sebelum Davin menganggukkan kepala.
Gitu katanya mau menjagaku? Datang dan pergi seenaknya. Gerutu Davin dalam hati.
Davin kembali mengamati sekitar, tapi tak menemukan senior dengan kartu yang bertuliskan nomor yang sama dengannya. Ia pun berjalan, membawa kartu di depan dada dengan sisi bertulisan menghadap ke depan. Tujuannya agar bisa dibaca oleh siapa saja yang melihatnya.
“Oh! Kamu cari nomer itu ya?” seorang gadis menegur Davin.
Davin tak tahu gadis itu senior atau junior sama sepertinya. Ia tersenyum dan mengangguk.
“Aku lihat kakak senior dengan nomer itu di sana.” Gadis itu menuding ke arah kiri. Ternyata dia junior, teman seangkatan Davin.
Davin pun tersenyum dan membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih.
Gadis itu mengamati Davin dari atas ke bawah. “Cantik sekali,” gumamnya sembari berjalan pergi.
Cantik? Aku cowok tau! Protes Davin dalam hati. Ia kemudian berjalan menuju arah yang disebutkan gadis itu.
Davin yang terus berjalan akhirnya menemukan seorang gadis yang sedang duduk bersila di atas lantai. Di depan gadis itu tergeletak sebuah kartu dengan tulisan angka 41. Davin mengamati gadis yang sedang menundukkan kepala dan sibuk dengan ponselnya. Gadis dengan rambut ikal dikepang dua dan berkulit kuning langsat itu tak menyadari kehadirannya.
Ini kah roommate-ku? Batin Davin. Ia pun melangkah pelan mendekat, berhenti dekat di depan kartu. Tapi gadis itu masih mengacuhkannya karena masih sibuk dengan ponselnya.
Penasaran, Davin pun mengintip apa yang sedang dilakukan seniornya itu dengan ponselnya. Kedua mata sipitnya melebar, gadis itu sedang mengedit foto di ponselnya. Kebetulan yang sedang dilihatnya adalah foto seekor serangga di atas sekuntum bunga anggrek berwarna putih.
Penggiat macro phone photography? Davin mengomentari kegiatan yang sedang dilakukan seniornya. Sepengetahuannya, hobi memotret obyek kecil dengan ponsel dikenal dengan istilah macro phone photography, yaitu memotret dengan ponsel dengan bantuan lensa makro untuk memperjelas obyek.
Kedua mata sipit Davin terbelalak semakin lebar karena ketika sedang asik mengamati, tiba-tiba gadis itu mendongak dan menatapnya. Davin merasakan panas di wajahnya, malu karena ketahuan sedang mengintip kakak seniornya. Ia kemudian menelengkan kepala dan berpikir, kenapa harus malu? Ya, Tuhan! Apa semua gadis selalu seperti itu? Jadi, aku benar-benar menjadi seorang anak gadis sekarang? Ketika Davin sibuk dengan pikirannya, tahu-tahu seniornya sudah berdiri di depannya dan ia dibuat kaget karenanya.
***
Yoanta sibuk dengan ponselnya. Sebelum berangkat untuk kembali masuk ke asrama pagi tadi, ia menemukan seekor nyamuk berukuran besar sedang bertengger cantik di atas sekuntum bunga anggrek merpati yang sedang mekar sempurna di taman depan rumahnya. Ia yang sedang tergila-gila pada dunia macro phone photography pun tak bisa menahan diri. Melihat obyek yang sangat cantik itu, sangat sayang jika tidak diabadikan. Yoanta meminta Abang Ojek yang menjemputnya untuk menunggu dan langsung mengeluarkan peralatannya untuk memotret obyek yang ia temukan.
Dengan lensa makro dan ponsel di tangannya, membuat Yoanta sedikit lupa waktu. Anggrek merpati yang bunganya hanya mampu bertahan selama 24 jam sayang pula jika tak diabadikan. Karena memotret dua obyek cantik itu, ia jadi sedikit terlambat sampai di sekolah.
Sejak kelas VIII SMP, Yoanta tertarik pada dunia fotografi. Setahun terakhir ia menggilai dunia macro phone photography yang menurutnya membutuhkan peralatan lebih sederhana yaitu ponsel dan lensa makro, tapi cukup menantang karena model dari seni fotografi itu adalah hal-hal yang berbentuk kecil bahkan sangat kecil seperti nyamuk yang ia temukan pagi tadi.
Sembari menunggu calon rekan sekamarnya, Yoanta duduk bersila di atas lantai aula, lalu sibuk dengan ponselnya untuk mengedit hasil jepretannya. Ia harus memotong foto-foto itu, lalu memberikan nama sebagai logo identitas sebelum nantinya dibagikan ke sosial media. Karena terlalu asik mengedit foto, Yoanta acuh pada kondisi sekitar. Sampai ia melihat sepasang kaki itu di sana, tepat di depannya. Ia pun mengangkat kepala dan menemukan sosok tinggi menjulang yang sedang menatapnya.
Gadis yang berdiri di hadapannya itu sangat cantik. Wajahnya oriental dan imut. Ditambah semu merah yang menghiasi wajahnya yang putih bak susu, ia terlihat semakin imut. Yoanta menyukainya.
Yoanta bangkit dari duduknya, lalu mengamati kartu yang dibawa oleh gadis yang berdiri di hadapannya. Ia tersenyum lebar, gadis itu membawa kartu dengan tulisan angka 41. Dugaannya benar, gadis itu adalah teman sekamarnya.
“Hai! Aku Yoan.” Yoanta mengulurkan tangan kanannya. “Nadine Yoanta. Panggil aja Yoan. Aku kelas XI-E sekarang, mantan kelas X-F, dan kita teman sekamar,” ia menggerakkan kaki kanannya menghentak lantai, bermaksud menunjuk kartu bertuliskan angka 41 yang tergeletak di atas lantai.
Davin menjabat tangan Yoanta sekilas saja.
Yoanta mengerutkan kening, lalu menarik tangannya kembali. “Namamu siapa?” sembari dipungutnya kartu bertuliskan angka 41 miliknya.
“Vini!” suara seorang gadis menyela obrolan keduanya.
Gadis yang berdiri di depan Yoanta menoleh. Yoanta ikut mengintip ke balik punggung teman sekamarnya.
“Cha?” Yoanta yang sudah berdiri di samping kiri teman sekamarnya kaget melihat Frisca.
“Yoan, dia teman sekamarmu?” Frisca datang bersama gadis yang berteriak memanggil nama ‘Vini’.
“Vini! Ini senior yang jadi roommate kamu?” Gadis yang berteriak memanggil nama Vini bertanya pada gadis yang berdiri di samping kanan Yoanta. Teman sekamar Yoanta itu mengangguk.
“Hai, Kak. Aku Lesly, panggil saja Ina.” Gadis itu mengulurkan tangan kanannya.
“Yoan.” Yoanta menjabat tangan gadis itu. “Kok nickname nya Ina?”
Ina menarik tangannya sembari tersenyum lebar. “Waktu kecil aku sakit-sakitan. Kata Mama, aku keberatan nama, trus dikasih nama panggilan Ina. Sejak saat itu aku nggak pernah sakit lagi. Jadi, sampai sekarang dipanggil Ina.”
“Turunan Jawa ya?” Yoanta menebak.
“Iya. Mamaku Jawa, papaku Padang.”
“Eh, kok sama?” sahut Frisca. “Mamaku juga Jawa dan papaku juga Padang. Kok bisa samaan gini sih?”